Imunologi – Sejarah, Tokoh, dan Perkembangannya

imunologi

Imunologi saat ini sedang menjadi trending di era pandemi. Untuk memudahkan kamu dalam memahami imunologi, maka kami akan menyajikan konsep dasar atau pengantar dalam imunologi. Definisi atau pengertian dari imunologi sendiri merupakan disiplin ilmu yang mempelajari respon imun dalam arti yang luas serta kejadian selular dan molekular yang terjadi setelah pertemuan dengan mikroba atau molekul asing.

Sejarah Imunologi

Untuk menambah cakrawala pengetahuan imunologi kamu, yuk simak sejarahnya!

Pada saat ilmu Imunologi belum berkembang, nenek moyang bangsa Cina membuat puder (bubuk) dari serpihan kulit penderita cacar untuk melindungi anak-anak mereka dari penyakit tersebut. Puder tersebut selanjutnya dipaparkan pada anak-anak dengan cara dihirup.

Bacaan Lainnya

penyakit cacar smalpok

Cara yang mereka lakukan berhasil mencegah penularan infeksi cacar dan mereka kebal walaupun hidup pada lingkungan yang menjadi wabah. Saat itu belum ada ilmuwan yang dapat memberikan penjelasan, mengapa anak-anak yang menghirup puder dari serpihan kulit penderita cacar menjadi imun (kebal) terhadap penyakit itu. Imunologi tergolong ilmu yang baru berkembang (Rifa’i, 2011).

Tidak bisa dipungkiri dalam setiap perkembangan imunologi, selalu ada tokoh penting yang menjadi pionirnya. Yuk, simak selengkapnya!

Edward Jenner dan Variolasi

edward jenner imonologi
Edward Jenner

Ilmu tentang imunologi sebenarnya berawal dari penemuan vaksin oleh seorang ilmuan yang bernama Edward Jenner pada tahun 1796. Edward Jenner dengan ketekunannya telah menemukan vaksin penyakit cacar menular, smallpox. Pemberian vaksin terhadap individu sehat selanjutnya dikenal dengan istilah vaksinasi. Vaksin yang digunakan berupa strain yang telah dilemahkan dan tidak mempunyai potensi menimbulkan penyakit bagi individu yang sehat.

BACA JUGA: Apa itu HIV?

Penemuan oleh Jenner ini tergolong dalam penemuan yang besar dan sangat sukses untuk mencegah berkembangnya penyakit cacar yang semakin meluas, namun diperlukan waktu sekitar dua abad untuk memusnahkan wabah penyakit cacar di seluruh dunia setelah penemuan besar tersebut (Thurston & Williams, 2015).

Penemuan vaksin cacar oleh Edward Jenner bermula pada tahun 1796, janner menduga penyakit kuda, yang disebut “grease” adalah sumber awal infeksi yang dipindahkan oleh pekerja pertanian ke sekumpulan ternak yang diubah dan kemudian dinyatakan sebagai cacar sapi. Vaksin pertama oleh Jenner berupa vaksin cacar, dengan menginokulasi pada seorang anak dari pekerja peternakan yang bernama James Phipps berusia 8 tahun pada dengan cacar sapi. Virus yang yang di inokulasikan mirip dengan cacar, dengan tujuan untuk menciptakan kekebalan. Penelitian oleh Jenner dilakukan dengan memasukkan nanah yang diambil dari cacar sapi ke dalam sayatan di lengan bocah itu, kemudian yang terjadi didapatkan  reaksi pada Phipps berupa demam dan gelisah, tetapi tidak terjadi infeksi lengkap (BBC, 2014).

Nanah Cacar Sapi dan Cacar pada Manusia
Nanah Cacar Sapi dan Cacar pada Manusia.

Jenner tidak berhenti pada penelitiannya, iamelakukan percobaan lagi dengan menyuntik Phipps dengan berbagai bahan yang bervariasi (pada jsaat itu sering disebut metode imunisasi rutin) dengan hasil menunjukkan bahwa tidak ada penyakit yang terjadi pada Phipps. James ingin mengembangkan penemuannya dengan menantang bocah itu untuk diberi berbagai bahan dan sekali lagi tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.

