Aster Merah Muda Terbalut Pilu
Oleh: Devi Eka
Berulang kali, gadis berambut ikal dengan poni yang sebagian menutupi keningnya itu menebarkan pandangan ke luar jendela. Menatap langit yang telah ternodai warna jingga. Senja kembali melindap, tapi dia masih saja belum beralih dari tempat duduknya. Masih di kursi yang sama, kursi rotan bulat berlapis kain beludru berwarna merah.
Pandangannya kembali tertancap pada kertas tebal penuh ornamen bunga yang terangkai cantik di tangannya. Angannya kembali melayang. Pikirannya menerawang, seolah membuka kembali layar masa lalunya. Masa lalu yang berisi kenangan tentang sebuah penyesalan. Penyesalan yang membalut kisahnya dengan luka.
“Aster, sudah waktunya…”
Gadis itu menelengkan kepalanya ke arah sumber suara. Namun, dia hanya diam, lantas kembali menekuri sketsa alam di luar jendela. Dipejamkan matanya. Mencoba me-replay kenangan yang menghunjam hati, sebuah penyesalan yang terbalut rapi dalam kisah ironi. Keegoisan diri yang mengakibatkan hal indah tak berakhir dengan sempurna.
* * *
Lima tahun lalu…
“Aster, ini ada bunga dari Mikho. Tadi, dia nitip ke aku pas kamu absen.”
Aster menatap rangkaian bunga daisy berwarna merah muda yang terhias rapi. Diambilnya bunga itu dari tangan sahabatnya, lalu dilemparkan ke dalam tong sampah yang sudah penuh dengan bunga sejenis itu. Sudah ada seratusan bunga dibuangnya ke situ. Dia memang selalu menerima bunga dari seorang pria yang tak disukainya. Mikho.
Nera, sahabat Aster, tak heran melihat perlakuan gadis bertahi lalat di bawah bibir itu. Dia sudah tahu betul apa yang akan dilakukan sahabatnya apabila mendapat bunga dari Mikho. Pasti dibuang. Ia hanya prihatin. Mikho adalah pria baik yang rela membeli seratus bunga daisy untuk Aster, wanita yang disukai namun tak menyukainya.
“As, nggak bagus kamu seperti ini terus. Kasihan Mikho.”
“Aku kan, memang nggak suka ma dia, Ra,” sahut Aster seraya sibuk menyisiri rambut pirangnya di depan meja rias.
“Kalau kamu nggak suka ma dia, bilang, As. Jangan buat dia berharap. Jangan karena dia suka ma kamu, lalu kamu manfaatkan,” tukas Nera sedikit emosi. Gadis berambut lurus sebahu itu menarik napas panjang untuk melonggarkan hatinya akan emosi yang telanjur menguap. Kemudian dilepasnya kembali.
Di mata Aster, Mikho bukanlah orang spesial. Pria itu hanya pengganggu baginya. Sering dia memanfaatkan kebaikan Mikho demi egonya. Tega memang, tapi gadis itu tak ada pilihan lain. Dia telah mengatakan kalau tak menyukai Mikho, tapi pria itu tak peduli. Jadi, bukan salahku, begitu pikirnya.
“Dengan mencintainya aku merasa nyaman. Tak perlu dia membalasnya. Hanya cukup setiap hari dia tersenyum padaku, aku sudah senang,” ucap Mikho saat ditanyai teman-temannya tentang perasaannya kepada Aster yang hanya bertepuk sebelah tangan. Pria itu telah mencintai Aster sejak dua tahun lalu, bahkan sebelum gadis itu memiliki pacar.
* * *
Tiga tahun lalu…
Seorang gadis berambut ikal tengah merentangkan tangannya di pinggir pantai. Sudut bibirnya tertarik ke atas, menampilkan seulas senyuman manis. Dia terlihat sangat menikmati ombak yang menjilati bibir pantai di dekat kakinya. Dimainkannya pasir lembut di bawah telapak kakinya itu dengan gerakan seperti menendang. Pasir pantai yang berwarna merah muda itu memang mampu menghipnotis siapa pun yang ada di Pantai Merah, salah satu pantai yang terletak di Flores Barat.
Aster, nama gadis itu. Dia kembali dimabukkan oleh suasana Pantai Merah, terutama pada butiran pasirnya. Ia menyukai warna merah muda. Tentu, dia sangat senang saat Arka mengajaknya ke tempat ini. Karena di Pantai Merah saat senja inilah Arka menyatakan cinta padanya. Betapa bahagianya dia saat itu.
