Cerita Di Balik Piringan Hitam
Oleh: Haeruddin
Di sudut kota Surabaya, di salah satu jalanan yang menghadirkan kawasan lawas dengan rumah-rumah tua yang terpelihara. Ada sepetak tanah berukuran delapan kali lima meter di ujung jalan yang meyatu dengan rumah pemiliknya. Bangunan itu terpasangi kaca transparan yang cukup lebar di pintu dan bagian depannya seperti dinding etalase butik, sehingga pejalan kaki dapat memindai dengan teramat jelas isi di dalamnya.
Sebuah gramophone HMV tua berbentuk kotak dari bahan kayu mahoni keluaran tahun 1929 peninggalan ayahnya terpasang di sudut belakang dekat meja kasir. Benda klasik nan antik itu masih cukup kuat untuk memutar-mutar piringan hitam pemiliknya. Pemilik itu hanya memiliki sisa dua puluh piringan hitam yang masih dapat digunakan. Puluhan lainnya hanya terpajang di lemari hias setinggi satu setengah meter di sudut yang berlawanan. Menjadikannya sebagai ornamen pelengkap ruangan.
Kakek berusia lima puluh delapan tahun yang tak lain adalah pemilik toko ini muncul dari pintu di samping meja kasir. Ia berjalan ke depan, keluar untuk membuka tirai penutup toko, lalu masuk kembali membalikkan papan kecil bertuliskan ‘close’ menjadi ‘open’ yang menggantung di pintu. Dua buah kipas angin di langit-langit yang ber-cat putih kecoklatan itu ia hidupkan. Menjadikan bunyi putarannya yang khas mewarnai ruangan.
Ia tinggal bersama anak bungsunya yang masih kuliah. Seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang selalu senang menjaga toko kaset miliknya. Toko ini ia dirikan tiga puluh satu tahun silam. Sebagai bukti kecintaannya terhadap musik, hal yang menjadikannya mempertahankan toko ini hingga sekarang—sebuah toko yang berisi ratusan kaset dari tahun dua ribu lima kebawah. Ia lalu tak menambah lagi koleskinya di tahun-tahun setelahnya.
Kaset sudah bukan lagi menjadi hal yang menarik. Sebuah teknologi bernama mp3 yang lebih praktis dan murah telah menggantikannya. Lantas ia hanya mempertahankan kaset-kaset yang jadul untuk ia jual. Menjadikan toko ini hanaya terkenal bagi para kolektor kaset lawas dan fans berat beberapa penyanyi yang ingin mengoleksi kasetnya.
***
Sudah tiga jam lebih ia membuka toko bernama ‘Classette’ itu. Tapi belum ada satu pun pengunjung yang membeli kasetnya. Hanya ada satu wanita yang datang untuk membeli senar gitar merek Early Ball. Toko ini memang menjual barang-barang lain yang berhubungan dengan musik. Hal ini pemilik gunakan untuk tetap menghidupkan toko ini agar tak lengang karna ditinggal pengunjungnya yang beralih ke era digital.
Kakek itu bernama Sugiono. Ia ditinggal istrinya meninggal dua puluh tahun lalu karena kanker. Ia memiliki tiga anak. Anak pertama dan kedua adalah perempuan yang sudah menikah. Mereka tinggal bersama suaminya masing-masing yang masih di Surabaya. Anak bungsunya adalah harapan satu-satunya untuk mengelola toko ini. Menghidupkan tempat itu agar sejalan dengan eranya namun tetap mengukuhkan rasa klasik di dalamnya.
Anak lelakinya yang bernama Sandy itu sudah pergi dari jam delapan lalu. Kini ia menjaga toko itu sendirian. Stand by di kasir dengan menikmati iringan lagu dari kaset yang ia putar di sebuah tape. Kalau bosan, ia biasa memutar piringan hitamnya pada gramophone sambil membaca buku-buku biografi atau menikmati teh di kursi penjalin yang bisa ia rubah menjadi tempat tidur di belakang meja kasir.
Toko ini sudah seperti tempat relaksasinya. Dengan hanya memandangi koleksi kaset yang terpajang rapi dengan ornamen-ornamen klasik yang ditatanya sendiri, juga membersihkan sudut-sudutnya yang kotor dan menggonta-ganti aroma pengharum ruangan, atau bahkan sekedar merenung, adalah bentuk kecintaannya. Tempat ini adalah kamar keduanya. Kamar sesunggunya yang hanya terisi perabotan lemari dan kasur itu hanya ia gunakan untuk tidur.
