SAY “I LOVE YOU BURGER”
Oleh: Zachira
Setiap detik yang kita habiskan dalam hidup adalah tantangan. Tantangan menaklukan deadline pekerjaan, tantangan untuk menaklukan keangkuhan gebetan, bahkan tantangan untuk membuat seorang pembenci junk food menghabiskan burger yang kita hidangkan.
Perkenalkan, Sarah namanya. Seorang pembenci junk food, pecinta makanan higienis dan selalu menerapkan gizi natural yang selalu digembar-gemborkan ahli gizi. Setiap yang meluncur dari mulutnya adalah higienitas makanan, food combining dan seabrek informasi penting tentang buruknya efek junk food untuk kesehatan. Hasil perburuan info via artikel di internet ataupun sekedar kopi paste dari selebtwit pecinta makanan organik.
Betapa membuat risih setiap ucapan yang ia lontarkan berkaitan dengan restaurant junk food yang baru kubuka tiga bulan terakhir ini. Seolah-olah hasil keringatku adalah sebuah kenistaan baginya. Seolah-olah pula, daging giling yang diolah sedemikian rupa, yang rasa gurih dan lemaknya serasi dengan salad, saus, keju, dan satu tangkup roti adalah sebuah dosa yang hina.
“Vin, gue ke sini cuman butuh temen ngobrol. Bukannya mau nyicipin burger special lo yang whatsoever enaknya itu,” ujarnya dengan nada menyindir sambil meletakkan kembali piring berisi burger yang telah kumasak sedemikian rupa untuk kusuguhkan padanya. Aku bahkan tidak memintanya membayar makanan ini. Namun penolakannya serta merta membuatku kesal.
“Tapi lu numpang ngobrolnya di cafe gue, Sar. Lo ngajarin orang yang datang kemari cuma numpang naruh pantat doang kalo lu-nya ga makan apa-apa di sini.”
“Oh gitu. Ya kalo lo ngotot, lo bisa kasih gue salad doang,” jawabnya cuek sambil mengeluarkan tablet PC-nya dan melempar senyum tanpa dosa.
Aku menggeram.
Hrrrrgh, kalo cuman salad doang bisa kali dia bikin sendiri di dapur.
Harga diriku sebagai koki handal sekaligus pemilik restaurant terluka. Kalau saja dia bukan perempuan yang sudah lama aku taksir, mungkin sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di lantai restaurant ini aku sudah lebih dulu mengusirnya.
***
Burger kreasiku lebih bisa dikategorikan sebagai burger berkelas. Dengan teknik memasak yang tidak terbatas dengan cuma menggoreng atau memanggang, aku bisa menghasilkan daging sapi yang citarasanya mewah dan lezat dengan teksture daging yang kenyal namun lembut saat mulut mengunyah setiap gigitannya.
Sobat-sobatku berkomentar aku mungkin tidak terlalu menonjol untuk menghidangkan masakan dine cuising, tapi jika urusan burger… Mereka semua total memujiku. Yah, obsesiku dengan burger memang sedemikian akut karena masa mudaku yang kuhabiskan dengan lebih banyak mengunjungi restaurant fast food ketimbang restaurant biasa. Bukan berarti aku miskin, tapi aku malas ribet dan menghabiskan waktu cuma untuk makan dalam tiga kali sesi. Sesi pembuka, inti dan penutup. Macam pidato saja.
Dan hari ini aku bertekad membuat Sarah paling tidak memakan beberapa suap dari burger andalanku. Mungkin ini semacam pertaruhan, jika memang aku tidak berhasil, impianku untuk menyanding wanita tercantik yang pernah kutemui, memang tidak akan pernah tercapai. Dan dia mungkin tidak ditakdirkan untukku.
Tapi, hey…
Aku masih punya harapan, selama lidahnya normal meski seleranya sudah berubah ke arah organik-organikan.
Pasar daging adalah hal pertama yang kudatangi untuk mewujudkan niatku. Aku mendatangi penjual dan pemotong daging langgananku.
“Biasa ya, Bang… Yang bagus kualitasnya. Jangan yang kebanyakan air,” pesanku pada si abang penjual. Tanpa menunggu lama ia pun menyodorkan sekantong penuh berisi daging satu kilo lebih tiga ratus ons. Namun aku terkejut dengan tangan seseorang yang tiba-tiba menyambar bungkusan itu.
“Sori ya saya buru-buru. Dagingnya saya ambil dulu. Berapa, Bang?”
“Maksudnya apa nih?” tanyaku mencoba bertanya dengan nada yang sebisa mungkin aku tahan untuk tidak meledak menjadi amarah. Aku bahkan tidak mempedulikan potongan rambut bob ala Dora yang sebenarnya jika diperhatikan memperlihatkan kecantikan yang tidak biasa. Unik dan kekanak-kanakan.