Kepakan sayap burung-burung di langit yang mulai beralih ke warna jingga itu sangat riuh, menandakan senja akan segera membayang. Dan senja kali ini, dia ingin memberikan surprise untuk merayakan anniversary mereka. Aster menyatakan dirinya pura-pura diculik dengan menulis pesan pada Arka. Dia sengaja memberitahu lokasi penculikannya menggunakan kode yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.
“Kenapa dia belum datang juga?” keluhnya. Dia lelah bermain pasir pantai. Akhirnya, dia duduk menyilangkan kaki di atas hamparan pasir merah muda. Menunggu adalah pekerjaannya saat ini.
“Aster…”
Seseorang menepuk bahu gadis itu, yang membuatnya menoleh. Orang itu bukan pria berambut cepak yang tengah ditunggunya. Bukan Arka, melainkan seorang pria dengan kacamata yang bertengger di atas hidung dan segurat senyum yang merekah dari bibir pria itu. “Mikho???” Kening Aster berkerut samar. “Kenapa kamu di sini? Kamu tahu dari mana aku di sini?”
“Maaf, aku membuntutimu, Aster. Aku tanpa sengaja mendengar pembicaraanmu minggu lalu dengan Nera saat kamu bilang ingin pergi ke sini. Aku… aku hanya tak ingin kamu sendiri. Jadi…” Mikho tampak berusaha mengatur napasnya supaya omongannya bisa terdengar jelas. “Aku ke sini ingin memberitahu satu hal padamu…”
“Apa?” tanya Aster, ketus.
“Kamu tengah menunggu Arka, bukan? Kukatakan padamu, Aster, dia takkan datang.”
“Kamu jangan sok tahu!” Emosi Aster perlahan muncul ke permukaan.
“Dia sedang bersama wanita lain, As. Coba kamu telepon dia kalau tak percaya. Sudah sebulanan ini aku melihat Arka mengantarkan Priska pulang kuliah saat kamu absen. Mereka—”
“Kamu bohong, kan, Mik? Aku tahu, kamu dulu suka ma aku, tapi nggak begini caranya, Mik! Sekarang kamu pergi!” bentak Aster. Emosinya kini memuncak.
“Tapi aku nggak bohong, As. Tolong, percaya padaku kali ini. Aku nggak akan ganggu kamu lagi, karena aku udah nyerah buat dapetin kamu. Tapi, tolong percaya omonganku ini,” pinta Mikho.
“Aku bilang, kamu pergi dari sini! Sekarang!!”
Pria malang itu pun menyerah. Dia lantas pergi meninggalkan Aster yang hanya berdiri terpaku di tempatnya.
* * *
Aster masih menatap kertas tebal berornamen bunga daisy berwarna merah muda di tangannya. Dia tak tahu makna apa yang dituangkan pada ornamen bunga yang lebih dikenal dengan nama bunga aster itu. Bermakna ‘aku tidak akan melupakanmu’ atau ‘aku ingin menjaga kesetiaanku pada pasanganku kini’, tapi menurutnya pilihan kedua lebih tepat. Dengan huruf yang terangkai jelas, membuatnya masih tak rela untuk melihat surat undangan itu. Pria yang telah membuatnya jatuh ke dalam lubang bernama penyesalan itu telah pergi bersama wanita lain, melalui ikatan pernikahan yang akan dilangsungkan tiga puluh menit lagi, tepat di saat yang sangat disukai sekaligus dibencinya. Kala senja mulai merayap.
“Aster, ayo, Nak. Pesta pernikahannya sebentar lagi akan dimulai.”
“Baik, Bu. Mari kita berangkat,” sahut Aster. Dia bangkit dari duduknya dan merapikan gaun merah mudanya yang melapisi tubuh rampingnya dengan sempurna.
Dia telah siap untuk merelakan kenyataan pahit yang berakhir pilu ini. Kenyataan yang membuatnya sadar kalau ini adalah yang terbaik. Mengikhlaskan cinta pergi dari dirinya meski sakit yang dirasakan, seperti yang pernah dilakukan pria itu padanya.
“Mikho, Nera, semoga kalian menjadi pasangan yang abadi…”
* * *
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).