Bernarasi Kapan Saja, Tips Menulis Ala Kampus Fiksi

Bernarasi Kapan Saja, Tips Menulis Ala Kampus Fiksi

Di Godean kita bertemu. Kala itu tatap matamu merembes ke dadaku. Baliho yang lampunya nyala-redup jadi saksi kunci, kau nyatakan keinginanmu untuk mendatangi orang tuaku. Tapi secepat ini. Secepat ini untuk lantas kita cerai lagi.

Metro mini melaju ugal-ugalan. Si supir tak takut mati. Penumpangnya sudah kencing sambil berdiri. Keringat bercucuran. Seorang ibu berteriak panik. Kadang aku pikir, kemacetan Jakarta memang berkah untuk ketidaksabaran para penduduknya.

Malam tak ada yang istimewa. Aku telanjang dada. Kipas angin memiuh tanpa jeda di pojok sana, di atas dua rim kertas A4 yang rencananya kupakai untuk mencetak skripsi. Tapi tak pernah jadi. Sial. Gerah sekali.

Bacaan Lainnya

***

Tiga paragraf di atas berdiri secara terpisah. Untuk tiap paragrafnya, mimin menggunakan waktu tidak lebih dari dua menit. Cepat, kan? Mimin hanya perlu mengingat nama sebuah tempat (Godean), lalu memasukkan benda yang sekiranya ada di tempat itu (baliho), dan sertakan seorang karakter yang punya cerita hidup (orang yang dilamar, tak lama kemudian cerai).

Jika sudah terbiasa menulis, tak akan sulit untuk menggambarkan sesuatu, baik itu yang berapa latar asli, maupun karya imajinasi; baik itu deskripsi fisik, maupun deskripsi emosi. Semakin jarang menulis, maka makin kelihatan kaku di sana-sini. Seperti anak kecil yang kepalanya dipenuhi cerita, tapi ketika berusaha menceritakan ke orang lain malah belepotan. Itu kendala hampir semua penulis yang jarang latihan.

Padahal, latihan menulis bisa dilakukan dalam waktu-waktu senggang yang kelihatan tak mungkin, misal cuma tiga menit. Mimin sering bernarasi di Twitter bila sedang naik Metro Mini, atau sedang menunggu seseorang di tempat makan, dan yang mimin narasikan adalah keadaan nyata yang ada saat itu. Karakter yang mimin masukkan ke dalam cerita juga sering dari keadaan nyata. Misal ada seorang bapak yang duduk di pinggir jalan menghisap rokoknya. Mimin menarasikan sebuah cerita menggunakan POV satu dari sudut pandang bapak itu. Apa yang sedang dia pikirkan (tentang keluarganya, pekerjaannya, hobinya); apa yang dia rasakan (dari rokoknya, tempat duduknya, udara di lehernya); apa yang dia dengar; apa yang dia lihat, dan semua yang mencakup dalam kesadarannya sebagai seorang karakter dalam cerita.

Kita bisa memakai cara berlatih ini kapan saja, bahkan bila sedang tidak memegang gadget. Mimin sering duduk diam dalam keramaian dan membuat dialog antar-orang yang ada di sana menggunakan dialog yang mimin karang sendiri. Saat itu juga mimin memperhatikan raut wajah mereka, apa yang kelihatan di sana. Juga gesturnya. Juga keadaan benda-benda di sekitar sana. Narasikan itu semua di dalam kepala untuk melatih kemampuan bercerita.

Mimin sering bilang, sebagai seorang penulis, kita harus meminjamkan pikiran kita kepada tokoh dalam cerita yang sedang kita bangun. Jangan keasikan membawakan diri sendiri ke dalam cerita fiksi yang sedang dibuat. Ada penulis yang keasikan dengan dirinya sendiri, sampai-sampai semua karakter dalam ceritanya punya gaya bicara yang mirip dengan dia. Ini tentu tidak menarik. Monoton.

Jadi, saran mimin, isilah Twitter dan Facebookmu dengan narasi-deskripsi tentang kejadian yang ada di sekitar. Ceritakan hal yang paling menarik di sana. Jika sudah lebih terlatih, mulailah membuat setting sendiri, ciptakan karakter baru, bangun sebuah cerita dari alam imajinasimu, tak perlu tergantung pada sesuatu yang kelihatan. Toh, seorang penulis sudah sewajarnya bisa membuat sesuatu terasa nyata walau sebetulnya itu tidak ada.

Cobalah sekarang juga!

5/5 – (1 vote)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *