Hari Sempurna Karya Sayfullan

Hari Sempurna Karya Sayfullan

Hari Sempurna

Oleh: Sayfullan

Oh No!!!” teriakku sambil mendelik melihat timbangan di bawah telapak kakiku. “Mana mungkin berat badan gue bisa naik nggak sopan begini? Apa kata dunia jika di hari H nanti, gue lebih terlihat kayak ondel-ondel daripada seorang pengantin? OMG!!! Ini nggak bisa dibiarin!!!

Bacaan Lainnya

###

Kupandangi lagi catatan-catatan sakral yang tercatat di buku tebal bersampul hijau di meja kamarku. Dengan masih lengkap memakai gaun tidur dan roll rambut yang eksis di rambut, kucomot pulpen merah dari tempatnya dan langsung kutekankan keras-keras di kertas berisi daftar schedule persiapan pernikahanku.

Today à Fitting Baju in Imo Boutiqe

Kurasakan bibirku tersenyum lebar saat membaca dan sukses mencoret jadwalku hari ini dengan tinta merah pulpenku itu. Membacanya berulang kali, seperti ada sebuah energi yang mengalir dalam tubuhku untuk cepat-cepat mengabaikan rayuan kasur yang biasanya terlalu sulit untuk kutolak. And then, kamar mandilah yang akan menjadi sasaranku berikutnya. Tapi, sebelum aku melangkah, pantulan bayanganku di cermin tertangkap tak sengaja oleh mata. Aku pun mengamati seksama bayangan itu, yang seperti ada sesuatu terjadi pada bentuk tubuh dan wajahku.

“Kayaknya aku gendutan? Pipi! Paha! Perut! Oh… tidak, bagaimana kalau nanti bajunya nggak muat?” kataku saat mencermati bentukku di cermin kamar melihat perubahan yang cukup berarti di bagian pipi, pinggang, juga bokong. “Oh… Tidak! Gue harus diet!” sumpahku pada diri sendiri.

Rasa kesal langsung menjalar di seluruh tubuhku setelah adanya bukti—

Tak hanya dari cermin, tapi juga angka timbangan yang melonjak drastis. Penyesalan lamat-lamat menyerangku karena merasa berdosa telah melanggar aturan diet yang dulu kujalani. Oke, kata diet memang sudah lama aku hindari. Tapi, ini masalah lain, bayangkan! Tujuh hari lagi adalah hari pernikahanku. Mana mungkin aku bertubuh mirip raksasa ini, dengan PD-nya mendampingi Arnold yang Oh-so-perfect itu di pelaminan? Sungguh nggak serasi! Aku harus telepon dia. Aku tak ingin terus menderita dengan penyiksaan lemak ini yang mulai menyerangku telak. Dengan cekatan kupencet nama Arnold dari smartphone-ku.

“Hallo, Arnold. Ini gawat! Kabar buruk, sayang!” kataku panik langsung nerocos ke calon suamiku, Arnold.

“Ada apa, sayang? Kabar buruk apa? Kamu Oke kan?” suara lembut dan menenangkan seperti mengalir di telingaku kala mendengar suaranya dari speaker handphone-ku.

“Ini soal pernikahan kita!” pekikku.

“Ada apa dengan pernikahan kita? Jadi kan kita fitting hari ini?” tanyanya dengan cemas.

“Bukan masalah bajunya?” rengekku manja.

“Lantas?”

“Akunya! Aku yang bermasalah! Sayang, rasanya aku ingin mati saja,” kataku dengan air mata menyembul.

“Kamu nggak apa-apa kan sayang? Apa yang terjadi?” tanyanya ikut panik.

“Berat badanku! Berat badanku naik empat kilo! Dan aku terlihat lebih gemukan, sekarang. Aku nggak mau di hari pernikahan sakral kita, aku terlihat gendut! Nggak serasi sama kamu. Aku nggak mau, Sayang!” jawabku dengan sesenggukan.

Ada helai napas yang terdengar di seberang telepon genggamku, entah apa makna helaian napasnya itu. Yang pasti, hanya kata-kata semangat darinyalah yang aku butuhkan kini.

“Dengar aku. Apapun bentuk kamu, sekarang atau nanti, cintaku kepadamu nggak akan berubah. Cintaku tak hanya diukur dari angka yang terlihat di timbanganmu itu—

“Tapi, apa aku salah, jika ingin terlihat sempurna di pernikahanku?!”

Dan sambungan teleponku aku putus seketika. Bukan aku tidak menerima pernyataan tulusnya itu. Bukan pula kata-katanya tak berefek apa-apa untuk hatiku. Tapi, aku hanya merasa kecewa dengan diriku sendiri jika pada hari H nanti, sang pangeran sempurnaku harus berdampingan dengan ondel-ondel gendut sepertiku. TIDAAAAK!!!

