Cerpen Tolong Panggil Aku Arini Karya Dhamala S

Tolong Panggil Aku Arini Karya Dhamala S

Tolong Panggil Aku Arini

Oleh: Dhamala S

Kematian itu hanya ditandai dengan setumpuk tanah basah. Warnanya kemerahan dan menguarkan bebauan yang tercium sekilas seperti bau tetes hujan pertama yang terkena tanah. Nisannya masih mulus, terlihat baru diukir. Percaya. Tanggal yang tercantum di atasnya baru lewat tiga hari lalu.

Bacaan Lainnya

Aku berdiri dengan jarak dua meter lebih dari gundukan tanah tersebut, mengumpulkan keberanian untuk mendekat. Semua orang sudah pulang ke rumah masing-masing karena kudengar pemakaman berakhir dua jam lalu. Ayah dan kakakku sudah tidak ada di tempat. Kerabatku pasti sudah menyuruh mereka pulang. Kubayangkan berapa banyak air mata yang tumpah dari mata sayu Ayah, kemudian berapa banyak kakakku menghela napasnya sendiri demi menguatkan Ayah. Sementara aku, datang ke hadapan nisan di depanku dengan bernaungkan payung merah. Maaf, aku hanya memiliki payung merah di tasku.

Arini Dyah Tanila. Samar, mataku yang rabun jauh membaca nama yang terukir dengan warna keemasan di atas nisan yang dibuat dari batu marmer. Nisannya menjulang mirip bukit, persis seperti nisan-nisan orang Tionghoa pada umumnya. Dan ada namaku di daftar anaknya, lengkap beserta nama kakakku. Setelah keberanianku kurasa cukup, aku berjalan ke arah rumah Bunda, meletakkan sehelai selendang berwarna merah marun di atas gundukan tanah basah tersebut dan berbisik pelan, “Bunda, adik sudah pulang.”

***

Jakarta, dua tahun yang lalu

Bagiku, kesempatan pertama selalu saja istimewa. Yang pertama tidak akan terlupakan. Seperti rapor pertama, jatuh cinta pertama, bahkan patah hati pertama. Semua selalu terkenang dengan sempurna. Sama seperti malam itu.Aku duduk di tepi jendela kamar Bunda, rambutku disisiri perlahan. Rambutku persis seperti Yamashita Tomohisa, pendek, tetapi Bunda senang sekali menyisirnya. Sementara Ayah membaca koran sambil berbaring di tempat tidur. Waktu itu, pertama kalinya aku mengambil keputusan yang besar dalam hidupku, keputusan yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Keputusan yang akhirnya mengubah jalan hidupku.

“Bunda, adik mau pergi ke Thailand,” ujarku.

Bunda menghentikan sisirannya dan ayah menurunkan koran yang dibacanya seolah bertanya mengapa padaku. Aku tidak langsung menjawab, hanya tersenyum sambil kemudian memandang Ayah dan Bunda bergantian.

“Mau belajar kehidupan di sana, seperti Paman Tan.”

***

Ayah mengigau sepanjang malam, memanggil-manggil nama Bunda kemudian menangis tersedu-sedu. Satu minggu lepas sejak pemakaman Bunda dan aku hanya mendapat kabar itu dari kakakku. Aku memang tidak kembali ke rumah, atau lebih tepatnya belum kembali ke rumah. Rumahku yang sekarang berbeda dengan rumahku yang dulu. Ah, mungkin tidak. Rumahku tidak berubah, yang berubah adalah keadaan setelah dua tahun aku meninggalkannya.

Tidak akan ada yang sama setelah ditinggalkan, begitu pula dengan kehidupan. Dua tahun lalu setelah Ayah dan Bunda setengah hati melepaskanku merantau ke Negeri Gajah Putih, aku menyulap diriku menjadi anak setengah durhaka. Aku tidak mengabari siapa pun, termasuk Bunda. Terakhir, aku hanya mengabari kakak perempuanku, Dini. Selanjutnya yang kudapat adalah kabar kesehatan ibu yang kian memburuk karena penyakit jantungnya.

Yang membuatku lebih durhaka adalah saat itu aku tidak memilih untuk pulang. Aku hanya menyimak kabar yang datang melalui surel yang dikirimkan Dini kemudian berdo’a untuk Bunda. Aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk Ayah dan Bunda. Atau mungkin pernyataan yang lebih tepat adalah aku terlalu takut melakukan sesuatu.

“Aku sudah pulang.” Kuputuskan untuk menghubungi Dini setelah seminggu lamanya aku bersembunyi. Bukankah sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya ia akan jatuh juga. Selihai-lihainya aku bersembunyi, cepat atau lambat Dini akan menemukanku.

“Aku tahu. Kamu yang meletakkan selendang merah di makam Bunda,” sahut Dini.

“Aku ingin bertemu Ayah.”

“Kamu memang harus datang. Aku menyerah. Ayah terlalu sedih, susah untuk dihibur. Kamu harus pulang dan gantikan aku menghibur Ayah. Tebus semua kesalahan kamu selama dua tahun sekarang.” Suara Dini meninggi. Ia sudah lelah, sama lelahnya dengan Ayah dan Bunda hingga mereka tidak pernah lagi mencariku. Lelah sampai-sampai mungkin Ayah tidak bisa lagi mengingatku sekarang.

“Tunggu aku di rumah, ya.”

Aku akan membuat Ayah kembali bahagia, Din.

***

Ayah percaya tumimbal lahir, tetapi ia masih menyangsikan kelahiran kembali. Aku belum pernah mendengarnya mencampuradukkan konsep tumimbal lahir dan kelahiran kembali, tetapi yang kutahu hari ini Ayah tercengang di tempatnya dengan mata tak berkedip, mungkin ia mengira Bunda lahir kembali. Pasalnya aku baru saja membunyikan bel rumahku, kemudian Ayah bersama Dini membukakan pintu dan berseru bersamaan.

“Arini.”

“Ardhani!”

Bedak putih, gincu merah, perona pipi merah muda. Ditambah rambut panjang dan selendang merah marun yang selalu ibu kenakan—aku punya selusin lebih selendang semacam itu. Semua itulah yang membuatku takut melakukan sesuatu. Semua itu yang membuat Ayah mengira aku adalah Bunda.

“Arini. Kamu kembali.” Ayah berseru sementara aku tersenyum padanya, persis seperti senyum Bunda pada Ayah. Ayah mengecup keningku, persis seperti caranya mengecup kening Bunda.

Sudah kubilang, aku akan membuat Ayah kembali bahagia, Din.

***

To : [email protected]

From : [email protected]

Subject : Tolong panggil aku Arini

Aku akan mengejutkanmu ketika kamu membaca surel ini. Tolong panggil aku Arini sekarang, Din. Aku bukan Ardhani, adik laki-lakimu, yang dulu. Maaf, aku harus membuat Ayah bahagia dengan cara ini. Bersyukurlah aku punya wajah mirip Bunda, jadi aku bisa membuat Ayah tersenyum lagi dalam sosok Bunda yang dicintainya. Sekarang aku adik perempuanmu, Din. Namaku Arini Wijaya.

Selesai.

/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).

Berikan Nilai post

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *