Berbeda Tidak Perlu Berlari
Oleh: Ersa Yusfiyandi
Mau jadi apa kamu?! Punya temen kok begundal dan preman kayak gitu?!”
Akhir-akhir ini ibuku selalu memarahi dan memakiku karena bergaul dengan Godam, Dani, Khair dan Mira. Pengangguran, pemabuk dan preman kampung. Salah siapa hatiku hancur dan hilang arah seperti ini?
Sinta. Gadis pujaanku dalam tiga tahun belakangan, teman dekatku, menikah dengan lelaki pilihan bapaknya. Bahkan sebelum aku sempat mengungkapkan perasaanku padanya.
Di hari pernikahan Sinta, hampir saja aku lepas kendali dan memukul mempelai prianya. Untunglah Godam dan kawan-kawan yang sedang mabuk di hari itu sudah mengacaukannya lebih dulu. Ternyata Godam juga menaruh hati pada Sinta.
Sejak hari itu, aku dan Godam mulai berteman. Karena aku merasa kami punya dendam yang sama. Kami mabuk dan memalak warga bersama. Cukup menyenangkan sebagai hiburan hati yang sedang sakit.
Lalu aku mengenal Mira, adik kandung Godam. Gadis yang tak kalah cantik dari Sinta. Tubuhnya tinggi, langsing dan berkulit putih. Aku rasa dia adalah gadis preman paling menarik di bumi ini. Aku jadi penasaran dengannya.
Sebenarnya yang membuatku marah bukanlah Sinta atau keluarganya. Tapi pada diriku sendiri. Pada kepengecutanku. Sinta hanyalah satu dari beberapa wanita yang kusukai yang akhirnya menjadi milik orang lain karena aku tak pernah berani mengatakan isi hatiku.
Takutku lebih dari sekedar ditolak cinta. Tapi lebih besar dari itu. Aku takut keberadaanku akan dihapus sama sekali oleh mereka. Karena aku berbeda. Cintaku sungguh beda.
“Denger nggak?!” bentak ibuku lagi. “Kamu mau jadi apa bergaul dengan mereka?!” ocehan ibuku mulai memanaskan telingaku.
Kuabaikan ibuku dan berlari keluar rumah. Masa bodohlah sudah dengan tata krama.
Ibu, kenapa kau melahirkanku?!
Itu pertanyaan yang sering terlontar di kepalaku.
“Lesti! Kembali! Anak kurang ajar kamu, ya!” maki ibuku di bibir pintu.
Lesti Ayudia. Aku benci nama pemberian ibuku. Aku benci ibuku. Aku benci terlahir sebagai perempuan.
Aku melarikan diri dari rumah dan menginap di rumah Godam dan Mira. Semakin hari bersama Mira, semakin aku tertarik padanya. Dan aku ingin perasaanku kali ini tidak berakhir seperti yang sudah-sudah. Setidaknya aku berani mengungkapkannya.
Di sebuah sore mendung, aku dan Mira berduaan di dalam kamar. Hari itu adalah hari terakhir aku melarikan diri dari perasaan dan ketakutanku sendiri. Aku akan mengungkapkan cintaku pada Mira. Apapun jawabannya.
“Jadi, kamu juga punya cinta yang beda?” Mira bertanya padaku. Senyumnya mengambang seolah menemukan sebuah oase. Aku tidak tahu apa maksud dari senyumnya itu. Aku meninggikan harapanku. Aku harap mendengar kabar baik.
“Maksudmu? Kamu juga punya cinta yang berbeda, sama denganku?” tanyaku menggebu.
Mira tersenyum lagi. “Iya…tapi berbeda denganmu.” Diletakkannya tangannya di punggung tanganku. “Aku mencintai Godam, kakak kandungku sejak dulu.” Lalu air matanya hujan di pipinya seketika.
Tuhan!
Aku tak bisa berkata apa-apa saat mendengar pengakuannya itu. Ternyata banyak yang tidak kupahami yang terjadi di dunia ini.
Cintaku, cinta Mira. Entah cinta siapa lagi yang jauh berbeda dengan semua orang. Apa kami yang salah? Aku menolak untuk disalahkan.
Hari itu aku berlari kembali ke rumahku. Bertemu ibu dan menceritakan perbedaanku padanya.
Aku yakin banyak orang-orang sepertiku yang tidak menemukan tempat untuk mereka.m Aku ingin menolong mereka. Tapi tentu aku harus menolong diriku sendiri lebih dulu.
Tentu saja semua tidak berjalan semestinya. Ibuku yang masik kolot dengan budaya Timur dan religius, langdung menampar dan mengusirku dari rumah. Itu pantas untukku.
Tapi aku bahagia menyadari bahwa inilah yang kucari selama ini. Setidaknya ada kelegaan di dalam hatiku. Dan sejak hari itu aku tidak pernah takut lagi mengungkapkan perasaanku.
Lalu aku membentuk sebuah kelompok kecil yang punya masa lalu dan perasaan yang sama denganku. Kami adalah kelompok yang lahir dari perbedaan. Di luar kesepakatan mayoritas.
Walau minoritas, kami bahagia. Kami tak perbah berlari lagi. Setiap saat selalu akan ada lingkungan yang menolak keberadan kita. Tapi kita hanya perlu berpikir terbalik. Jika tak ada lingkungan yang menerima kami, maka kami akan menciptakan lingkungan yang bisa menerima semua orang.
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).