Lima Menit Menunggu Keajaiban
Oleh: Evi Sudarwanto
“Aku rasa aku sudah kehilangan keajaiban itu, Ghin,” selaku suatu sore saat Ghina dan Nadine yang tidak tahu bagaimana asal mulanya sudah membahas tentang keajaiban.
“Kehilangan gimana?” Nadine yang lebih dulu mempertanyakan tentang argumenku barusan.
“Ya… kehilangan. Untuk saat ini bahkan aku sampai tiba-tiba amnesia. Aku lupa arti dari keajaiban itu sendiri. Sangking jarangnya keajaiban itu mampir ke hidupku.”
“Kamu kira keajaiban itu angkot yang mau mampirin kamu?” Nadine nyeletuk untuk kesekian kalinya.
Aku hanya memainkan jenggotku saat itu. Lalu aku melirik Ghina yang duduk menekuk lututnya di sebelah Nadine. Nampaknya dia mau mulai bersuara.
“Keajaiban itu sama halnya seperti cinta. Kalau kamu nggak mau menjemputnya, maka kamu gak bakal mendapatkannya,” jelas Ghina setelah mendengarkan pertanyaanku. “Emang kamu kira keajaiban bakal datang sendirinya sementara kamu cuma duduk-duduk aja di rumah?”
Cinta? Ah, ya! Aku memang menunggu keajaiban cinta. Aku rasa tak perlu menganalogikan keajaiban itu sama seperti cinta. Karena menurutku keajaiban dan cinta itu dua hal yang berbeda. Untuk saat ini aku sulit menjelaskannya, tapi yang aku sadari seperti itu. Aku meyakininya dan terserah menurut kalian.
***
Di lain hari.
Keajaiban itu adalah sebuah bentuk dari kemurahan hati Tuhan dan sumbernya juga hanya satu, jangan lagi dipertanyakan, karena berulang kali dia menjelaskan padaku, satu-satunya sumber keajaiban itu tentulah Tuhan. Itu kata dia, ya. Bukan kataku.
“Jadi sekarang gimana caranya kamu bisa menarik hati Tuhan buat ngasih keajaiban untuk kamu,”
Aku mendengarkan penjelasan seorang wanita yang duduk di sampingku saat ini, ketika aku menunggu bis yang tak kunjung datang untuk pulang ke kosan. Sore itu langit begitu tak bersahabat, titik-titik air sebesar biji jagung terus-terusan menghantam bumi. Tak mau kalah bersaing, petirpun ikut-ikutan meramaikan lukisan langit. Ah! Mengesalkan!
Percakapanku sore ini dengan seorang wanita yang sebelumnya sama dinginnya dengan udara sore ini membuatku kebingungan. Bukan! Aku bukan kebingungan mendengarkan penjelasan wanita ini, tapi yang aku bingungkan saat ini bagaimana caranya aku bisa menarik hati Tuhan kalau aku sendiri tak memiliki Tuhan?
***
Hai, perkenalkan namaku Ersa Yusfiandi. Hampir satu tahun ini hidupku disesaki oleh sebuah pencarian arti dari keajaiban. Setelah perginya Farrah, tak pernah ada lagi wanita yang bisa masuk ke dalam hatiku. Aku kehilangan arti keajaiban itu. Tapi setelah melihat wanita ini, aku kira aku tak perlu lagi tahu arti sebuah keajaiban. Ya, karena yang aku lihat, wanita inilah keajaiaban itu. Keajaiban yang kutunggu-tunggu.
Malam ini aku masih sependapat, bahwa keajaiban dan cinta itu memang dua hal yang berbeda. Walaupun keduanya saling berhubungan dan saling mengikat. Kuperkenalkan untuk yang terakhir kalinya, kuberi nama keajaiban itu Pia dan cinta adalah rumah yang nantinya membungkus dua hati kami. Aku tertawa sendiri memandangi wanita yang masih setia duduk di sebelahku ini, yang baru beberapa detik lalu kutahu namanya Pia setelah seseorang menyapanya dari seberang jalan.
Kali ini aku sudah tahu betul bagaimana rupa keajaiban itu. Yang menenangkan dan membahagiakan hanya dengan memandangnya. Aku rasa, saat ini tugasku telah berganti. Aku tak perlu lagi mencari arti dari keajaiban itu karena aku telah menemukannya. Dan kini tugasku adalah menunggu. Menunggu Keajaiban yang mau bersama-sama denganku untuk membungkus hati dalam satu rumah utuh yang kusebut cinta.
***
Aku membaca ulang cerpen yang kutulis. Aku tersenyum sendiri dengan tatapan nanar mengarah pada layar laptop. Akhirnya setelah lima menit melamun untuk menunggu keajaiban datang, satu persatu lembar kosong di layar laptopku terisi oleh tumpukan kata. Ya, aku rasa memang seperti ini semua masalah yang ada pada penulis pemula sepertiku. Terkadang bingung untuk memulai kalimat dari mana, dan kadang lebih bingung lagi apa yang mau ditulis dengan tema yang ada. Padahal kalau mau membuka mata dan hati. Di sekitar kita bertebaran ide-ide yang menyokong tema tersebut untuk ditulis menjadi sebuah cerita indah.
Ah, ya. Aku mengakui suatu hal sebagai diriku sendiri bukan sebagai tokoh utama di ceritaku.
“Keajaiban itu sama halnya seperti cinta. Kalau kamu tidak mau menjemputnya, maka kamu tidak akan mendapatkannya.”
Jangan lagi ditanyakan, untuk penulis pemula sepertiku keajaiban ide itu bisa datang kapan saja, asal mau membuka mata dan hati, menerima masukan dari sekeliling kita.
***
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).