Tak lama kemudian, gerimis turun dan hanya berlangsung selama tiga menit yang langsung disusul hujan deras. Kakek itu mematikan bunyi musik pada tapenya. Ia mengambil piringan hitam dari vokal grup The temptation di album The Temptations Sing Smokey dan menaruhnya di atas turntable. Ia memutar beberapa kali pada alat putar. Kemudian menaruh spindle di atas piringan hitam itu yang membuat gramophone miliknya mengalunkan suara dari lagu pertama pada album tersebut.
Gramophonenya sedang memutar lagu ketiga ketika seorang perempuan berusia dua puluhan masuk kedalam toko. Perempuan itu hanya berteduh. Terlihat dari beberapa sisi bajunya yang basah dan cara masuknya yang tergesa-gesa.
Kakek pemilik toko ini memperhatikannya.
Wanita bernama Melissa itu kini memutar pandangannya ke sekeliling. Ia tertarik dengan sesuatu. Kakinya berjalan menghampiri deretan kaset-kaset pada tahun tujuh puluhan kebawah.
“I don’t need no money, fortune or fame. I’ve got all the riches, baby, one man can claim.” Mulutnya mengeluarkan suara yang senada dengan musik di dalam toko.
“Seleramu bagus,” puji Sugiono. Ia berdiri di samping Melissa yang tengah melihat-lihat koleksi kasetnya. “Kau hebat, hapal lagu jaman orang tuamu.”
Melissa menyunggingkan sedikit senyum. “Itu memang lagu favorit ibuku.”
Sugiono mengangguk pelan.
Melissa mengalihkan pandangannya pada sesuatu di belakang meja kasir, dekat kursi penjalin. “Paman pemilik toko ini?”
“Ya.”
“Apakah benda itu punyamu?”
“Yak, itu gramophone peninggalan ayahku. Benda itu masih bisa dipake dengan baik,” ucapnya menjelaskan. Wajahnya mengikuti kemana arah Melissa melihat.
“Kau punya piringan hitam The Temptation?”
Sugiono hanya mengangguk.
“Aku bisa membelinya?”
Sugiono menggelengkan kepalanya sangat pelan dengan senyum simpatik.
“Aku akan membayarnya mahal,” pinta Melissa dengan wajah memohon.
Sugiono menggelengkan lagi kepalanya. “Takkan pernah kujual.”
Melissa merundukkan wajah. Lemas.
“Kenapa kau menginginkan piringan hitam di era digital seperti ini? kau kan bisa mendengarnya lewat mp3 atau CD.”
“Ibuku sudah tiga minggu dirawat di rumah sakit. Seminggu ini ia pengen banget ngedengerin piringan hitam The Tempation. Ayahku sudah mencarinya, tapi ia belum mendapatkannya.”
“Ibumu… Siapa?”
“Melati.”
Pikiran sugiono terbentur pada sesuatu ketika mendengar namanya.
“Apakah ibumu begitu menginginkannya?” tanya Sugiono penasaran.
“Ia hanya bilang sekali. Sebanrnya ayahku yang sangat menginginkannya. Ayah sering melihat ibu memeluk piringan hitamnya yang telah rusak. Sesekali air matanya mengalir. Ayah ingin sekali menyenangkan ibu.”
Sugiono menghela napasnya panjang.
“Melati Prameswaty?”
Melissa mendelik heran. Matanya seperti liar mencari jawaban pada wajah lelaki tua yang seusia dengan orang tuanya itu.
“Darimana kau tahu?”
“Aku hanya menebaknya. Soalnya aku memiliki dua orang teman yang bernama seperti itu waktu SMA. Kupikir pasti ada banyak lagi yang memilikinya,” jawabnya dengan raut wajah dan gerak tubuh seperti orang kebingungan.
Melissa menangkap kecurigaan pada cara lelaki itu menjawab. Namun ia tak begitu memikirkannya.
“Apa ayahmu sungguh menyayanginya?”
“Tentu. Ia rela membatalkan meeting kerjasamanya di Bali untuk menemani ibu di sini.”
Bali? Itu pasti dia, pikir Sugiono.
“Apa penyakitnya?”
“Stroke,” jawab Melissa. Seketika air matanya langsung tumpah. “Ibu dirawat di sini biar dekat dengan keluarga besarnya. Katanya ia akan merasa lebih baik kalau berada di sini.”
“Ah kenapa aku mengatakan semua ini,” lanjutnya sambil menepak dahi. “Maaf, aku terlalu banyak cerita.”
“Kau boleh membawa piringan hitam itu. Gratis.”
Melissa membelalakkan tatapannya. Heran. “Kenapa?”
“Ayahmu pasti mencintai ibumu. Ia pasti menginginkan ibumu tersenyum. Aku mengerti perasaannya.”
Sugiono lalu berjalan pelan ke belakang, mengambil piringan hitam yang kini sudah memutarkan lagu terakhir pada side A itu.
Ia kembali ke Melissa dengan piringan hitam yang sudah dimasukkan pada tempat penyimpannnya.
“Benarkah ini…?” Melissa masih menatap wajah lelaki itu dengan tatapan heran.
“Bilang pada ayahmu, benda ini kamu dapatkan pada salah satu toko tua di pinggiran kota di Surabaya. Bilang kalau kau membelinya dengan harga yang wajar. Katakan padanya, ia harus memutar lagu ‘My Girl’ itu dengan tulus. Ia harus menyanyikannya di depan ibumu.”
Melissa menatap wajah Sugiono dengan tatapan lain. Penuh arti. “Terimakasih.”
“Hujan sudah redahan. Sana cepat kasih benda ini.” Sugiono menunjuk ke luar. Memberitahu Melissa tentang gerimis yang kembali menggantikan hujan deras.
“Tunggu,” kata Sugiono lagi. Ia menghilang di balik pintu di dekat meja kasir. Mengambil sesuatu di dalam rumah. Lalu kembali lagi dengan sebuah benda yang ia pegang di tangan kanannya.
“Bawa payung ini.”
Melissa mengambil payung lipat dari Sugiono. Wajahnya menyampaikan rasa terimakasih yang teramat dalam.
“Kalau sempat, aku pasti mampir kesini lagi. Aku akan membeli kaset dari penyanyi-penyanyi favoitku.”
“Ya, kaset adalah benda yang cantik. Kau harus mendengar alunannya.”
Melissa memeluk Sugiono erat. Ia kemudian keluar membuka pintu, membuka payungnya, lalu menghilang dari balik tembok.
Sugiono menghela napas panjangnya lagi. Melati, cepat sembuh. Semoga kau bisa merasakanku ketika memeluk benda itu.
***
Percikan gerimis yang terhalau payung membawas senyum haru gadis itu dengan perasaan senang ketika berjalan melewati deretan rumah dan toko-toko. Ia kemudian belok ke kiri pada jalan yang lebih lebar, menghampiri zebra cross terdekat. Ia berjalan cepat melewati zebra cross itu setelah lampu merah di depannya berganti dengan warna hijau. Mengahampiri halte untuk berteduh selama menunggu taxi.
Selang beberapa menit, sebuah taxi berhenti di dekatnya. Ada yang keluar dari sana. Melissa buru-buru menghampiri taxi itu dengan berjalan cepat sampai-sampai ia tak sengaja menabrak lelaki yang baru keluar dari taxi itu. Piringan hitamnya jatuh. Terkena air gerimis.
Lelaki itu spontan langsung memungutnya. “Untuk belum terlalu basah.”
“Makasih.”
“Sama-sama,” balasnya dengan seringai senyum polos. “Wah The temptation.” Ia membaca cover pada benda itu. “Hati-hati loh. Ini benda langka. Kau harus menjaganya.”
“Tentu. Terimakasih.” Melissa mengambil piringan hitam itu sembari mengusap-usap sisinya yang kotor.
Lelaki itu berlalu ke arah sebaliknya.
“Tunggu!” cegatnya, “apa kau.., juga punya piringan hitam ini?” tanya Melissa ketika lelaki itu berjalan ke arah arah toko roti di dekatnya.
“Oh, ayahku yang punya.” Jawabnya dengan membalikkan badan.
Melissa hanya tersenyum sambil ber-o tanpa suara. Ia lalu masuk kedalam taxi dengan sebuah degup yang seketika muncul. Perlahan, namun semaik besar. Mata lelaki itu teduh. Sama seperti ayahnya.
Taxi berjalan ke selatan. Mata melissa masih tertuju pada lelaki itu yang tengah membuka pintu pada toko roti.
Lelaki itu sudah berada di dalam toko roti. Matanya masih belum lepas dari taxi yang tengah melaju semakin jauh itu. Ayah sudah menemukannya. Ia tersenyum sambil mengamati gerimis yang masih mengalun mesra.
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).