Bubble Love
Oleh: Susi Lestari
Rara mendadak menjadi orang yang gelisah setiap saat. Kata ibu, ketika seseorang telah mengkhawatirkan orang lain tanpa sebab, tanpa diminta, dan tidak tahu alasannya mengapa berbuat demikian, sesuatu jelas terjadi. Ibu menyebut sebuah kata yang sangat familier, cinta. Rara sedang mencintai seseorang demikian katanya yang terus mengiang dikedua telinga Rara.
Masih Rara ingat, dua hari yang lalu. Daun-daun mahoni di depan rumahnya ikut berguguran lalu beterbangan tertimpa angin, saat dia mengatakannya. Mengungkapkan perasaannya. Mengakui bahwa dia mencintai Rara jauh sebelum Rara mencintainya. Jauh sebelum itu. Tapi pengakuannya berujung memilukan. Sama seperti daun mahoni, hari itu hatinya luruh satu persatu-satu.
“Seseorang baru melamarku. Dan aku mengatakan iya,” kata Rara padanya.
Dia masih berdiri tegak. Menghela napas dan melemparkan pandangan tepat ke arah bola mata Rara. Rara bergeming.
“Aku tetap mencintaimu,” ucapnya tegas. Kedua alisnya berdekatan ketika dia mengatakannya. Mencoba memberi Rara keyakinan akan perasaan yang terlanjur menetap dihatinya. Tidak bisa diganggu gugat. Dia menginginkan Rara.
“Udah terlambat, Ndi! Mengapa kamu baru mengatakannya sekarang? Sepuluh tahun aku menunggu. Menunggu kata itu terlontar dari mulut kamu, Ndi. Tapi, kamu selalu diam. Seperti ini, seperti yang sering kamu lakukan. Diam.” Rara membuang muka. Sengaja Rara lakukan karena tidak sanggup melihat rona merah yang kini menghiasi separuh wajahnya.
“Aku hanya takut, Ra. Ketika aku mengatakannya semua akan berakhir. Persahabatan kita, kebersamaan kita…..aku nggak mau itu terjadi, Ra.”
“Kamu yang nggak pernah peka, Ndi. Ketakutanmu sendirilah yang akhirnya mengalahkanmu. Dengan kamu mengatakan semua ini, justru membuat aku bingung! Memilih satu di antara kalian, itu terlalu berat.”
“Aku sangat mencintaimu, Ra,” ucapnya sekali lagi. Dia masih bersikeras meyakinkanku.
Bulir-bulir air mata yang Rara tahan terus-terusan akhirnya tumpah tak tertahankan.
Dia tidak bergerak sama sekali. Mengamati Rara yang menangis dalam diamnya. Hari itu, pertama kalinya dia membuat Rara menangis dalam sepuluh tahun mereka bersahabat. Guardian angel-Rara telah mengingkari janjinya.
Dia berhasil membuat Rara menangis setelah mendengar tiga kata yang sepuluh tahun ini telah dinantikan keluar dari mulutnya. Yang efeknya melebihi kalimat “selamat Rara, kamu berhasil memenangkan liburan ke Paris. Gratis!” atau “Rara, Pak Rendi akan menaikkan gajimu.” Tiga kata yang ampuh membuat Rara bahagia berlipat-lipat.
Tapi, kalimat yang selalu Rara tunggu, tidak pernah dia katakan. Tidak pernah sekalipun. Padahal tidak sedetik pun dalam waktu yang Rara habiskan bersama Andi tanpa melewatkan untuk memberi sinyal kepadanya. Ah, sudah jelas bukan, seperti yang dia katakan. Dia terlalu takut. Dan tentu saja, seorang wanita hanya bisa menunggu.
Menunggu sampai dia mengatakannya! Lalu, saat tiba waktunya kata-kata itu diucapkan. Semuanya telah berubah. Keadaan tak lagi sama. Ya, menunggu bukanlah pekerjaan yang sanggup dikerjakan oleh orang dalam jangka waktu yang lama. Termasuk orang seperti Rara. Setelah menunggu sepuluh tahun lamanya akhirnya Rara membuat keputusan. Rara menyerah.
***
Nathan melangkah dengan gontai. Kepalanya berat. Lebih berat dari karung beras isi sepuluh kilo. Keringat dingin pun mulai menyergap tubuhnya. Pembicaraan Andi dan Rara yang tidak sengaja didengarnya seperti godam yang memukul kepala Nathan. Tanpa ampun!
Jika saja Nathan tidak kembali ke rumah Rara untuk mengambil handphone yang ketinggalan, tentu saja dia akan pulang seperti orang yang dimabuk asmara. Lupa di mana kaki berpijak. Lupa segala-galanya. Kebahagian karena gadisnya-Rara menerima pinangannya adalah hal terindah yang pernah Tuhan berikan kepada Nathan. Nathan pun lupa diri. Ya, saat Rara mengatakan iya dan menerimanya, dunia seketika berwarna. Kuncup-kuncup bunga bermekaran serentak. Nathan lupa bahwa tiga hari lalu, pembicaraannya dengan Andi, sempat membuatnya cemas dan takut. Toh nyatanya Rara lebih memilih dirinya ketimbang Andi.
Baru sesaat Nathan merasa menang melawan Andi. Dia merasa seperti itu. Tapi, pebicaraan Andi dengan Rara yang baru saja terjadi menyebabkan keadaan berbalik. Orang yang sebenarnya kalah itu adalah Nathan. Orang yang takut gadis yang sebentar lagi akan menjadi miliknya berubah pikiran. Lalu membuat keputusan. Keputusan yang telak menghunjam hatinya. Membuat remuk dan hancur berantakan.
Keputusan itu adalah Rara lebih memilih Andi dibandingkan dengan dirinya.
Sejujurnya pembicaraan tempo hari dengan Andi telah memastikan bahwa hal ini pasti akan terjadi suatu hari nanti.
“Tumben, Mas. Ngajakin ketemuan. Ada apa nih?”
“Ada yang pengin saya omongin bareng kamu. Mau pesen apa?” tanya Nathan kepada Andi yang terlihat gembira mendapat traktiran dari sahabat kakaknya-Yashinta yang sudah dua tahun ini dekat karena menjadi mentor Andi dalam latihan bela diri kempo.
“Cappucino latte,” tukas Andi pendek.
Nathan membenahi posisi duduknya supaya terlihat lebih formal. “Saya lagi jatuh cinta, Ndi!” ucapnya dengan senyum mengembang.
Mendengar perkataan Nathan, Andi terkejut. Nathan tipikal orang yang sulit jatuh cinta. Tapi sekalinya jatuh cinta, setianya sampai mati. Salah satu kesamaan sifat yang dimiliki oleh mereka berdua. Beruntung sekali gadis yang menjadi pilihannya.
“Kenalin dong Mas! Aku kenal nggak?” Andi terlihat penasaran.
“Kamu kenal banget. Lebih kenal daripada saya.”
“Mba Yas?” selidik Andi, semakin penasaran.
Nathan menggeleng. Lalu mengatakannya pada Andi setelah dua gelas cappucino latte pesanan mereka berdua sampai di meja. “ Saya mencintai sahabatmu, Ndi. Rara.”
Hari yang cerah itu, Nathan mengungkapkan bagaimana dia jatuh cinta pada Rara sejak Andi mengenalkannya. Seorang gadis yang setiap kali melihatnya laksana planet. Nathan dibuat berputar-putar dalam orbitnya. Tanpa pernah bisa Nathan tolak, perasaan itu muncul. Nathan selalu ingin tahu bagaimana dia menjalankan hidupnya, bunga kesukaannya, makanan yang tidak dia sukai, tempat-tempat yang ingin didatanginya, atau paling tidak Nathan ingin selalu tahu kabarnya. Setiap kali Nathan memegang handphone, orang pertama yang ingin dihubungi adalah dia. Orang pertama, selain ibu yang dapat membuat pemuda yang selalu sibuk ini menunggu.
“Sebenarnya saya pengin ngomong dari dulu, Ndi. Tapi saya menunggu waktu yang tepat. Dan ada yang harus saya pastikan,” kata Nathan selanjutnya pada Andi yang hendak meminum cangkir cappucino latte ke duanya. “Apakah kamu mencintainya?” tandas Nathan. Dilihatnya cangkir yang Andi pegang menggantung di udara. Andi batal meminumnya. Ada yang membuat seleranya tiba-tiba menghilang.
Andi meletakkan kembali cangkirnya di atas meja. Tangannya erat memegang gagang cangkir yang berwarna putih. “Aku mencintainya,” katanya sejurus kemudian. Penuh ketegasan dan tentu saja membuat keadaan berubah seratus delapan puluh derajat.
Itulah kali pertamanya dunia Nathan runtuh. Apakah Andi sadari atau tidak, Nathan ambruk dikursinya. Tangannya lunglai. Benda yang sedari tadi tergenggam erat seperti akan lepas. Rencananya Nathan ingin meminta pendapat Andi tentang cincin yang akan digunakan untuk melamar Rara. Bentuknya yang kecil dengan dua pahatan hati yang melambangkan orbit Nathan akan melingkar seperti cincin. Apakah Rara akan menyukai bentuk cincin seperti ini? Hal itulah yang ingin Nathan tanyakan pada Andi, sahabat Rara.
“Kamu pengecut, Ndi!” ucap Nathan seketika.
“Maksudnya apa, Mas?”
“Jika seorang laki-laki mencintai seorang wanita, sudah seharusnya dia mengatakannya. Kamu pencundang yang selalu ingin berada di zona aman. Apakah kamu takut, Ndi?”
“Aku? Takut? Tentu saja tidak Mas, aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya,” jawabnya dengan sangat yakin.
Pengakuan Andi merupakan dugaan yang sering muncul dalam pikiran Nathan tapi selalu ditampiknya sekarang malah terbukti benar. Andi mencintai Rara. Hal yang selalu menjadi kecemaskan dan ketakutan terbesar Nathan. Aku-Nathan pemuda yang baru satu tahun ini mengenal Rara, bagaimana mungkin dapat bersaing dengan Andi? Dia tidak mungkin terkalahkan. Segalanya tentang Andi tidak pernah Nathan miliki. Waktu dan kebersamaannya dengan Rara, mustahil membuat Rara memutuskan memilih Nathan.
Detik berikutnya ada yang tiba-tiba membuat Nathan kuat. Andi telah menabuh genderang. Kini, mereka benar-benar telah menjadi musuh. Bersaing mendapatkan Rara. Jika memang harus seperti itu apapun hasilnya Nathan terima.
“Baiklah kalau begitu. Kita bersaing secara jantan,” kata Nathan mengakhiri pertemuan yang tidak sesuai harapannya.
Setelah membayar tiga cappucino latte ke kasir. Nathan pergi. Membawa kecemasan dan ketakutannya sendiri yang tidak pernah Andi ketahui. Ketakutan tentang pilihan Rara yang tentu saja sudah terlebih dahulu Nathan ketahui.
Rara mencintai Andi. Sebuah fakta yang akan sangat menyakitkan apabila Andi mengetahuinya.
***
Rara mendadak menjadi orang yang gelisah setiap saat. Kata ibu, ketika seseorang telah mengkhawatirkan orang lain tanpa sebab, tanpa diminta, dan tidak tahu alasannya mengapa berbuat demikian, sesuatu jelas terjadi. Ibu menyebut sebuah kata yang sangat familier, cinta. Tapi, yang menjadi masalahnya Rara bingung untuk siapa rasa khawatir itu akan ditujukan. Andi dan Nathan sama-sama Rara khawatirkan. Mereka berdua hilang tanpa jejak untuk alasan yang sama. Menjauhi Rara.