“Aduh saya nggak bisa jelasin. Mesti buru-buru. Sori ya… Nih, Bang duitnya. Kembaliannya ambil aja.”
Dan melesatlah perempuan berrambut Dora itu secepat kilat. Secepat ia menyambar daging pesananku.
***
Ini kesekian kalinya aku mendatangi supermarket dengan harapan aku mampu memasak burger untuk Sarah. Dengan harapan yang sama pula, aku memilih beberapa bahan untuk topping burger, saus dan pilihan lembaran keju. Tidak terkecuali dengan bahan-bahan untuk membuat roti lapisan burger. Saat tanganku terulur ke atas, mengambil beberapa sayuran dan bumbu-bumbu, tanpa kusadari tulang igaku tersodok pinggiran troli besi milik orang yang melintas.
“Sori… saya nggak lihat ada orang,” serunya.
Another sorry for this day. Dan terkejutlah aku saat mengetahui pemilik ucapan “sori” itu. Perempuan berpotongan Dora itu lagi. Dia mungkin salah satu jenis manusia yang keseimbangan motoriknya gagal berkembang. Maka dari itulah, ia tidak pernah tidak menabrak atau menyerobot orang saat melintas.
Aku merintih, mengusap-usap tepi perutku seolah baru saja dihantam preman pasar. Dan seperti sebelumnya, gadis itu melesat jauh setelah sebelumnya mengambil beberapa bahan di dekatku. Dengan keseimbangan gagal macam itu, aku tidak yakin masakan yang dihasilkannya akan enak. Yah, tapi itu bukan urusanku.
***
“Another burger? Kevin… Kevin… Udah deh nyerah aja. Gue dari dulu emang anti junk food. Bukan berarti burger lu nggak enak.”
“Coba dulu dong, Sar… Sebagai temen apa salahnya sih lo nyicipin masakan gue? Temen-temen gue semua total ngakuin burger gue paling enak. Minimal lo mau nelen aja gue bakal nyerah maksa-maksa lo makan burger bikinan gue.”
Aku masih kekeuh meminta ia memakannya.
“Bukan soal burgernya, Vin… Tapi junk food-nya.”
“So what? Bukan berarti lu habis makan lalu mati tergeletak gitu aja kan? It’s not your habit. Lu cuma sekali-sekali aja makan.”
“Sekali enggak, tetep enggak… Sori ya. Gue nggak suka soal makanan pun gue dipaksa.”
Perasaanku mendadak kalut. Sarah baru saja mengambil tasnya dari meja, bersiap pergi dari restaurantku. Kekhawatiranku pun terbukti. Sepiring burger yang kusaji istimewa dengan topping saus buah alpukat dengan daging yang sudah kukurangi kadar lemaknya lalu kumasak dengan metode rebus pun gagal menarik minatnya. Adonan roti yang kubuat sedemikian rupa dengan taburan wijen rendah karbohidrat pun tidak semudah itu diliriknya. Tidak hanya itu, Sarah mencampakkan makanan itu tepat ke tong sampah di dekatku.
Pertaruhanku gagal, aku ditolak sebelum sempat menyatakan. Dan burgerku pun teronggok sebelum sempat melewati liang bibir dan kerongkongannya.
Aku merasa gagal, bukan hanya sebagai koki tapi juga laki-laki.
***
Aku memutuskan untuk menutup sementara restaurantku. Penolakan satu orang ternyata bisa berakibat sedemikian dahsyat untukku. Membuatku tidak lagi berselera dengan burger andalan yang biasa kubanggakan.
***
“Burger seenak itu lo buang aja gitu ke tempat sampah? Padahal dia masakin itu special buat lo?”
Sarah hanya tersenyum mendengar pertanyaan wanita di hadapannya. Menopang dagunya dengan senyum sedemikian rupa. Seolah-olah ia berhasil memenangkan permainan.
“Karena gue tahu, dia pasti terluka harga dirinya. Dia pikir dia bisa bikin gue jatuh cinta karena keahliannya masak burger. How shallow…”
“Tapi Kevin kan koki yang lumayan jago. Dia tuh aset, Sar. Burger dia super enak tahu.”
“Sebagai koki dia jago, tapi sebagai laki-laki dia nggak guna. Lagian buat apa gue butuh laki-laki kalo di deket gue adalah koki istimewa yang bisa masakin gue semuanya, termasuk burger organik keahlian lo itu.”
Dengan lembut jemari Sarah menyapukan udara tipis di sekitar pipi lawan bicaranya, yang disambut dengan genggaman tangan si lawan bicara yang merengkuh punggung tangan Sarah.
“Kevin bisa nangis, tau… Kalo tahu bukan lidah lo yang abnormal. Tapi orientasi seksual lo yang ga normal.”
“I don’t care…”
Dan bibir Sarah dengan lincah menyapu bibir si lawan bicara. Perempuan mungil dengan rambut berpotongan Dora.
***
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).