Modus Monica
Oleh: Asmira Fhea
“Menurut lo, pertama-tama gue harus bagaimana?”
Pertanyaan bernada antusias tingkat tujuh puluh milik Monica kembali terdengar. Aku mendengus sebal. Masalahnya, adegan ini bukan kali pertama. Ia sudah bertanya hal yang sama sampai… satu, dua, tiga, ah, pokoknya bisa sampai belasan kali dalam seminggu terakhir dengan mimik yang sama juga. Dan aku, Rossa Agnezia, seorang sahabatnya yang –ehm– baik ini, ingin rasanya mencakar, menjambak, meninju habis tubuh Monica saking gregetannya.
Tapi, masalah keduanya, aku nggak tega.
“Ayolah, Rossa… Lo kemarin kan udah berhasil nyomblangin Sena sama Yosan. Sekarang, gue mau keberhasilan kerja keras lo juga. Bantu comblangin gue sama Garuda. Ya-ya-ya?” Monica kembali merajuk. Kelopak matanya berkedip-kedip ganjen menatapku. Mungkin, karena aku tak menggubris seraya memaju-majukan bibir atas permintaannya.
Aku mendengus lagi. Bête.
Sebenarnya, aku nggak masalah buat diminta jadi mak comblang atau apalah, asaaaal… client-ku memang sadar diri kalau dia punya potensi cocok sama gebetannya. Dulu, pas nyomblangin Yosan, cowok ganteng yang terkenal sebagai aktivis sebuah organisasi pergerakan kampus, dengan Sena, teman kelas sebelah, aku maju mundur. Pasalnya, Sena terlalu cantik dan terlalu pintar buat Yosan yang jarang masuk kuliah. Tapi, beruntunglah Yosan, Dewi Athena sedang berpihak padanya, jadilah mereka pacaran. Sebuah prestasi bagus untukku, bukan? Hubungan paling langgeng di antara client-ku yang lain.
Mereka jadian tiga hari. Which is, tujuh puluh dua jam –dan kalau nggak salah lewat lima puluh dua menit. Dan putus dengan alasan logis yang pernah kuterima; Sena capek dititipin tugas sama Yosan. Mending kalau tugasnya dia bikin sendiri, ini Sena-nya yang bikin. Kasihan…, cowok ganteng memang kerap kali meletihkan.
Dan sekarang, Monica yang sebenarnya tahu reputasiku sebagai Mak Comblang, malah ikut antusias banget biar bisa sama Garuda, si ketua BEM fakultas yang suka menyanyi. Bukan apa-apa, masalahnya Monica mau dibilang kayak apa juga, selalu menyangkal kalau dia sama Garuda beda jauh. Bagai Sidratul muntaha versus kerak bumi. Garuda kalau menyanyi itu bisa menghipnotis seisi kampus, sedangkan Monica kalau bersin aja, suara yang dihasilkan bisa fals mampus.
“Bodo amat, lah, Ros. Setidaknya kita harus mencoba supaya tau. Masalah berapa lama gue sama Garuda, itu masalah belakangan,” kata Monica suatu hari. Ia sudah matang-matang mengambil konsekuensi ternyata. Ck-ck-ck.
Ngomong-ngomong, aku bingung. Kenapa nama cowok keren akhir-akhir ini rada aneh, ya? Satunya Yosan, merek permen zaman dulu pas pakai baju merah-putih, satunya Garuda, merek snack kacang ternama. Tinggal cari cowok keren yang namanya Biji Bunga Matahari, nih. Lalu mereka membentuk boyband dengan panggung perform di atas kereta. Cangcimen… cangcimen… cangcimen….
Anyway, kembali pada Monica. Sekarang ia tengah menatapku, dengan tangan yang terlipat di depan dada. “Lo nggak bakal bilang nggak, kan, Ros?” tudingnya dengan menekan kata ‘nggak’ yang kedua.
Aku semaksimal mungkin tersenyum, “terus, lo mau gue bagaimana, Mon?”
“Katanya lo kemarin udah bantu cari informasi tentang dia. Terus hasilnya?”
Dengan ekstra cool, aku menekan kesabaran. Ini yang seharusnya ngorek informasinya siapa, sih? “Gue kemarin udah nanya sama teman dekatnya. Katanya, dia suka pemain bola yang namanya Mario Götze, terus agenda terdekatnya, dia diundang manggung di fakultas sebelah, terus…”
“Oh, Mario Götze??” Monica menginterupsi. Jari telunjuknya menjentik-jentik. “Ya-ya-ya, gue tau. Pemain bola dari Borussia Dortmund itu, kan?”
“Oh?” Aku kaget. Baguslah, kalau Monica lebih update. Jadi, aku cukup mengangkat bahu. “Iya, mungkin yang itu.”
“Oke. Nanti gue cari jerseynya, ah. Terus gue pake pas perform-nya dia di fakultas sebelah,” simpulnya puas sendiri.
Aku tersenyum. Lega. Tampaknya, kinerjaku tak perlu lembur seperti biasanya. Karena kali ini, sepertinya dia mau lebih banyak action demi Garuda.
“Thanks banget, Ros. Gue tau lo memang teman yang kece. Eh, ngomong-ngomong, lo udah lama bergelut di dunia comblang-mencomblang, kenapa masih jomblo aja, sih?”
Aku tercekat. Bola mataku melebar cepat. Tapi, aku segera mengendalikan diri dan menjawab, “kalau teman-teman percaya sama gue buat hal itu, apa pun gue lakukan yang terbaik. Sekalipun mengorbankan diri sendiri.” Asli, aku bijak banget. Padahal dalam hati, sialan, pertanyaan macam apa itu? Kampreeeet!
======
“Rossaaa!!” Monica langsung menghambur menemuiku, begitu aku selesai kuliah siang ini.
Pasti ada hubungannya dengan Garuda, pasti mau cerita perkembangan pedekate-nya selama perform Garuda yang baru ia tonton tadi, pasti…
“Bete-bete-beteeeee!”
Lho, kok kalimat itu yang keluar? Bukan seharusnya dia senang?
“Gue diketawain sama Garuda tadi. Dan sialnya, teman-teman yang lain juga ketawa. Muka gue mau taruh di manaaa??”
Dahiku mengernyit. Kubuka ransel dan menatapnya, “lo kenapa? Kalau mau sembunyi, taruh aja muka lo di tas gue,” kataku sok innocent, sayangnya reaksi Monica mendelik-delik kayak orang yang kena ambient.
“Lo tau nggak? Mario Götze itu bukan Borussia Dortmund, tapi Bayern München!” semburnya berapi-api.
“Lho, yang bilang Borussia Dortmund siapa?” alisku terangkat. Siap-siap pasang badan kalau dia mau menyerang. “Lagian, lo bilang apa sih ke dia?”
Monica melengos. “Gue bilang gini, ‘Garuda, gue suka banget sama lagu lo tadi, serasa ada di Signal Iduna Park, markasnya Mario Götze kesukaan lo. Cakep banget pokoknya.’ Terus, muka dia merah, gue jadi merasa berhasil. Ternyata setelah itu dia ketawa gede-gede, bilang, ‘Monica, Signal Iduna Park kan tempatnya Borussia Dortmund, sedangkan Götze udah lama pindah ke Bayern München. Lagipula, tadi gue nyanyi lagu tentang cinta di padang pasir, sama sekali nggak nyambung kalau sangkut pautin setting-nya di Jerman.’ Abis itu teman-temannya ketawa membahana sambil nunjuk ke jersey gue. Mungkin saking ketauan gue mau modusnya.”
Aku terpingkal-pingkal sambil menatap jersey yang dikenakan Monica. Memang, nggak ada nama pemain yang tercantum di sana, tapi dia terlalu cepat ngambil kesimpulan. Dan yang baru aku ingat, Garuda itu sering menyanyikan lagu berbahasa Inggris, sementara pengetahuan Inggris-nya Monica dangkal banget. Pantes, ketahuan dodolnya!
Pesan moral; lain kali, kalau mau modusin gebetan, harus riset serinci-rincinya. Jangan meminta pertolongan pada Mak Comblang, tapi memintalah pada Nek atau Kek Comblang yang pengalamannya sudah terbukti sejak zaman penjajahan. Mak Comblang yang jomblo bisa membawa hatimu menuju zaman peperangan, sementara Nek dan Kek Comblang akan membawamu pada kemerdekaan. Kalau negara saja bisa merdeka, apalagi hatimu?
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).