Tiga hari tanpa sms Mas Nathan yang kadang membuat Rara geli karena pertanyaan-pertanyaan bodoh yang diajukannya, sejujurnya telah menjadi ukiran rindu di hati Rara. Dalam smsnya, Mas Nathan sering menanyakan bagaimana Rara menjalani hari-harinya. Apakah Rara senang, sedih, apakah ada sesuatu yang ingin Rara katakan kepadanya. Mas Nathan bahkan sering mengajukan pilihan, seperti “kamu suka bunga lili atau bunga mawar?” dia berusaha mencari tahu bunga kesukaan Rara. Setelah dia tahu, esoknya dia membawa bunga anggrek beserta pot-potnya. Terus-menerus dia menanyakan beragam hal yang menjadikan rumah Rara penuh dengan kiriman-kirimannya.
Suatu hari Rara menanyakan alasannya. Dengan nada seriusnya, Mas Nathan mengatakan bahwa semua yang dilakukannya adalah untuk membayar waktu.
“Hanya ada satu orang di dunia ini yang membuat saya iri, Dek. Andi. Waktu yang kalian habiskan bersama terlalu banyak. Saya sampai tidak bisa menjangkaunya. Karena waktu terlambat mempertemukan saya denganmu, saya ingin waktu yang saya habiskan bersamamu menjadi penting dan bermakna untukmu, Dek.”
Apa yang Mas Nathan katakan semuanya benar. Sepuluh tahun bersama Andi adalah waktu yang sangat berarti bagi Rara. Andi bukan hanya sekedar guardian angelnya. Lebih dari itu, Andi adalah cinta pertama Rara. Perasaan yang tidak seharusnya ada antara seorang laki-laki dan perempuan yang menjalin persahabatan. Cinta Rara mekar untuk Andi, seiring waktu yang terus berjalan. Tanpa pernah mengenal lelah, Rara menutup rapi perasaannya. Tapi, insting perempuan Rara tidak dapat dikelabui. Rara dapat merasakan bahwa Andi juga memendam rasa kepadanya. Bukan sebagai sahabat, melainkan cinta terhadap seorang wanita. Rara pun memutuskan menunggu.
Andai saja Andi mempunyai sedikit keberanian untuk menghancurkan kokohnya persahabatan sebagai satu-satunya tembok penghalang hubungan mereka, tentu saja kejadiannya tidak seperti ini. Andai sejak dulu Andi mengungkapkan perasaannya, tentu saja keadaannya tidak seperti ini. Walaupu begitu, Rara tetap bahagia juga, tiga kata yang selama ini dia tunggu keluar dari mulut Andi.
Sekarang, Rara hanya berkutat pada kebingungan-kebingungan yang tak berujung. Memilih satu di antara dua orang yang sama-sama penting, sama-sama berarti, sama-sama dia khawatirkan. Rara tidak bisa memilih. Tidak! Rara takut menyakiti salah satu di antara keduanya.
***
Sudah lebih dari lima hari, baik Andi maupun Nathan tak kunjung mengabari Rara. Perasaan khawatir Rara berubah menjadi kecemasan. Rara tidak mau berlarut dalam keadaan seperti ini, sehingga dia memutuskan untuk menemui Nathan terlebih dahulu sekalian mengembalikan handphonenya yang ketinggalan.
“Bu, Rara pamit dulu,” ucap Rara sebelum pergi. Setelah mengecup punggung tangan ibunya, Rara melangkah perlahan.
“Ra, tunggu dulu! Ada yang perlu kamu ketahui.” Langkah Rara terhenti ketika Ibunya mulai mengeluarkan suara. Rara berbalik menghadap ibunya, “setiap pilihan ada konsekuensinya, nak. Baik dan buruk adalah tergantung dari cara pandang kita.”
