Gender dan Kesehatan

gender dan kesehatan

Gender dan Kesehatan – Sosiolog secara tradisional membedakan antara istilah “jenis kelamin” yang secara biologis digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan, dan “gender” yang merupakan peranan sosial yang dipelajari sehingga disebut menjadi maskulin dan feminim.

Menurut Hillier (1991) jenis kelamin adalah (sex) mengacu pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan.

Gejala yang hanya dapat dialami kaum perempuan seperti menstruasi, kehamilan, melahirkan, abortus, dan menopause dapat kita masukkan dalam kategori ini. Istilah gender di lain pihak mengacu pada makna sosial yang diberikan pada perbedaan jenis kelamin.

Bacaan Lainnya

Gambaran mengenai kaum perempuan sebagai makhluk lebih lemah yang lebih rentan terhadap berbagai penyakit daripada laki-laki sehingga peran yang dapat diberikan kepada perempuan jauh lebih terbatas daripada peran laki-laki, misalnya merupakan perbedaan gender.

Nah, anda sudah bisa membedakan antara jenis kelamin dan gender bukan?

Jadi, jenis kelamin terberi sebagai substratum biologis laki-laki dan perempuan, sedangkan gender adalah karakteristik yang dipelajari secara sosial yang selaras dengan maskulinitas dan feminitas, yakni menjadi laki-laki atau perempuan.

1. Kaitan Gender Dengan Kesehatan

Di bidang kesehatan kita jumpai bahwa adanya perbedaan antara distribusi morbiditas dan mortalitas antara laki-laki dan perempuan.

Cockerham mengatakan bahwa penyebab kaum laki-laki memiliki harapan hidup lebih pendek dari kaum perempuan salah satunya disebabkan karena sebagai organisme biologis kaum laki-laki memiliki lebih banyak kelemahan daripada kaum perempuan yang menjadikan laki-laki lebih rentan terhadap penyakit dan kelainan sejak masih berada dalam kandungan.

Sebagai dampak adanya kelemahan faaliah pada kaum laki-laki inilah maka pada laki-laki dijumpai angka kematian sekitar 12% lebih tinggi pada janin sebelum lahir (prenatal) dan sekitar 130% pada bayi baru lahir (neonatal).

Data Badan Pusat Statistik Indonesia tentang angka kematian bayi berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000 memperlihatkan bahwa di tiap provinsi angka kematian bayi laki-laki lebih tinggi daripada angka kematian bayi perempuan.

Sedangkan data Badan Pusat Statistik Indonesia mengenai angka harapan hidup berdasarkan Sensus Penduduk 2003 memperlihatkan bahwa angka harapan hidup laki-laki di tiap provinsi lebih rendah daripada angka harapan hidup perempuan (lihat Badan Pusat statistik Indonesia, 2008).

Meskipun angka kematian janin dan bayi baru lahir lebih tinggi pada laki-laki, namun menurut Cockerham di lain pihak ditemukan pula bahwa morbiditas lebih banyak dijumpai di kalangan perempuan sehingga demikian kaum perempuan lebih sering sakit daripada laki-laki, tetapi kaum laki-laki lebih cepat meninggal dunia.

Di samping itu, kaum perempuan menderita penyakit kronis yang sama dengan laki-laki, tetapi kaum perempuan mulai menderita penyakit tersebut pada usia lanjut.

Menurut Waldron faktor sosial yang menyebabkan perbedaan mortalitas laki-laki dan perempuan bervariasi sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan (faktor lintas budaya).

Selain itu, suatu faktor sosial dalam suatu masyarakat tertentu juga dapat bervariasi dari waktu ke waktu (faktor sejarah).

Suatu faktor sosial penting yang menyumbang pada perbedaan mortalitas laki-laki dan perempuan adalah perbedaan sosialisasi peran.

Misalnya dalam banyak masyarakat perempuan disosialisasikan untuk lebih mengutamakan peran sebagai ibu rumah tangga daripada partisipasi dalam angkatan kerja. Laki-laki, di lain pihak cenderung disosialisasikan untuk menjadi pencari nafkah bagi keluarga.

Oleh karena jumlah laki-laki yang berpartisipasi dalam angkatan kerja melebihi jumlah perempuan maka laki-laki pun menghadapi risiko lebih besar untuk berada dalam tempat kerja yang menghadapi berada dalam tempat kerja yang menghadapkan mereka pada situasi yang membahayakan kesehatan, seperti terpaan udara lembab, udara tercemar, gas-gsa beracun, dan zat berbahaya (seperti zat penyebab penyakit kanker).

Perbedaan mortalitas laki-laki dan perempuan juga ditemukan dalam jumlah korban kecelakaan lalu lintas.

Pertama, jumlah laki-laki yang setiap hari berada di jalan raya baik sebagai pengemudi maupun pengendara kendaraan bermotor pada umumnya lebih besar daripada perempuan sehingga peluang bagi laki-laki untuk terlibat dalam kecelakaan lalu lintas lebih besar.

Kedua, laki-laki cenderung untuk mengemudi lebih cepat, kurang memperhatikan faktor keamanan dan lebih sering melanggar peraturan lalu lintas daripada perempuan sehingga menghadapi risiko lebih tinggi.

Kebiasaan merokok juga merupakan suatu kebiasaan yang dalam banyak masyarakat lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki daripada kaum perempuan, dan perempuan yang merokok pun menghabiskan lebih sedikit rokok daripada laki-laki.

Menurut data Waldron orang yang berkebiasaan merokok lebih rentan terhadap berbagai penyakit tertentu, seperti penyakit infeksi saluran pernafasan atas, kanker ganas, dan penyakit jantung daripada mereka yang tidak merokok.

Selain faktor budaya yang menganggap bahwa laki-laki lebih pantas merokok daripada perempuan, lebih tingginya frekuensi merokok pada kaum laki-laki terkait pula dengan dihadapinya berbagai masalah di tempat kerja yang mendorongnya ke kebiasaan merokok.

Pendekatan gender dalam kesehatan mengenali bahwa faktor sosial budaya, serta hubungan kekuasaan antar laki-laki dan perempuan, merupakan faktor penting yang berperan dalam mendukung atau mengancam kesehatan seseorang.

Hal ini dinyatakan dengan jelas oleh WHO dalam konferensi perempuan sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995.

2. Jenis Kelamin, Gender, dan Kesehatan

Untuk membantu memperjelas pemahaman anda tentang perbedaan seks dan gender, berikut kita lihat perbedaan diantara keduanya pada tabel di bawah ini:

perbedaan seks kelamin dan gender
Perbedaan seks dan gender.

Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Perempuan sebagai kelompok cenderung mempunyai angka harapan hidup yang lebih panjang dari pada laki-laki, yang secara umum dianggap sebagai faktor biologis. Namun dalam kehidupannya perempuan lebih banyak mengalami kesakitan dan tekanan dari pada laki-laki.

Walaupun faktor yang melatarbelakanginya berbeda-beda pada berbagai kelompok sosial, hal tersebut menggambarkan bahwa dalam menjalani kehidupannya perempuan kurang sehat dibandingkan laki-laki.

Penjelasan terhadap paradoks ini berakar pada hubungan yang kompleks antara faktor biologis jenis kelamin dan sosial (gender) yang berpengaruh terhadap kesehatan.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa berbagai penyakit menyerang laki-laki dan perempuan pada usia yang berbeda, misalnya penyakit kardiovaskuler ditemukan pada usia yang lebih tua pada perempuan dibandingkan laki-laki.

Beberapa penyakit, misalnya animea, gangguan makak dan gangguan pada otot serta tulang lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada laki-laki.

Berbagai penyakit atau gangguan hanya menyerang perempuan, misalnya gangguan yang berkaitan dengan kehamilan dan kanker serviks, sementara itu hanya laki-laki yang terkena kanker prostat.

Kapasitas perempuan untuk hamil dan melahirkan menunjukkan bahwa mereka memerlukan pelayanan kesehatan reproduksi yang berbeda, baik dalam keadaan sakit maupun sehat

Perempuan memerlukan kemampuan untuk mengendalikan fertilitas dan melahirkan dengan selamat, sehingga akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas sepanjang siklus hidupnya sangat menentukan kesejahteraan dirinya.

Kombinasi antara faktor jenis kelamin dan peran gender dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya seseorang dapat meningkatkan risiko terhadap terjadinya beberapa penyakit, sementara di sisi lain memberikan perlindungan terhadap penyakit lainnya.

Perbedaan yang timbul dapat berupa keadaan sebagai berikut:

  1. Perjalanan penyakit pada laki-laki dan perempuan.
  2. Sikap laki-laki dan perempuan dalam menghadapi suatu penyakit
  3. Sikap masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan yang sakit.
  4. Sikap laki-laki dan perempuan terhadap pengobatan dan akses pelayanan kesehatan.
  5. Sikap petugas kesehatan dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan.

Sebagai contoh, respons terhadap epidemi HIV/AIDS dimulai dengan pemberian fokus pada kelompok risiko tinggi, termasuk pekerja seks komersial. Laki-laki dianjurkan untuk menjauhi pekerja seks komersial atau memakai kondom.

Secara bertahap, fokus beralih pada perilaku risiko tinggi, yang kemudian menekankan pentingnya laki-laki menggunakan kondom. Hal ini menghindari isu gender dalam hubungan seksual, karena perempuan tidak menggunakan kondom tetapi bernegosiasi untuk penggunaanya oleh laki-laki.

Dimensi gender tersebut tidak dibahas, sampai pada saat jumlah ibu rumah tangga biasa yang tertular penyakit menjadi banyak.

Dewasa ini, kerapuhan perempuan untuk tertular HIV/AIDS dianggap sebagai akibat dari ketidaktahuan dan kurangnya akses terhadap informasi. Ketergantungan ekonomi dan hubungan seksual yang dilakukan atas dasar pemaksaan. Tejadinya tindak kekerasan pada umumnya berkaitan dengan gender.

Secara umum pelaku kekerasan biasanya laki-laki, yang merefleksikan keinginan untuk menunjukkan maskulinitas, dominasi, serta memaksakan kekuasaan dan kendalinya terhadap perempuan, seperti terlihat pada kekerasan dalam rumah tangga (domestik).

Karena itu kekerasan terhadap perempuan sering disebut sebagai “kekerasan berbasis gender”.

3. Pengaruh Gender Terhadap Kesehatan Reproduksi

Sehubungan dengan peran gender, laki-laki tidak terlalu tertarik untuk mempelajari kesehatan seksual dan reproduksinya. Sehingga pengetahuan mereka cenderung terbatas.

Hal ini menyebabkan laki-laki kurang berminat mencari informasi dan pengobatan terhadap penyakit, misalnya: Infeksi Menular Seksual (IMS).

Menikah pada usia muda bagi perempuan berdampak negatif terhadap kesehatannya. Namun menikah di usia muda kebanyakan bukanlah keputusan mereka, melainkan karena ketidakberdayaannya (isu gender).

Di beberapa tempat di Indonesia, kawin muda dianggap sebagai takdir yang tidak bisa ditolak. Perempuan tidak berdaya untuk memutuskan kawin dan dengan siapa mereka akan menikah.

Keputusan pada umumnya ada di tangan laki-laki; ayah ataupun keluarga laki-laki lainnya.

Salah satu kasus yang terkait dengan masalah gender yaitu: Seorang gadis umur 17 tahun, mengalami perdarahan. Setelah dirawat di sebuah rumah sakit selama dua jam, dia meninggal dunia.

Gadis tersebut merupakan korban aborsi yang dilakukan oleh seorang dukun. Usaha lain sebelum melakukan aborsi adalah minum jamu peluntur, pil kina, dan pil lainnya yang dibeli di apotek. Kemudian dia datang ke seorang dokter kandungan. Dokter menolak melakukan aborsi karena terikat sumpah dan hukum yang mengkriminalisasi aborsi.

Si gadis minta tolong dukun paraji untuk menggugurkannya. Rupa-rupanya tidak berhasil, malah terjadi perdarahan. Ia masih sempat menyembunyikan ini semua kepada kedua orang tuanya, selama 4 hari berdiam di kamar dengan alasan sedang datang bulan. Ia tidak berani bercerita pada siapa-siapa apalagi pada ibu dan bapaknya. Cerita itu berakhir dengan amat tragis, gadis itu tidak tertolong.

Kasus tersebut menggambarkan ketidakberdayaan si gadis. Ia memilih mekanisme defensif dan menganggapnya sebagai permasalahan dirinya sendiri. Ia menyembunyikan keadaannya karena malu dan merasa bersalah. Masyarakat akan menyalahkan karena dia tidak mengikuti apa yang disebut moral atau aturan sehingga ia memilih mati meskipun tidak sengaja.

Aborsi merupakan dilema bagi perempuan, apa pun latar belakang penyebab kehamilannya dan apa pun status ekonominya.

Untuk menuntut hak reproduksinya dia harus mendapat dukungan seperti bantuan dari komunitasnya atau dukungan emosional dan tanggung jawab bersama dari orang yang paling dekat (pacarnya).

Dalam konteks ini, maka jelas bahwa persoalan hak reproduksi pada akhirnya adalah persoalan relasi antara laki-laki yang berbasis gender serta masyarakat dan negara sebagai perumus, penentu, dan penjaga nilai bagi realisasi hak reproduksi perempuan.

Pada contoh kasus tersebut merupakan bentuk kekerasan yang berbasis gender yang memiliki alasan bermacam-macam seperti politik, keyakinan, agama, dan ideologi gender.

Salah satu sumber kekerasan yang diyakini penyebab pada kasus tersebut adalah kekerasan dari laki-laki terhadap perempuan adalah ideologi gender, misalnya perempuan dikenal lemah lembut, emosional, cantik, dan keibuan.

Sementara laki-laki dianggap lebih kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Bentuk kekerasan ini merupakan dilanggarnya hak reproduksi akibat perbedaan gender.

Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang.

Perbedaan ini dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Pada akhirnya perbedaan ini dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang tidak bisa diubah dan dianggap sebagai perempuan.

Kekerasan rumah tangga dalam berbagai bentuk sering terus berlangsung meskipun perempuan tersebut sedang mengandung.

Konsekuensi paling merugikan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan adalah dampak terhadap kondisi kesehatan mentalnya. Dampak ini terutama menonjol pada perempuan korban kekerasan seksual. Dalam tindak perkosaan, misalnya, yang diserang memang tubuh perempuan.

Namun, yang dihancurkan adalah seluruh jati diri perempuan yaitu kesehatan fisik, mental psikologi, dan sosialnya.

Kekerasan domestik biasanya merupakan kejadian yang kronis dalam kehidupan rumah tangga seorang perempuan.

Cedera fisik dapat sembuh setelah diobati, tetapi cedera psikis mental (seperti insomnia, depresi, berbagai bentuk psikosomatik sakit perut yang kronis sampai dengan keinginan bunuh diri) akan selalu dapat terbuka kembali setiap saat.

Dampak psikologis yang paling sulit dipulihkan adalah hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri dan orang lain. Selain itu juga ada kecenderungan masyarakat untuk selalu menyalahkan korbannya. Hal ini dipengaruhi oleh nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis.

Bahkan, walaupun kejadian dilaporkan, usaha untuk melindungi korban dan menghukum para pelaku kekerasan sering mengalami kegagalan. Kondisi tersebut terjadi karena kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan, tidak pernah dianggap sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia.

Demikian penjelasan terkait gender dan Kesehatan yang telah kami sajikan, terima kasih.

Referensi

Gultom, Erni, and Rr. Ratnasari Dyah P. 2017. “Konsep Dasar Pelayanan Asuhan Kesehatan Gigi Dan Mulut I.” Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Purwaningsih,Endang; Astuti, Sri Wahyu Dwi. 2017. “Etika Profesi Dan Hukum Kesehatan (Buku Ajar Keperawatan Gigi).” 145.

Rosmalia, Dewi, and Yustina Sriani. 2017. “Sosiologi Kesehatan: Bahan Ajar Keperawatan.” Journal of Materials Processing Technology 1(1):1–108.

5/5 – (1 vote)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *