Lukisan dalam Angan
Oleh: Devi Eka
Kepercayaan yang telah hilang mungkin tak akan pernah bisa kembali. Untuk itu, kalau kau telah dipercaya, jagalah, jangan sampai kau kehilangan—seperti aku.
* * *
Langkahku terhenti di depan pintu dengan nomor 172 yang terpatri di bagian atas pintu. Dengan kunci yang telah diserahkan oleh receptionist kepadaku pada sepuluh menit yang lalu, aku membuka kunci kamar.
Mataku langsung tertuju pada sebuah lukisan yang terpampang di dinding kamar. Sebuah lukisan seorang puteri raja yang tengah tersenyum padaku. Rambut puteri itu hitam panjang dan sedikit ikal pada bagian ujungnya. Puteri itu tengah duduk di atas kursi dengan tangan yang ditumpangkan di atas pangkuannya. Gaun yang dikenakannya menggambarkan seorang puteri yang anggun—gaun dengan lengan menggelembung dan rok berkerut di bagian pinggang.
Lukisan itu seperti dibuat oleh tangan-tangan yang terampil. Garis-garis tegas dibuat begitu pas. Pewarnaan cat airnya pun begitu lembut. Tak ada sedikit pun warna yang melenceng keluar dari garis.
Namun dahiku membentuk kerutan-kerutan halus saat melihat ada sesuatu yang janggal dalam lukisan itu. Bibir puteri itu masih belum selesai diberi warna. Lengkungan atas bibir telah diberi warna merah, namun bagian bawah bibir itu belum diberi warna. Dan… kurasa, warna merah pada bibir itu sangatlah aneh. Bukan warna merah seperti layaknya warna cat air dalam lukisan. Warna itu seperti….
“Hai, Borgaed, akhirnya kau datang juga! Aku telah menunggumu lama dan kau baru datang sekarang?”
Hah? Suara siapa itu? Kutolehkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk mencari tahu siapa yang tengah berbicara. “Hei, siapa yang berbicara?” Akhirnya pertanyaan yang sejak tadi tersimpan di benak, kulepaskan. Sudut mataku mengitari setiap sisi dalam kamar. Tempat tidur, meja, kursi, serta perabotan yang ada hanya diam. Tentu saja! Aku merutuki diriku sendiri. Dan tak ada orang! Lalu, siapa yang berbicara??
“Kau datang untuk memenuhi janjimu, bukan? Ayo, segeralah tepati janjimu!”
Akhirnya mataku menangkap gerakan bibir dalam sebuah lukisan. Ya, lukisan puteri raja itu! Dia tengah tersenyum menatapku! Tersenyum?? Huh, sepertinya aku tengah berhalusinasi.
Tidak! Aku tidak sedang berhalusinasi. Aku melihat sendiri puteri itu tengah berbicara kepadaku. Bibirnya bergerak-gerak.
“Janji apa? Aku tak punya janji padamu!” sahutku, masih dengan rasa tak percaya pada apa yang kulihat.
Begitu puteri itu menguarkan suara, badanku seperti melayang-layang tak keruan. Bergerak ke sana-ke mari tiada henti. Menabrak apapun yang ada dalam dimensi yang seperti—lorong waktu yang tak kuketahui.
Badanku terhempas dengan begitu hebatnya pada suatu tempat. Uh, sakit sekali kurasakan seluruh persendian tubuhku. Aku mengamati ruangan tempatku berada. Semua yang berada di tempat ini sangat asing bagiku. Ruangan dengan hampir seluruh perabotan terbuat dari perak. Meja, kursi, serta lemari terlapisi perak. Seperti ruangan puteri raja. Serta…
“Hei, ayo segera lakukan! Kenapa kau diam saja?! Kau sudah kupercaya, dan kau menyia-nyiakannya!”
Suara yang tadi kukenal kembali mengusik gendang pendengaranku. Ah, puteri itu…? Puteri itu berubah menjadi nyata! Dia berada tak jauh dari tempatku duduk. “Siapa kau? Kenapa kau seperti menyuruh-nuruhku seperti itu?” tanyaku.
“Hei, berani sekali kau! Bukankah kau selalu memanggilku dengan sebutan Tuan Puteri? Kau ini hanya pelayan, jangan berbicara seolah kita sama. Aku hanya memintamu melukisku, bukan untuk duduk diam seperti itu!”
Apa?? Dia berkata apa?? Pelayan?? Astaga! Kutatap pakaian yang kukenakan. Tidak! Pakaian yang kupakai tadi telah berubah menjadi pakaian seorang pelayan—dengan celemek yang menggantung di pinggang.
“Aku tak bisa melukis,” ucapku kemudian.
“Aku tak peduli! Kau harus menyelesaikan lukisan itu sebelum Ayah datang! Kau tahu, kan, Ayah tak pernah suka seorang pelayan berada di kamarku?”
Aku mencoba menyangkal, namun kuurungkan niatku. Aku melihat bibir puteri itu mengerucut, dan sepertinya sebentar lagi kemarahannya akan meledak. Kanvas di hadapanku telah terpampang gambar seorang puteri. Apa aku yang melukis ini?? Lukisan ini tinggal diberi warna. Dan dengan keberanian yang berhasil kuhimpun, aku berusaha memberi warna pada lukisan itu. Aku memulaskan warna pada lukisan itu dengan hati-hati. Sedikit-sedikit, aku mulai bisa memberi sapuan warna yang menurutku—pas.
“Clara, kau di dalam, Nak? Apa pelayan bodoh itu ada di kamarmu?” terdengar suara keras yang mengagetkanku.
“Ayah datang!” pekik puteri itu. “Namun, kau harus tetap menyelesaikan lukisanmu. Nanti, biar aku yang memberi alasan pada ayah.”
Dan aku pun menuruti perintahnya. Tinggal memberi warna pada bibir. Aku melongok cat airku. Tak ada warna merah. Sepertinya telah habis digunakan. Bagaimana ini? Aku memutar otak untuk mencari akal untuk memberi warna pada bibir. Ah, aku tahu! Kugigit bibir bawahku keras-keras. Sakit! Tapi, aku berhasil mendapatkan warna merah itu. Ya, dengan darah aku akan mewarnai bibir pada lukisan itu.
Kusapukan perlahan darah itu pada lengkungan bibir atas di lukisan itu. Saat aku ingin menyapukan lukisan itu di bibir bagian bawah, suara yang begitu menyentak membuatku menjatuhkan kuas yang tengah kupegang.
“Clara, apa yang kau lakukan bersama dengan pelayan bodoh itu?!”
Aku begitu ketakutan mendengar suara Raja yang juga merupakan ayah dari puteri itu datang memasuki kamar. Dia datang bersama dengan dua prajurit.
“Prajurit, bawa dia ke ruang pancung!”
Dua prajurit berseragam istana mencekal kedua tanganku. Aku tak bisa melepaskan cengkeraman mereka. Mereka begitu kuat.
“Ayah, dia hanya melukis. Jangan bawa dia!” Puteri Clara bersuara.
Namun ternyata, ucapannya tiada digubris oleh Raja. Dua prajurit dengan tampang menyeramkan itu tetap menyeretku ke ruang pancung. Mereka telah siap dengan golok di tangan mereka. Golok itu telah diacungkan ke atas. Oh Tuhan, sebentar lagi aku akan mati!
Namun, sebelum golok itu mengenai leherku, badanku kembali melayang-layang tak keruan. Berputar-putar. Aarrgh, ada apa ini sebenarnya? Kepalaku sangat pusing.
BRUK!
Aku mengusap-usap kepalaku yang terasa sakit akibat membentur tembok. Heiii, kenapa aku bisa kembali ke kamar hotelku ini?
Dan ketika rasa terkejutku belum sirna, seseorang mengetuk pintu.
Seorang lelaki paruh baya dengan rambut hitam yang tersisir rapi tersenyum di depan pintu kamar. “Emma Borgaed, saya lupa memberitahu Anda kalau lukisan itu—” ia menunjuk pada lukisan puteri di dinding, “—sebaiknya Anda bawa.”
“Oh iya, sebenarnya aku juga penasaran dengan lukisan itu. Sebenarnya, siapa yang melukis puteri itu?” tanyaku.
“Beliau adalah nenek buyut Anda. Nyonya Julie Borgaed. Tertera jelas di bawah lukisan itu.”
Jadi…
* * *
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).