Rara naik taksi yang telah dipesannya. Selama dalam perjalanan, Rara diam. Menikmati pemandangan dari balik kaca jendela membuat perasaannya sedikit nyaman. Rasa khawatirnya sedikit berkurang. Sesampainya di depan halaman rumah Nathan yang bercat biru, Rara mengetuk pintu perlahan. Diketuknya pintu berulang kali, tapi tidak ada jawaban yang muncul. Rara malah terkejut ketika pintu itu membuka dengan sendirinya. Rara masuk. Setelah melewati ruang demi ruang. Langkah Rara berhenti menyaksikan adegan yang ada di hadapannya.
Nathan dan Andi sedang terlibat baku hantam. Rara kaget melihat Andi tersungkur dengan darah segar mengalir di pelipis kanannya.“Andiii!” jeritnya sebelum merengkuh Andi.
Andi beringsut. Disuruhnya Rara agar menjauh. Perlahan dia berdiri dan melanjutkan duelnya bersama Mas Nathan. Andi mengayunkan tangan kanannya ke arah wajah Nathan. Tetapi, Nathan yang sudah mengetahuinya segera menepis tangan kanan Andi. Dipelintirnya tangan Andi sampai Andi tidak bisa bergerak. Alhasil, Andi mengerang kesakitan.
Rara sudah berdiri. Memandang dua orang yang yang ada di hadapannya dengan pandangan kosong. “Berhenti!” teriaknya keras. “Apa yang sedang kalian lakukan!?”
Detik berikutnya tubuh Rara ambruk. Menimbulkan bunyi kedebam keras yang membuat Nathan dan Andi bergerak ke arahnya. Tetapi uluran tangan yang diberikan oleh Nathan dan Andi ditampik dengan keras oleh Rara.
“Tidak seharusnya kalian seperti ini. Tidakkah kalian tahu, bahwa aku berusaha untuk tidak menyakiti kalian? Tapi kalian malah saling menyakiti.”
Andi ragu untuk mengatakannya, “Kita cuman…”katanya menggantung yang segera dilanjutkan oleh Nathan,“berusaha menyelesaikannya segera, Dek.”
“Menyelesaikan apa? Apakah aku layaknya barang yang kalian perebutkan dengan cara seperti itu.”
“Makanya Ra, jangan buat kami menunggu…”tuntut Andi segera.
“Aku nunggu kamu sepuluh tahun, Ndi! Aku hanya…tidak bisa memilih.”
Andi dan Nathan saling berpandangan. Tidak mengerti maksud kalimat terakhir Rara.
“Aku bingung. Di satu sisi aku benar-benar takut apabila keputusanku menerima Mas Nathan tempo hari adalah desakkan situasi soalnya Andi nggak ngomong-ngomong juga tentang perasaannya. Aku belum yakin apakah aku telah benar-benar mencintai Mas Nathan atau hanya menjadikannya sebagai alat agar Andi berani.”
“Apa maksudmu, Dek?”
“Maafkan, Rara, Mas…Rara harus mengembalikkan cincin ini…”
Sedikit harapan tiba-tiba menyeruak. Tak butuh waktu lama setelah Rara menyerahkan cincinnya kepada Nathan, segera Andi menanyakan pilihan Rara. “Jadi kamu milih aku, Ra?” ucapnya dengan wajah mengharap.
“Tidak…karena di sisi lain aku masih kecewa padamu, Ndi.”
“Tapi, Ra..”
“Yang aku butuhkan adalah orang yang mencintaiku. Yang dapat membahagiakan aku.”
Usai mengatakannya Rara berjalan menjauh dari Nathan dan Andi. Tubuhnya sempoyongan karena tidak kuat menahan sakit yang ada di hatinya. Terdengar langkah kaki menghampiri Rara. Saat Rara berbalik arah, semuanya tiba-tiba berubah. Pandangannya kabur. Gelap.
Rara jatuh pingsan.
***
Nathan dan Andi duduk mengamati sosok yang tergeletak di atas ranjang. Selang infus menjalar ditangan Rara. Tekanan darah Rara sangat rendah. Hal tersebut disebabkan oleh tekanan yang bertubi-tubi mendera pikirannya. Dadanya naik turun beraturan.
“Apa yang membuat Mas Nathan menyukainya?”
“Senyumnya..senyumnya selalu..” Nathan tidak segera mengakhiri pernyataannya.
“Manis!” ucap Andi dan Nathan berbarengan. Keduanya lalu tersenyum.
“Apa yang mas katakan beberapa waktu lalu, semuanya benar. Aku terlalu takut. Kehilangannya, ya tentu saja. Aku terlalu mencintainya, hingga akhirnya menyakitinya. Padahal dia hanya ingin bahagia.”
Percakapan antara Andi dan Nathan terhenti karena dokter memanggil. Nathan keluar. Andi melangkah ke ranjang Rara. “Kamu bisa buka mata sekarang Ra,” ucap Andi yang telah mengetahui bahwa Rara telah sadar.
“Maafin aku Ra,”ujarnya.
“Kamu tahu, Ndi? Aku pengen banget bunuh kamu. Membunuh pria bodoh sepertimu. Yang membuat kita seperti ini,” ucap Rara menahan air mata, “tapi, persahabatan kita yang lebih berharga dari apapun berhak mendapatkan tempat yang layak. Tidak seperti ini!”
“Aku gagal mencintaimu, Ra. Aku menyakitimu.”
“Tidak, Ndi! Tidak ada orang yang gagal mencintai. Kita hanya belum berjodoh.”
“Tapii..tetap aja, Ra!”
“Makanya lain kali kalau merasa suka lalu mencintai orang lain, segera ungkapkan! Jangan membuat orang menunggu. Ungkapkan meskipun itu mengandung banyak resiko. Karena tidak ada cinta yang tidak bisa diungkapkan kecuali oleh seorang pengecut.” Rara menghela napas. Lalu melanjutkan, “semua wanita membutuhkan kepastian dan keberanian, Ndi. Tak terkecuali aku.”
Usai mengatakannya, seperti anak kecil yang ditinggal kedua orang tuanya, Rara dan Andi menangis bersama. Tangisan serupa balutan yang membungkus luka yang pernah ada. Agar luka itu mengering bersama waktu yang terus berputar.
Di balik pintu Nathan bergeming. Batal mengetuk pintu. Nathan tersenyum menatap cincin ditangannya. Dua pahatan hatinya bersinar tertimpa cahaya lampu. Indah. Seindah hatinya.
***
Hari pernikahan mereka telah tiba. Andi yang menjadi saksinya.Sebelum akad nikah dimulai, Andi sempat menemui Nathan.
“Makasih, Ndi. Sudah mengikhlaskannya untuk saya. Saya berjanji akan membuatnya bahagia.” Nathan menepuk pundak Andi. Lalu melangkah ke ruang resepsi.
“Aku yang seharusnya bilang makasih,” ucap Andi. Nathan berhenti melangkah. Andi melanjutkan, “cinta pertama membuat seseorang lebih dewasa. Tapi cinta terakhirlah yang akan membuat seseorang bahagia.”
Ijab kobul telah dibacakan. Rara telah resmi menjadi istri Nathan. Ketika Nathan mencium kening Rara, Andi melihat senyum Rara. Senyumnya yang selalu indah. Tapi, kali indah lebih indah dari biasanya.
Laki-laki yang benar-benar mencintai wanita dengan tulus adalah laki-laki yang merasa bahagia meskipun melihat wanita yang dicintainya bersanding dengan orang lain yang bukan dirinya dan puas hanya dengan melihat senyumnya saja. Lalu laki-laki tersebut akan mendoakan wanita yang dicintainya.
“Semoga kamu bahagia, Ra. Selamanya,” kata Andi dalam hati. Amin.
***
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).