Berdasarkan hasil dari beberapa experimen yang telah dilakukkan, Jenner menyimpulkan bahwa jika variolasi setelah infeksi dengan cacar sapi gagal menghasilkan infeksi cacar maka kekebalan terhadap cacar telah tercapai dengan ditandai dengan tidak terjadinya infeksi (BBC, 2014).

Janner terus mengambangkan penelitiannya dengan tidak hanya berhenti pada uji coba virus langsung dari hewan ternak ke manusia, janner melakukan uji coba baru berupa nanah yang mengandung cacar sapi yang diinokulasi secara efektif dari orang ke orang. Dia menguji teorinya, yang diambil dari cerita rakyat pedesaan bahwa pelayan susu yang menderita penyakit cacar sapi ringan tidak pernah tertular cacar, yang merupakan salah satu pembunuh terbesar pada masa itu terutama di kalangan anak-anak. Jenner berhasil menguji hipotesisnya pada 23 subjek tambahan, termasuk putranya sendiri yang masih berumur 11 bulan bernama Robert, dengan hasil yang sama bahwa pada subjek percobaannya tidak ada yang terkena cacar maupun infeksi.

Sekarang ini dengan semakin modernya perkembangan teknologi metode mikrobiologis dan mikroskopis modern akan membuat studi Jenner lebih mudah untuk direproduksi secara masal. Untuk mendapatkan pengakuan Lembaga medis berunding panjang lebar atas temuan Jenner sebelum menerimanya, akhirnya hasil penemuan tentang vaksinasi diterima dan pada tahun 1840 pemerintah Inggris melarang variolasi dan memberikan vaksinasi dengan menggunakan cacar sapi secara gratis pada semua masyarakat (William, 2010).

Robert Koch

robert koch

World Health Organization (WHO) menyatakan virus yang menyebabkan wabah Smallpox musnah pada tahun 1979. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Jenner belum bisa menjelaskan perihal smallpox dengan baik. Ketika Jenner menemukan vaksin untuk smallpox, Jenner sendiri tidak mampu menemukan dan menjelaskan mengenai apa penyebab penyakit yang mematikan itu.

Barulah pada abad 19 seorang ilmuan bernama Robert Koch bisa menjelaskan penyebab smallpox, bahwa adanya beberapa agen penginfeksi berupa mikroorganisme yang menimbulkan penyakit. Mikroorganisme yang dimaksud meliputi, virus, bakteri, fungi, dan beberapa eukariotik yang selanjutnya disebut parasit  Ilmuan yang mampu menjelaskan penyebab penyakit berasal dari mikroorganisme yaitu, Heinrich Hermann Robert Koch berprofesi seorang dokter di Jerman. Robert Koch menjadi terkenal setelah penemuannya tentang virus Anthrax bacillus (1877), Tubercle bacillus (1882), dan Kolera bacillus (1883) dan pengembangan postulat Koch (Madigan, 2012).

Penemuan yang telah dihasilkan oleh Robert Koch sangat besar kontribusinya dalam dunia kesehatan, maka diberikannya penghargaan nobel dalam fisiologi atau kedokteran pada 1905 dan dianggap sebagai pendiri ilmu bakteriologi. Perjalanan hidup seorang Robert Koch yang lahir pada 11 Desember 1843 di Clausthal, Jerman sebagai seorang anak dari pejabat pertambangan. Dia belajar medis dibawah Jacob Henle di Universitas Gottingen dan tamat pada tahun 1866, kemudian bekerja di Perang Perancis-Prusia dan kemudian menjadi opsir medis di distrik Wollstein. Bekerja dengan alat yang sangat terbatas, dia menjadi salah satu pendiri ilmu bakteriologi.

Penelitian mengenai virus anthrax bermula oleh seorang Casimir Davaine yang menunjukkan transmisi langsung anthrax bacilus di antara sapi, selanjutnya Koch mempelajari anthrax lebih dekat lagi. Dia menemukan metode untuk memurnikan basilus dari sampel darah dan mengembangkan kultur murni. Dia menemukan bahwa anthrax tidak dapat hidup di luar inang atau hospes dalam waktu yang lama, namun dapat membuat spora yang dapat hidup bertahan lama. Penyebaran virus anthrax menjadi pertanyaan besar hingga ditemukannya berbagai spora tertanam dalam tanah di ladang rumput yang menyebabkan merebaknya anthraks yang spontan dan tidak dapat dijelaskan (Madigan, 2012).

