Cerpen Berandal Karya Farrahnanda

Cerpen Berandal Karya Farrahnanda

Berandal

Oleh: Farrahnanda

Siang yang sejuk di pertengahan bulan Juli 2010. Sepasang muda-mudi baru saja melewati pagar kawat rendah, melintasi taman kecil melalui jalan setapak dan berhenti tepat di halaman sebuah rumah. Mereka tercenung sesaat. Tidak ada yang salah dengan rumah tua bangunan Belanda di hadapan Serena dan Febryan. Dinding dan struktur rumah tampak kokoh, plafon yang tinggi khas bangunan Belanda membuat rumah tidak akan terasa panas, juga jendela-jendela tinggi-besar yang engselnya masih berfungsi. Hanya saja, tempatnya yang terpencil, jauh masuk ke dalam gang-gang sempit di pedesaan, seakan menghancurkan segala nilai lebih rumah itu. Dan tinggal selama enam bulan di dalamnya, tidak akan jauh berbeda seperti diasingkan.

Bacaan Lainnya

Kedua orang itu masih terpaku di halaman rumah, menenteng koper-koper dengan wajah bimbang. Sesekali Serena ragu ingin mengeluarkan kunci dari dalam saku jaketnya.

“Baiklah,” kata Febryan sambil menaiki undakan rendah menuju teras. “Kamu nggak akan tidur di kebun depan, kan?”

“Aku masih belum rela.”

“Keputusan mama Karen tepat memindahkanmu ke sini untuk sementara waktu, Na. Reva membawa efek buruk–”

“Sudah kubilang aku nggak kenal siapa itu Reva, Yan!” Nada Serena meninggi, disusul langkah berdebum di belakang Febryan. Dia mendahului Febryan, lalu menggunakan kunci untuk membuka pintu masuk lebar-lebar.

Sulit untuk mempercayai ucapan Serena. Pagi itu, jelas-jelas Febryan dan mama Karen yang memergoki Serena berada satu selimut dengan Reva–dalam keadaan tubuh polos. Tadinya Febryan masih berusaha berpikir positif, andai saja dia tidak melihat sebuah dildo tergeletak di kaki ranjang.

“Jangan pasang wajah kayak begitu, Yan. Aku bukan lesbi. Kita pacaran dan kamu tahu itu.”

“Ya, ya, aku–,”

“Mau masuk sekarang atau tidak?” Serena mulai kesal. Dia menggeret koper dengan kasar sampai ke ruang tamu. Tanpa menoleh ke arah Febryan, Serena bilang, “Kamu pilih kamar yang mana. Terserah.”

Febryan menghempaskan badan ke sofa panjang di dekat pintu masuk. “Aku di sini aja. Rasanya ngeri ngebayangin kamu keluar lagi malam nanti.”

“Yan, jangan mulai,” gerutu Serena. Kali ini menatap Febryan dengan tatapan malas.

“Na, aku trauma! Kamu nggak ngerti betapa paniknya aku saat ditelepon mama Karen malam itu, lalu datang ke rumahmu dan ngeliat kaca jendela di kamarmu pecah, darahmu berceceran di sekitar kamar, dan…, dan…,” Febryan berdiri, berjalan gelisah dari ujung sofa satu ke ujung lainnya. “Semua berawal dari situ, kan? Lalu kamu pulang dengan mulut bau alkohol, kembali berbicara dengan logat Jerman yang aneh itu. Dan beberapa minggu kemudian kamu membawa Reva ke rumah. Semuanya rusak dan berawal dari malam itu!”

Bahu Serena mengedik, tidak ingin ada perdebatan lebih jauh. Perempuan dua puluh tiga tahun itu akan bersumpah demi apapun kalau dia tidak pernah melakukan hal yang dituduhkan barusan. Dia tidak berbohong. Juga tidak kesurupan saat melakukan tindakan-tindakan itu. Tapi percuma. Febryan juga akan bersumpah kalau semua kejadian itu nyata.

“Oke, terserah aja. Kamu di ruang tamu dan aku akan memilih kamar paling depan itu,” Serena menunjuk sebuah kamar, “Agar kamu ngerasa bisa mengamankanku.”

Mereka sepakat. Setelah merapikan koper-koper, mereka bekerja sama untuk membenahi rumah yang lama tidak ditempati. Ya, itu rumah yang dibeli papa Yos, ayah Serena, dua belas tahun yang lalu. Sampai sekarang belum dihuni karena mereka masih sayang dengan rumah yang di Jakarta. Lagi pula, rumah itu memang dibeli untuk ditempati nanti setelah papa Yos pensiun dari pelayaran.

Serena menyapu dan membersihkan debu-debu, Febryan mengisi bak mandi dan membersihkan jendela. Sore menjelang malam, rumah mulai terasa jauh lebih baik. Pewangi lantai yang beraroma jeruk menjadi penyempurna ujung hari. Setelahnya, Serena pergi menuju gudang bawah tanah untuk menyimpan rongsok hasil bersih-bersih di sana.

Klik

Sakelarnya mati. Hanya tersisa berkas lampu dari atas kalau pintu gudang tidak ditutup. Serena tidak pernah suka gelap. Jadi, dia hanya melepar barang-barang itu ke sembarang arah untuk segera kembali ke arah pintu, tanpa memperhatikan langkah. Katakan saja Serena gegabah, tersandung dan…

Blam

Pintu menutup. Sekitar Serena yang tampak hanya kegelapan dan dia sangat panik. Serena mencoba meraung tapi pita suaranya tercekat. Ada sensasi aneh yang tidak pernah dia paham saat berada di tempat gelap, bahkan tubuhnya mulai gemetar hebat. Trauma itu kembali muncul, menekan setiap sisi di dalam kepala. Oh, tidak! Perasan ini…, takut, tapi tak ada jalan keluar! Tidak, aku ingin pergi saja rasanya, pikiran Serena berkabut. Napasnya berat dan sesak seperti mengidap asma kronis. Lalu Serena merasa mengambang.

***

Faythe membuka mata. Merasakan hidungnya gatal, bersin, dan terbatuk-batuk. Debu seakan masuk sampai tenggorokan dan udara terasa pengap. Susah payah dia berdiri, menahan bobot tubuh dengan berpegangan pada kenop pintu. Bola matanya mencoba beradaptasi dalam kegelapan, sampai dia menyadari ada sinar samar yang masuk melalui celah antara pintu dengan kusen pintu dan pintu dengan lantai.

“Brengsek, ini di mana, sih?” maki Faythe sambil menendang pintu. Kesal. Tangannya bersiap memutar kenop pintu.

“Na? Kamu ketiduran di dalam gudang, ya?” Suara Febryan terdengar dari atas anak tangga. Disusul bunyi langkah menuruni tangga menuju ruang bawah tanah.

Banci itu lagi! Faythe menjerit kesal dalam hati. Dia–sangat amat–tidak suka pada Febryan. Menurutnya, lelaki ‘tanggung’ dan ‘setengah matang’ macam Febryan sering membuat orientasi orang-orang yang abnormal seperti Faythe semakin terdistorsi.

“Jangan ke sini! Pergi, Lo!”

Mendadak Febryan berubah waspada. Dia tahu nada bicara dan suara ini. Selanjutnya, kekhawatiran jelas terlihat di wajah lelaki cantik itu. Sedikit berjingkat Febryan menuju pintu gudang, menyandarkan tubuhnya pada papan kayu tebal yang menjadi pembatas antara dirinya dan Faythe.

“Na? Kamu baik-baik aja, kan?” Hati-hati Febryan memelankan suara.

Tidak ada sahutan. Dalam satu gerakan, tubuh tinggi Febryan menghantam pintu sampai benda itu terbuka paksa, membuat sosok di baliknya terpelanting ke belakang.

“Bangke!” maki Faythe, meringis kesakitan. “Lo bisa kasar juga?”

“Ini nggak lucu!” Febryan tolak pinggang. Marah. Dan dalam hati dia berharap, selanjutnya tidak akan mendengar logat Jerman dari mulut yang sama.

Tanpa menggubris ucapan Febryan, Faythe kembali berdiri dan melenggang meninggalkan gudang. Detik berikutnya, Febryan mengekor dengan wajah kesal. Mereka naik sampai di puncak tangga menuju ruang bawah tanah.

“Dapur di mana?”

Bibir penuh Febryan terkatup rapat.

“Lo bisu?”

Masih tidak ada reaksi. Febryan hanya menatap Faythe was-was dan sedikit takut.

Faythe mendesah, “Atau seenggaknya lo bisa bilang kan kita ada di mana?”

“Jogja.”

“Apa? Jogja? Lo gila? Lo nyulik gue?” Faythe panik sesaat. Kemudian dia teringat sesuatu. “Terus Reva tau kalau gue di sini?”

Kedua tangan Febryan mengepal. “Jadi sekarang kamu ngaku kan pernah kenal Reva?”

“Lo bercanda,” tawa Faythe kasar. Dia meninju bahu Febryan, lalu berjalan menuju suara televisi yang masih terdengar sayup-sayup dari ruang tengah.

“Kamu mau ke mana?”

“Bukan urusan lo.”

“Urusanku karena kamu masih cewekku.” Febryan menjajari Faythe, mendekatkan bibir ke telinga Faythe. “Atau kamu lebih suka hubungan ini berakhir, Serena?”

Langkah Faythe terhenti. Dia menarik napas dalam. “Gue nggak mau ganggu hubungan lo sama Serena.”

Tangan Febryan meraih bahu Faythe, memutar paksa gadis itu. “Sekarang jelasin, siapa kamu?!”

“Gue Serena. Serena yang lain. Gue selama ini tinggal di sini,” Faythe mengetuk-ngetuk tempurung kepala sendiri, “Dan sesekali gue terbangun, menguasai kesadaran. Gue sisi berandal Serena!”

Setelah bilang begitu, Faythe mencari-cari kamar di mana Serena meletakkan semua barang, mengambil jaket dan dompet Serena, lalu pergi mencari warung terdekat untuk membeli sebungkus rokok dan korek api.

***

/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).

Berikan Nilai post

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *