25 With or Without You Karya Langgam Firdausy

25 With or Without You Karya Langgam Firdausy

25 With or Without You

Oleh: Langgam Firdausy

25 April 2010…

Bacaan Lainnya

Tawa cerah berderai, memenuhi ruangan yang hanya ada kita berdua di dalamnya. Tubuh keci yang sering kupeluk itu terbaring di sampingku kedua kakinya ditekuk. Tawamu belum berenti juga, hingga senyumku tersungging begitu saja, hangat serta debar di dada kiriku muncul lagi, semakin cepat kala tawamu semakin keras.

Tanpa kata kau memalingkan tubuhmu, memunggungiku, sepertinya kau berusaha menghentikan tawa yang tak berarti itu.

Gemas kuberingsut mendekati tubuh yang masih berguncang tidak beraturan itu. merengkuhnya ke dalam pelukan. Ternyata tindakkan itu membuat tawamu berhenti. Kurasakan tubuhmu beringsut mundur, membuat pelukanku bertambah erat.

I love you…” desisinya.

Tubuhku bergidik, bahkan tingkat bahagiaku langsung naik drastis mendengar perkataanmu barusan. “Love you too…”

Perlahan tanganmu ikut menggenggam tanganku yang melingkari perutmu.

Aroma mawar menguar dari balik lehernya, bahkan hal seperti ini kini menjadi candu untukku.

“Alyssa, will you marry me?”

Tanganmu mengerat, tapi tak ada jawaban dari bibir tipisnya. Pikirku, kali ini bukan waktu yang tepat. Sepertinya kau belum siap. Dan jadilah pertanyaan itu mengambang di udara.

25 Mei 2010…

“Kenapa harus seperti ini?” terikan itu menggema di seluruh ruangan menggantikan tawa berderai bulan lalu. Mata bulat hitammu terlihat begitu marah. “Bisakah kau sabar? Tanyanya lagi.

“Kau bertanya seperti itu? Padaku? Hey! Lihat siapa yang lebih dulu membuat kesaahan?” kutunjuk foto-foto yang bertebaran di lantai.

“Dari mana kau dapat semua foto-foto itu?” kamu suda dibatas emosi yang hampir meledak.

“Dari manapun itu, bukan urusanmu!” Kupalingkan wajahku dari wajahmu yang menatap marah itu. Muak.

Hanya terhitung detik saja, hening menguasai ruangan ini. aku terduduk di atas ranjang, memalingkan wajah. Tidak sudi melihatmu. Tapi, kurasakan punggungku menghangat dan… basah. Seketika aku tidak dapat berkutik ketia tanganmu merambat dan memelukku dari belakang.

Sorry… Sorry…” isakmu.

Hatiku luluh, sakit, kau menangis hingga bajuku basah.

Cepat kubalikkan tubuhku mendapati mata hitammu berlinang. Wajahmu memerah dan sembab. Ibu jariku menelusuri wajahmu, menghapus sisa air mata di sana.

Sorry...” ucapnya penuh sesal sekali lagi.

Tanpa kata kubiarkan wajahku menghabiskan jarak di antara kita mengecup bibirmu, menyapu bibirmu itu dengan lidahku.

Dan malam itu… indah sekali.

25 Juni 2010

Tubuh yang sering kurengkuh itu tampak cantik dalam balutan gaun putih yang jatuh hingga menutupi kakimu yang tidak beralaskan apapun itu.

Senyummu merekah, deretan gigi kecl-kecilmu tampak. Kau berputar-putar beberapa kali, memperlihatkan padaku gaun itu dari berbagai sisi.

“Bagaimana?”

Aku tidak segera menjawabnya. Memilih bangkit dari pinggir kasur mendekatinya, mengecup kening yang tertutup beberapa helai rambut. Menatapnya penuh cinta. “Kau cantik sekali”

Wajahmu bersemu merah cepat sekali. Dengan kedua tangan kau rangkum wajah cantik tanpa make-up itu.

“Bahkan ketika kau malu-malu begitu,” aku semakin senang menggodaimu.

“Ih…. apaan sih?!” serumu sambil memukul pelan lenganku.

Dering telepon membuyarkan aksi isengku. Kau terburu-buru mengambil ponselmu yang tergeletak di atas ranjang, dan mengangkatnya.

“Hallo?” raut wajahmu berubah drastis.

“Aku? Lagi di kantor, kenapa?” kau melirik ke arahku ragu.

“Hah? Emm… iya, aku lagi pergi sebentar. Iya, habis mengambil gaunku…: kau tampak begitu gusar, kakimu tidak bisa diam semenjak tadi. “Punya? Baik-baik akan kuambil jasmu, iya… Hmmm… love you too…”

Ingin rasanya kuhilangkan kemampuan mendengarku saat itu juga. Walau suaramu dipelankan saat mengucap dua kata itu, tetap saja dengan jelas kudengar. Udara di ruangan ini semakin terasa padat. Gemuruh jantung semakin, kencang, amarahku tertampar begitu keras. Aku marah sekali.

Kau menghampiriku, gaunmu membuatku sadar kalau sampai kapanpun hanya akan memiliki bias yang tidak nyata.

Setelah Januari lalu kau mengikat janji sucimu dengan suamimu sekarang. Minggu depan, kau akan melaksanakan pesta ulang tahunmu yang ke 24 tahun dan tentunya, suamimu akan ada di sana, mendampingimu, bukan aku. Ya, bukan AKU.

Karena aku hanya seekor tikus yang menyelinap ke sisi gelap hidupmu. Bersembunyi di sana dan takut untuk keluar, takut ketahuan dan takut ditangkap. Aku hanya tikus.

“Lebih baik kau pulang, Alyssa. Suamimu menunggu…”

25 Juli 2010…

Sudah hampir satu bulan sejak pertemuan terakhir kita. Hari di mana pelukanmu dengan berat dilepaskan dan dengan berat hati juga meninggalkan ruangan yang hampir satu tahun ini menjadi saksi bisu hubungan yang salah ini, antara tikus dengan bidadari.

Aku tahu, kau datang beberapa kali dan mengetuk pintu ruangan ini. meneriaki namaku sambil mengetuk kencang. Aku harus tahu diri, menjauh darimulah yang terbaik. Jadi, aku hanya diam dibalik pintu, menahan napas dan mendengar beberapa gumamanmu.

Seperti: “Apa kau di dalam?” atau “Tolong buka pintunya, I miss you.” Sampai “Hari ulang tahunku sepi, tapi kau  tidak mengicapkan apa-apa. Bahkan menghilang begitu saja. Kau di mana?” suaramu terdengar begitu putus asa.

Lalu aku hanya mendesis perkataan yang harusnya kuucapkan dengan kecupan di bibirmu. “Happy birthday My Angle… I love you very much.” Lalu sebuah air mata meluncur tanpa bisa kucegah, sepertinya perasaan ini sudah keterlaluan.

Beberapa tas sudah siap di dekat pintu. Barang-barangku sudah berpindah ke dalamnya. Aku siap meninggalkan memori tentang kita di sini.

Tapi sialnya, setiap langkah setiap tarikan napas selalu membawaku pada bayang wajahmu, seakan dunia meledekku untuk hal itu. Tentang hal yang harusnya bisa kuhindari. Tentang cinta yang salah tempat, tentang cinta yang tak akan berakhir bahagia. Tentang cinta yang harus dibuang.

Dan sialnya lagi, alam sedang tidak berpihak padaku.

“Ke mana saja kau?!” kalimat pertama yang terlontar setelah sekian lama tak bersua.

Untuk pertama kalinya, ruangan itu tidak menjadi saksi kita kini. Di hadapan suamimu yang jauh di belakang. Alyssa menatap lekat ke arahku meminta penjelasan.

“Apa dia sudah gila?” batinku.

“Jawab aku!” bentaknya dengan suara serak.

Semoga suamimu tidak cukup dekat untuk mendengar percakapan kita.

“Ada suamimu Alyssa,” balasku kalem, walau hatiku sudah tercabik habis.

“Jawab…” Kau menarik kerahku geram. Kedua matanya tertuju pada mataku yang takut-takut melihatnya.

“Aku harus pergi, selamat tingga,” tutupku cepat-cepat. Rasa nyeri di dada ini sudah tidak boleh dibiarkan.

“Jangan!” Kau menguncang-mengguncang tubuhku geram. Matamu semakin memerah. “Jangan!” kini tangis itu pecah.

“Maaf,” aku berusaha tegar, tenang tanpa menatap wajahmu.

“Aku mohon… jangan pergi. Untuk apa kau pergi? Kau punya aku di sini. Jangan pergi!” tanganmu segera melingkar di pinggangku. Rintik air matamu ikut jatuh menetesi bajuku.

Ah.. ingin rasa kubalas pelukan ini. “Tidak Alyssa, aku tidak memilikimu, kau bukan milikku Alyssa.”

Perkataanku sukses membuat tangisnya pecah.

Ah, sial. Persetan dengan suami malang itu. kupeluk balik tubuh mungil Alyssa membiarkan seluruh tubuhnya tenggelam di pelukanku. Menghirup banyak dan dalam aroma mawar yang menuar dari balik lehernya.

“Jangan pergi… kumohon!”

Aku mengangguk. Menjauhkan tubuhku dari tubuhnya. Lalu dengan berani mencumbu bibir milikku itu dihadapan suaminya.

Dia milikku.

/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).

5/5 – (1 vote)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *