Lelaki Mercusuar
Oleh: Aditya Rakhman
BIARLAH kuceritakan sedikit padamu tentang Lelaki Mercusuar, seorang lelaki yang dijuluki begitu karena dia tinggal di dalam mercusuar dan tidak memiliki nama. Sebenarnya waktu kecil, lelaki itu punya nama: Upitret, ya, nama yang sangat buruk. Jadi, lelaki bernama Upitret tadi ketika berusia dua belas tahun pernah bertanya pada bapaknya, mengapa dia memberinya sebuah nama yang buruk macam itu? Bapaknya malah tertawa, dan Upitret kecil tidak terima sehingga sang ayah langsung dibunuhnya.
Jangan macam-macam dengan sebuah nama. Nama-lah yang bertanggung jawab mendatangkan nasib baik dan buruk. Tetapi rupanya, setelah Upitret menanggalkan namanya sendiri, nasib buruk belum juga pergi. Jadi apa yang salah?
Dahulu itu, asal-muasal nama Lelaki Mercusuar muncul karena dia sering berdiri di tepian dermaga dekat mercusuar tua saat malam menjelang, mungkin hanya untuk menghibur tubuhnya yang sepanjang hari terbakar terik matahari. Namun yang terjadi, lelaki itu seringkali berdiri bagai sebuah mercusuar yang sinarnya berputar-putar menyoroti tingkah lautan,—bukan mencari sesuatu, tetapi barangkali ada sesuatu yang bisa ditemukan. Lama-kelamaan, si lelaki malah mulai mendiami ruang gelap mercusuar tersebut, jiwanya bergabung dengan bangunan tua itu.
Tidak ada yang tahu pasti penyebabnya kecuali diriku.
Hampir setiap orang yang berkunjung ke sana, maka akan mendapatkan diri Lelaki Mercusuar itu duduk hingga puncak malam dan kadang menangis. Dia merasakan tubuhnya seperti masuk ke dalam kepalanya sendiri, meninggalkan keberadaannya di sana dan tak mendengar suara-suara gulungan ombak karena telinganya pun sudah hilang ditelan renungan.
Kedua mata lelaki itu bernuansa teduh tetapi liar, tenang namun lincah merekam setiap apa pun yang berkelebat di dalam pikirannya. Jika dia berdiri, maka akan tampak bentuk punggungnya yang masih kokoh, menegaskan betapa panjangnya perjalanan hidup yang sudah dia lewati. Dia tidak sedang memantau samudera, dia melihat kehidupan keluarganya dengan caranya sendiri.
Di setiap malam itu, Lelaki Mercusuar itu tak pernah berdiri sendirian. Ya, dia berdiri sendirian di sana seperti mercusuar yang menaunginya, di pinggiran pantai yang bersebelahan langsung dengan pantai. Jika mercusuar itu mengarah ke lautan sorotnya, sedangkan lelaki mercusuar itu menyorot ke dalam pikirannya.
Tidak ada yang sebaik mata pikiran dalam mengenali apa yang terjadi pada hamparan tanah hatinya, mata itu selalu mencarinya di malam-malam jauh berharap menemukan sesuatu. Mata pikiran itu seperti mercusuar. Mata pikiran itu seperti berupaya menemukan apa yang tak terpikirkan di siang hari.
Jadi penyebab si lelaki mercusuar itu berada di sana adalah hanya karena cinta. Sebuah cinta yang pernah datang dari negeri jauh dan menghampirinya. Konon dan bukan konon, si lelaki pernah bercinta dengan wanitanya di dalam mercusuar tersebut. Dan wanita itu tak pernah kembali lagi untuk menikahinya. Ditunggu-tunggu tapi tak datang-datang.
Wanita itu pernah berkata bahwa hubungan mereka adalah kapal besar, tapi Lelaki Mercusuar itu kemudian tahu bahwa kapal itu tak pernah angkat sauh.
Namun dari kegiatannya menjadi mercusuar, si lelaki menemukan sebuah makna mengapa wanita yang tak datang tadi masih saja ditunggunya. Jawabannya hanya satu: Kerinduan. Itulah hal yang paling tidak berhak hidup ketika cinta sudah mati, itulah hal yang paling absurd ketika cinta telah berubah abstrak.
“Sesekali, bawalah dirimu ke dalam suasana sepi di malam yang telah jauh. Pejamkan mata, rasakan keheningan, sampai kau benar-benar dapat mendengar debar jantungmu sendiri. Di sanalah suara hati akan terdengar, kenali dia, siapa tahu dia telah menjelma menjadi orang lain dalam dirimu. Atau, bisa jadi itu dirimu yang sebenarnya,” kataku sebelum menjatuhkan diri dari atas mercusuar.
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).