Untuk menggembangkan penelitiannya Koch membudidayakan organisme antraks di media yang sesuai pada slide mikroskop yang menunjukkan pertumbuhannya menjadi filamen panjang dan menemukan formasi di dalamnya berupa tubuh oval tembus cahaya berupa spora yang tidak aktif. Koch menemukan bahwa spora kering dapat tetap hidup lama selama bertahun-tahun bahkan dalam kondisi terbuka. Temuan ini menjelaskan kekambuhan penyakit di padang rumput yang lama tidak digunakan untuk merumput, karena spora yangtidak aktif namun dalam kondisi yang tepat, mampu berkembang menjadi bakteri berbentuk batang (basil) yang mampu menyebabkan antraks dan menyebarkannya (Stevenson, 2019).

Koch mempublikasikan hasil penemuannya mengenai anthrax pada tahun 1876 dan dihargai di “Kantor Kesehatan Istana” di Berlin pada 1880. Di Berlin dia meningkatkan metode yang dia pakai di Wollstein, termasuk teknik pencemaran dan pemurnian, dan media pertumbuhan bakteri, termasuk piring agar dan cawan petri (dinamakan setelah J.R. Petri), keduanya masih digunakan sampai sekarang.

Organisme parasit masih menjadi pekerjaan yang sulit bagi para ilmuan. Salah satu penyakit akibat organisme parasit yaitu penyakit malaria yang ditimbulkan oleh plasmodium kaki gajah oleh Wuchereria bancrofti yang masih merambah di belahan bumi ini terutama di daerah tropis. Penemuan oleh Robert Koch dan penemuan besar lain pada abat 19 telah mengilhami penemuan-penemuan lain mengenai vaksin beberapa penyakit, sehingga penyalit akibat mikroorganisme dapat dikendalikan (Madigan, 2012).

Hasil penemuan Koch lainnya yaitu penemuan mengenai bakteri yang menyebabkan tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) pada 1882 (penemuan dipublikasikan pada 24 Maret). Tuberkolosis adalah penyebab dari satu dalam tujuh kematian di pertengahan abad ke-19. Pada saat itu secara luas diyakini bahwa TBC adalah penyakit bawaan. Namun Koch yakin bahwa penyakit itu disebabkan oleh bakteri dan menular, lalu dia menguji empat postulatnya menggunakan kelinci percobaan. Melalui eksperimen ini ditemukan bahwa hasil eksperimennya tentang TBC, agen penyebab penyakit tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis yang tumbuh lambat.

Pentingnya penemuannya meningkatkan posisi Koch menjadi setaraf dengan Louis Pasteur dalam riset bakteriologi. Pada 1883, Koch bekerja dengan tim riset dari Prancis di Alexandria, Mesir, mempelajari tentang virus kolera. Koch mengidentifikasi bakterium vibrio yang menyebabkan kolera, meskipun dia tidak pernah membuktikannya dalam eksperimen.

Pada 1885 dia menjadi profesor higinitas di Universitas Berlin, kemudian pada 1891 menjadi direktur di Institut Penyakit Menular (Institute of Infectious Diseases) yang baru didirikan, dia mundur dari posisi tersebut pada 1904. Robert Koch meninggal di Baden-Baden, Jerman pada tanggal 27 Mei 1910 (Blevins, 2010).

Louis Pasteur

louis pasteur
louis pasteur

Pada tahun 1880 Louis Pasteur yang merupakan seorang ilmuwan kimiawan dan ahli mikrobiologi kelahiran Perancis, terkenal karena penemuannya tentang prinsip vaksinasi fermentasi mikroba dan pasteurisasi (cara mencegah pembusukan makanan hingga beberapa waktu lamanya dengan proses pemanasan). Dia dikenal karena terobosan yang luar biasa dalam hal penyebab dan pencegahan suatu penyakit. Dari hasil penemuannya ia telah menyelamatkan hidup orang banyak, dengan dibuktikan dengan menurunnya angka kematian dari demam nifas dan menciptakan vaksin pertama untuk rabies dan antraks (Ullmann, 2011).

Virus rabies yang dikembang biakan oleh Louis Pasteur didalam jaringan saraf kelinci, kemudian jaringan saraf yang terinfeksi ini digerus dan dibuatkan larutan chlorida sebagai vaksin anti rabies yang pertama. Penemuan medisnya memberikan dukungan langsung untuk teori kuman penyakit dan penerapannya dalam klinis kedokteran. Ia dianggap sebagai salah satu dari tiga pendiri utama bakteriologi, bersama dengan Ferdinand Cohn dan Robert Koch, dan dikenal sebagai “bapak mikrobiologi”.

Pasteur diangkat sebagai profesor kimia di University of Lille, fakultas yang mengajarkan ilmu kimia dan berkewajiban  untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah kimia untuk diterapkan pada kegiatan industri lokal saat itu. Penemuan yang paling berpengaruh yaitu tentang fermentasi pembuatan minuman beralkohol. Pasteur sangat termotivasi untuk menyelidiki fermentasi saat bekerja di Lille. Pada tahun 1856 sebuah pabrik anggur lokal. M. Bigot yang putra pemilik pabrik merupakan salah satu murid Pasteur, meminta nasehatnya tentang masalah pembuatan alkohol bit dan asam (SCIHI, 2018).

Hasil penelitian Pasteur mampu menunjukkan bahwa organisme seperti bakteri yang bertanggung jawab untuk souring anggur dan bir, selanjutnya dia memperpanjang studinya untuk membuktikan pada susu yang hasilnya sama. Pada Agustus 1857 Pasteur mengirim sebuah makalah tentang fermentasi asam laktat ke Société des Sciences de Lille, tetapi makalah itu dibaca tiga bulan kemudian. Lalu dia mengembangkan gagasannya yang menyatakan bahwa gula terurai menjadi alkohol dan asam karbonat, demikian juga ada fermentasi khusus, ragi laktat selalu hadir ketika gula menjadi asam laktat. Pasteur melengkapi koleksi penelitiannya dengan juga menulis tentang fermentasi alkohol.

Pasteur menunjukkan bahwa bahwa ragi bertanggung jawab atas fermentasi untuk menghasilkan alkohol dari gula. Ia juga menunjukkan bahwa, ketika mikroorganisme yang berbeda mencemari anggur, asam laktat diproduksi membuat anggur menjadi asam.

Pada tahun 1861 Pasteur mengamati bahwa lebih sedikit gula yang difermentasi per bagian ragi ketika ragi terpapar ke udara. Tingkat fermentasi yang lebih rendah secara aerobik dikenal sebagai efek Pasteur.

Penelitian oleh Pasteur menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroorganisme bertanggung jawab atas rusaknya minuman seperti bir, anggur, dan susu. Karena pertumbuhan mikroorganisme maka Pasteur menemukan suatu proses di mana cairan seperti susu yang dipanaskan hingga suhu antara 60 dan 100 ° C, mampu membunuh sebagian besar bakteri dan jamur yang ada di dalamnya. Pasteur mematenkan hasil penemuannya tersebut untuk melawan “penyakit” anggur pada tahun 1865. Metode pemanasan ini dikenal sebagai pasteurisasi dan diterapkan untuk pembuatan bir dan susu (Barche, 2012).

Penelitian Pasteur tidak berhenti pada cara memusnahkan mikroorganisme, dia terus mengembangkan penelitiannya dengan melakukan percobaan untuk menemukan di mana bakteri berasal. Pasteur mampu menemukan mikroorganisme parasit diperkenalkan dari lingkungan. Pada awalnya hal ini diperdebatkan oleh para ilmuwan yang percaya bahwa mereka secara spontan bisa menghasilkan, hingga pada tahun 1864 Akademi Ilmu Pengetahuan Perancis bisa menerima hasil penelitian yang dikemukakan Pasteur.

Pada tahun 1865 Pasteur menjadi direktur penelitian ilmiah di École Normale, di mana ia pernah belajar. Penemuan selanjutnya tentang infeksi penyakit yang bermula dari Pasteur yang diminta untuk membantu industri sutra di Perancis selatan, dimana disana terjadi epidemi pada ulat sutra. Tanpa pengalaman subjek Pasteur berhasil mengidentifikasi bahwa infeksi parasit sebagai penyebabnya dan menganjurkan bahwa hanya telur bebas penyakit harus dipilih untuk menghentikan epidemi infeksi.

Berbagai investigasi yang berhasil Pasteur lakukan meyakinkannya akan kebenaran dari teori kuman penyakit, yang menyatakan bahwa kuman menyerang tubuh dari luar. Awalnya banyak yang menganggap bahwa organisme yang kecil seperti kuman tidak mungkin membunuh mahluk yang lebih besar seperti manusia. Pasteur akhirnya menjabarkan teori ini untuk menjelaskan penyebab banyak penyakit termasuk kedalam tubuh diantaranya mikroorganisme penyebab penyakit antraks, kolera, TBC dan cacar serta pencegahannya dengan pemberian vaksinasi (SCIHI, 2018).

Emil von Behring

Emil von Behring
Emil von Behring

Semakin berkembangnya ilmu imunologi tidak lepas dari kontribusi para ilmuan, ilmuwan lain yang berjasa dalam bidang ilmu Imunologi adalah Emil von Behring. Dia di kenal dengan penemuannya tentang serum untuk melawan penyakit difteri sehingga membawanya mendapat penghargaan Nobel. Kala itu difteri menjadi penyakit yang telah banyak menelan korban jiwa di Jerman, dengan korban terbanyak adalah anak-anak. Langkah Emil dimulai saat menjadi asisten Robert Koch pada tahun 1888 di Universitas Berlin.

Penelitian oleh Emil pada saat itu dimulai dari percobaannya pada berbagai senyawa golongan antiseptik seperti iodoform, merkuri, dan asetilen untuk membunuh bakteri penyebab penyakit difteri. Tetapi sayang usaha awal Emil belum berhasil, yang kemudian dilanjutkan oleh ilmuan lain. Peneliti asal Prancis Roux yang mengungkapkan cara menangani penyakit difteri, penyebab penyakit difteri bukan bakteri difterinya langsung melainkan racun yang dihasilkan oleh bakteri. Filtrat dari kultur difteri yang tidak mengandung basil mengandung zat yang mereka sebut racun yang diproduksi ketika disuntikkan ke hewan.

Kultur diphtheria bacilli, berupa zat beracun yang mereka sebut toxalbumin dimana ketika disuntikkan dalam dosis yang sesuai ke marmut mampu mengimunisasi hewan-hewan ini dari difteri. Dengan terungkapnya fakta tersebut, Emil kemudian melakukan serangkaian percobaan untuk menemukan cara melawan difteri dengan terapi serum (Kaufmann, 2017).

Pertama Emil membuat kultur bakteri difteri dengan iodin triklorida. Kultur ini kemudian disuntikan ke babi guinea. Hasilnya, babi guinea menjadi kebal terhadap difteri. Kemudian, serum darah dari babi guinea tersebut disuntikkan ke babi guinea kedua dan ternyata babi guinea kedua juga menjadi kebal terhadap difteri. Atas penemuannya ini Emil kemudian dikenal sebagai pelopor/penemu terapi serum.

Behring menemukan bahwa kekebalan terhadap difteri dapat diproduksi dengan menyuntikkan racun difteri yang dinetralkan oleh difteri antitoksin ke dalam binatang. produksinya dari campuran ini selanjutnya dimodifikasi dan pemurnian campuran yang semula diproduksi oleh Behring menghasilkan metode imunisasi modern yang sebagian besar telah meilangkan difteri dari momok kematian pada umat manusia. Sebenarnya, ide terapi serum yang dikemukakan oleh Emil Von Behring melibatkan kerja beberapa orang yang juga memberi kontribusi cukup besar. Salah seorang rekannya adalah seorang peneliti asal Jepang yang bernama Shibasaburo Kitasato.

Shibasaburo Kitasato

Shibasaburo Kitasato
Shibasaburo Kitasato

Bersama Kitasato, Emil menciptakan serum untuk melawan penyakit tetanus. Bahkan, publikasi penemuan serum anti tetanus ini dilakukan seminggu sebelum Emil mempublikasikan terapi serum untuk melawan penyakit difteri (Kaufmann, 2017).

Jules Jean Baptiste Vincent Bordet

Jules Jean Baptiste Vincent Bordet

Jules Jean Baptiste Vincent Bordet (1961) adalah seorang ahli imunologi dan mikrobiologi dari Belgia, penerima Penghargaan nobel dalam fisiologi atau kedokteran pada tahun 1919. Karyanya pada pengembangan bakteri tak seimbang dalam medium sintesis. Pada tahun 1893 ia merupakan salah satu anggota asosiasi dokter di “Roger de Grimberghe Martitiem Hospitaal” di Middelkerke (Belgia).

Elie Metchnikoff

Elie Metchnikoff
Elie Metchnikoff

Di Institut Pasteur Paris, ia bekerja di laboratorium Elie Metchnikoff yang telah menemukan mekanisme fagosit, yaitu melalui mekanisme sel darah putih yang menghilangkan infeksi dengan sara memasukkan dan membunuh mikroorganisme penyerang yang ada pada tubuh. Dengan ini Metchnikoff meletakkan dasar kekebalan sel (GENI, 2014).

Bordet

bordet
Bordet

Penelitian oleh Bordet terus berlanjut hingga menemukan dasar kekebalan humoral, yakni pertahanan organisme berdasar pada zat dalam serum yang hadir dalam cara alami atau yang didapatkan sebagai tanggapan untuk pembukaan pada kuman atau tubuh asing dalam dalam organisme. Saat Bordet memulai bekerja di laboratorium Metchnikoff. Pfeiffer seorang ilmuwan Jerman yang telah menemukan serum dari kolera yang dicacar pada marmut mampu membunuh vibrio kolera saat diberikan secara intraperitoneal pada marmut terinfeksi nonvaksinasi (GENI, 2014).

Bagaimanapun, saat percobaan dilakukan dengan cara dibawa keluar binatang (dalam pipa tes), Bordet melihat bahwa serum marmut yang divaksinasi tidak mampu membasmi kuman tetapi hanya menggumpal menjadi formasi butiran kecil. Berdasarkan hal tersebut Bordet menunjukkan pada tahun 1899 melalui contoh kecil yang merupakan hasil  penelitian bahwa organisme hewan bereaksi pada pengenalan kuman, sel atau bahan asing dengan membentuk molekul.

Molekul-molekul hasil reaksi dengan kuman yang disebut sebagai antibodi mampu membuat ikatan spesifik pada benda asing dan membuatnya peka pada molekul lain (disebut aleksin oleh Bordet, dinamai komplimen, molekul-molekul itu sudah hadir dalam serum normal). Komplimen dengan berubah sanggup menghancurkan benda asing. Mikroba, sel, atau senyawa kimia yang membuat berkembang pada antibodi yang demikian disebut antigen.

Penemuan karakteristik fundamental pada kekebalan humoral membuktikan kepentingan yang jelas pada kedokteran. Saat menunjukkan serum pada pasien untuk patogen yang dikenal, orang dapat menyingkap kehadiran dalam serum antibodi khusus pada kuman-kuman itu. Ini membuktikan adanya infeksi yang disebabkan kuman itu dengan pasien.

Reaksi fiksasi pelengkap juga memungkinkan diagnosis penyakit menular. Komplemen hanya memutuskan kompleks antibodi khusus kuman. Pada saat itu jika serum dari pasien itu (ditunjukkan pada kuman) membentuk kompleks yang mampu menentukan pelengkap, serum ini memuat antibodi khusus pada kuman yang sama, menandakan kehadiran sesungguhnya atau lalu saja pada kuman dalam pasien  (Rifa’i, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Arif, S., Anasagi, T., 2019. Bahan Ajar Teknologi Bank Darah (TBD) Imunologi.

Artikel Direkomendasikan