Konsep berpikir sinkronik menjadi topik yang perlu dipahami setelah mengetahui konsecp berfikir secara diakronik. Pengungkapan peristiwa sejarah tidak akan lepas dari ruang dan waktu. Dengan kemampuan menganalisa diharapkan dapat mendorong individu dalam berpikir sejarah secara diakronik dan tentunya juga sinkronik.
Pengertian Sinkronik
Selain lewat berpikir diakronis, suatu peristiwa sejarah yang sama, dapat pula direkonstruksi dengan berpikir sinkronis. Berpikir sinkronis yaitu menyertakan cara berpikir ilmu-ilmu sosial yaitu melebar dalam ruang, serta mementingkan struktur dalam satu peristiwa.
Sinkronik ini mempunyai arti meluas di dalam ruang namun juga memiliki batasan di dalam waktu, biasanya metode sinkronik ini selalu digunakan terhadap ilmu-ilmu sosial. Kata Sinkronik ini sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata “Syn” yang artinya adalah “Dengan”, serta “Chronoss” yang memiliki arti “Waktu”.
Metode sinkronik ini lebih menekankan kepada struktur, yang maksudnya meluas dalam ruang. Sinkronik ini dapat atau bisa menganalisa sesuatu hal di saat tertentu, jadi tidak berusaha untuk bisa atau dapat menarik kesimpulan mengenai suatu perkembangan kejadian atau peristiwa yang berpengaruh di kondisi saat ini, tapi hanya untuk menganalisa suatu kondisi saat itu.
Dengan berdasarkan etimologi diatas, bisa juga dikatakan bahwa pengertian sinkronik ini ialah Sebagai segala sesuatu yang berkaitan atau bersangkutan dengan peristiwa atau kejadian yang terjadi pada suatu masa.
Di dalam ilmu sejarah, pengertian sinkronik ini ialah mempelajari peristiwa sejarah dengan seluruh aspek yang terkait di masa atau juga waktu tertentu itu dengan lebih mendalam. Jadi pengertian sinkronik ini merupakan cara berfikir di dalam mempelajari struktur pada suatu peristiwa sejarah, itu dalam kurun waktu tertentu. Atau juga bisa atau dapat diartikan yakni mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu kejadian atau peristiwa yang terjadi pada suatu masa.
Makna Sinkronik
Jadi apa makna dari sinkronik sebagai metode kajian sejarah? Maknanya ialah apabila kita menggunakan metode sinkronik ini, maka kita tidak memperhatikan perkembangan sejarah atau juga perkembangan peristiwa tersebut.
Sejarah tidak semata mata bertujuan untuk menceritakan uruttan kejadian, tetapi bermaksud menerangkan kejadian itu dengan mengkaji sebab sebabnya , kondisi lingkungannya, kondisi sosial budayanya secara lebih mendalam.
Ciri-Ciri Sinkronik
Dibawah ini merupakan beberapa ciri sinkronik di dalam mempelajari suatu kejadian atau peristiwa sejarah, diantaranya:
- Mempelajari peristiwa atau kejadian yang terjadi saat masa tertentu.
- Di dalam mempelajari peristiwa atau kejadian selalu memfokuskan terhadap adanya pola-pola, gejala-gejala serta juga karakter.
- Tidak memiliki konsep perbandingan.
- Mempunyai jangkauan yang lebih sempit.
- Mempelajari dengan secara mendalam.
- Kajiannya juga yang sistematis.
- Sifatnya adalah horizontal.
Maksudnya dari sifat horizontal ialah memanjang pada ruang serta juga terbatas did alam waktu, jadi umumnya menjelaskan mengenai kejadia atau peristiwa hanya intinya saja.
Konsep Berpikir Sinkronis Dalam Sejarah
Berpikir sejarah dengan secara sinkronis ini merupakan cara berpikir meluas itu di dalam ruang tetapi terbatas di dalam waktu. Pendekatan sinkronik ini biasa digunakan di dalam ilmu-ilmu sosial. Sinkronik ini lebih menekankan pada struktur, artinya adalah meluas dalam ruang.
Pendekatan sinkronis ini menganalisa sesuatu hal tersebut pada saat tertentu, titik tetap pada waktunya. Hal tersebut arti tidak berusaha untuk membuat sebuah kesimpulan mengenai suatu perkembangan dari peristiwa yang berkontribusi di kondisi saat ini, namun hanya menganalisis pada suatu kondisi seperti itu.
Istilah dari memanjang dalam waktu itu melingkupi juga gejala sejarah yang terdapat didalam waktu yang panjang itu.
Contoh Penerapan Konsep Berfikir Sinkronik Dalam Peristiwa Sejarah
Latar Belakang Pelaksanaan Tanam Paksa
Sejarah ini dimulai pada tahun 1830 dimana pada saat itu pemerintah Belanda yang ada di Indonesia sudah hampir bangkut. Kebangkrutan ini terjadi setelah Belanda terlibat perang Diponegoro yang terjadi di tahun 1825 hingga tahun 1830 dan setelah pembubaran VOC yang mau tidak mau membuat pemerintah Belanda menanggung hutang serikat dagang Belanda tersebut.
Pada saat itu, Gubernur Jenderal Judo mendapatkan sebuah izin untuk menjalankan Cultuur Stelsel. Tujuannya adalah untuk menutup defisit yang terjadi pada pemerintah Belanda dan digunakan untuk mengisi kas penjajah pada saat itu.
Adapun kebijakan Tanam Paksa ini diberikan oleh pihak pemerintah dengan menerapkan sistem politik liberal pada masa kekuasaannya. Hanya saja kebijakan ini mengalami sebuah kegagalan. Adapun diantara kegagalan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
- Kebijakan liberal yang terjadi di Indonesia tidak sesuai dengan sistem feodal yang ada di Indonesia terutama di pulau Jawa.
- Struktur birokrasi ada feodal yang berbelit-belit dan panjang mengakibatkan pemerintah tidak bisa berhubungan langsung dengan rakyat.
- Kas negara yang kosong akibat terjadinya Perang Diponegoro yang tak kunjung usai.
- Terjadinya kesulitan keuangan yang semakin menjadi-jadi setelah Belgia yang mana ia adalah negara sumber dana melepaskan diri dari Belanda tepatnya pada tahun 1830.
- Kekalahan ekspor Belanda dengan inggris karena ketidakmampuan dalam bersaing.
Pada kurun waktu 1816-1830, pertentangan antara kaum liberal dan kaum konservatif terus berlangsung. Sementara itu kondisi di negeri Belanda semakin memburuk akibat di Eropa Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan yang menghabiskan biaya yang besar, diantaranya upayanya mengahadapi Perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
Selain itu di Indonesia pun Belanda mengahadapi Perang besar yang juga turut membawa akibat keuangan Belanda menjadi deficit. Oleh sebab itu Raja Wiliam 1 mengutus Johannes van den Bosch untuk mencari cara menghasilkan uang dari sumber daya di Indonesia. Oleh karena itulah usulan Van Den Bosch untuk melaksanakan Cultuur Stelsel (tanam paksa) diterima dengan baik, karena dianggap dapat memberikan keuntungan yang besar bagi negeri induk.
Pelaksanaan Sistem tanam paksa didasari oleh pemikiran pemerintal kolonial yang beranggapan bahwa desa desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah kolonial, yang seharusnya diperhitungkan (membayar) senilai 40% dari hasil panen utama desa. kemudian Van den Bosch menginginkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku di pasar ekspor Eropa (tebu, nila dan kopi). Penduduk kemudian wajibkan untuk menggunakan sebagian tanah pertaniannya (minimal 20% atau seperlima luas) dan menyisihkan sebagian hari kerja (75 hari dalam setahun) untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan menjalankan tanam paksa, Pemerintah Kolonial beranggapan desa akan mampu melunasi hutang pajak tanahnya. Seandainya pendapatan desa dari penjualan komoditas ekspor itu lebih besar dari pajak tanah yang harus dibayar, desa akan mendapat kelebihannya. namun Jika kurang, desa harus membayar kekurangannya.
Pelaksanaan Tanam Paksa membuat para petani sangat menderita kala itu karena alih-alih mereka berfokus menanam padi untuk makan sendiri, mereka malah harus menanam tanaman ekspor yang harus diserahkan ke pemerintah kolonial.
Meski peraturan Tanam Paksa jelas memberatkan para petani dan penduduk, namun kenyataan di lapangan, penderitaan yang dialami jauh lebih besar dan berkepanjangan karena dicekik kemiskinan dan ketidaktentuan penghasilan ke depannya.
Tanam paksa atau Cultuurstelsel merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila).
Tanaman ekspor tersebut nantinya kemudian dijual dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial, dan bagi warga yang tidak memiliki tanah harus bekerja selama 75 hari dalam setahun pada kebun milik pemerintah
Sistem tanam paksa ini diketahui lebih keras daripada saat monopoli VOC, sebab ada target yang harus dipenuhi untuk pemasukan penerimaan pemerintah kolonial yang saat itu sangat dibutuhkan.
Pemasukan dari Sistem Tanam Paksa kemudian digunakan untuk membayar hutang Belanda sebab kas pemerintah Belanda amblas setelah Perang Jawa tahun 1830. Sistem itu pun berhasil dan pemerintah Belanda meraup keuntungan yang amat besar.
Teks diatas menggambarkan pelaksanaan Tanam Paksa yang pernah diterapkan pemerintah Belanda di Hindia Belanda pada tahun 1830. Konsep berfikir yang digunakan dalam teks tersebut adalah sinkronis.
Coba kalian perhatikan dengan seksama, dalam uraian diatas hanya menerangkan latar belakang diterapkannya Sistem Tanam Paksa oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun bahasannya sangat melebar walaupun dalam waktu yang relative pendek hanya disekitar awal pelaksanaan Tanam Paksa saja. Dengan kata lain , bahasan sinkronis lebih mementingkan ruang bagi penjelasan yang luas.
Demikian penjelasan terkait materi konsep berpikir sikronik, semoga bermanfaat dan kami ucapkan terima kasih.