###

Fitting Baju

Oke, aku akui. Acara hari pertamaku mempersiapkan pernikahanku amburadul. Berantakan total! Bagaimana tidak, setelah satu jam berangkat bersama dari rumah dan sampai di Imo butik— dengan hati yang gundah plus was-was kalau baju yang telah dirancang bakal tidak muat, akhirnya kuberanikan diri juga untuk melangkah di kamar pas butik. Psikisku benar-benar tersiksa saat mbak-mbak karyawan butik, mulai menanggalkan bajuku dan memasangkan gaun putih megah di tubuhku yang terasa berkeringat. Mataku terpejam. Ada ketakutan ekstra dalam keringat yang mulai berlomba menyembul. Aku terlalu panik. Takut gaun berpayet mutiara itu nggak muat untuk badanku yang membengkak. Dan—

“Mbak Ve rada gendutan yah? Duh mana perutnya pada gembil-gembil begini! Pas ngukur bulan lalu nggak gini lho mbak,” komentar mbak-mbak karyawan butik bername-tag BUNGA ini penuh keringat.

Aku yakin, produksi keringatnya karena tenaga yang dikeluarkannya untuk memakaikan gaun sempit ini di tubuh bengkakku tidak kecil.

“Saya takut mbak, kalau dipaksa, malah ngerusak jahitan gaun ini. Ukur ulang saja ya mbak?” tawarnya menyerah dengan usaha hati-hatinya itu.

Cukup sudah percakapan di atas menjadi penilaian bagaimana hari fitting bajuku yang messed-up. Apalagi, saat kulihat Arnold dengan tubuhnya yang sempurna itu, terlihat sangat pas dan cocol dengan baju yang dicobanya.

“Ini tidak bisa dibiarin! Aku nggak mau ukur ulang! Aku pasti bisa kurus! Beri aku waktu empat hari!!!” teriakku mengakhiri jadwal pertamaku menjelang pernikahanku.

###

Ada angin segar setelah kejadian memuakkan di butik kemarin, ya, acara pesan dan icip-icip catering di Bu Indro lancar, juga masalah gedung juga undangan yang sudah disebar rata. Tapi masih ada satu masalah, apa lagi kalau bukan berat badanku yang belum juga membuahkan hasil. So, meski coretan-coretan merah di buku schedule-ku telah terisi penuh tanda OK— kecuali gaun tentunya, masih ada sebongkah risau yang terus menghantuiku.

“Sudahlah, sayang. Cuma naik empat kilo saja, kamu sampai rela-relain nggak makan nasi. Malah minum obat pelangsing segala. Itu kan berbahaya, sayang. Jaga kesehatanmu itu, kurang tiga hari lagi acara resepsi kita,” ucap Arnold yang tak henti-hentinya menjadi iblis penghalang niatku untuk kembali kurus.

“Sudah kubilang, aku ingin tampil sempurna,” jawabku lemah, yeah namanya juga nggak ada asupan hidrat arang.

“Aku tidak butuh kesempurnaan, sayang. Aku hanya butuh kamu jadi mempelai wanitaku! Itu saja,” jawabnya sambil menatapku tajam. “Aku tak peduli dengan berat badanmu, dengan tampilanmu yang menggemuk, dengan penampilanmu, aku hanya peduli dengan adanya kamu, kesehatanmu,” tambahnya dengan wajah serius khasnya.

Mendengar ucapannya, aku bergeming, hanya bisa mencerna kata-katanya yang membuatku harusnya tak perlu melanjutkan lagi program pengurusan badan ini. Tapi, sisi lainku menolak, ingin tetap bisa menjadi mempelai yang sempurna di depannya, di depan orang-orang.

“Sayang, aku malu jika terlihat—

“Jika kamu berpikir pendapat orang lebih berarti buatmu daripada aku, buat apa kamu mau mendampingiku? Menjadi istriku?” sentilnya kepadaku sambil melangkah pergi meninggalkanku sendiri di beranda rumah.

Dan aku tahu, dia sedang marah….

###

Hari H

Pesta yang mewah dan kesempurnaan yang ada di bayangku selama ini kini seperti fatamorgana saja. Buku yang sudah tergores tinta merah lambang semua telah sempurna pun tergeletak seperti tanpa nyawa di meja putih samping tempat tidurku. Namun, senyumku masih bisa merekah, kala penghulu berjas hitam dan berpeci ini menghampiriku. Tentu, bersama keluarga, juga dia, seseorang yang sudah kuabaikan ucapannya, seseorang yang tulus ada, dan lelaki yang mempu menggerakkan hatiku untuk berucap aku beruntung memilikinya. Arnold.

Dia melangkah mantap mendekatiku, walau tanpa baju putih megah itu. Hanya dengan jas hitam dan celana bahan tersetrika rapi, dia kini di sisiku. Lalu, bersama senyum tulusnya dia pun mengikrarkan janji suci itu, ikatan halal cinta tulusnya. Dengan mahar yang telah dia bawa, dengan seikat cinta yang dia tawarkan, dia kini resmi menjadi imamku. Tak peduli berapa besarnya tubuhku, pun betapa paranoidnya diriku dengan angka-angka di timbangan.

Ah, yang penting akhirnya kini dia resmi menjadi suamiku. Meskipun, gedung megah itu kini berganti sekotak ruang perawatan rumah sakit, dan gaun indah itu berubah menjadi seragam pasien. Dan sepertinya tak perlu menyalahkan obat pelangsing itu dan menjadikannya kambing hitam, karena aku akan tetap mengenang hari pernikahanku ini sebagai hari yang sempurna.

###

/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).

5/5 – (5 votes)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *