Diakronik dalam sejarah adalah sangat penting untuk dipahami. Kita semua dapat berperan sebagai seorang sejarawan dengan menerapkan berfikir sejarah dalam menggali sebuah kebenaran dari sebuah rentetan peristiwa sejarah yang terkadang masih bersifat kabur. Nah, cara berpikir diakronik merupakan salah satu skill yang perlu dipahami.
Yuk, disimak penjelasannya!
Pengertian Diakronik
Istilah dari kata diakronik ini sendiri sebenarnya adalah dari istilah bahasa Yunani, istilah itu ialah Dia serta Chronoss. Dimana makna Dia sendiri mempunyai arti ialah sebagai melampaui, melalui, atau juga melintas. Sedangkan untuk kata Chronoss mempunyai arti sebagai waktu. Jadi bisa atau dapat diartikan apabila diakronik ini merupakan suatu hal yang melalui, melampaui, dan juga melintas batasan waktu tertentu.
Diakronik ini merupakan suatu cara untuk berpikir dengan secara runtut / kronologis di dalam menganalisa / meneliti sesuatu hal tertentu. Maksud dari kronologis ini ialah suatu catatan mengenai peristiwa / kejadian itu dengan secara runtut dengan berdasarkan dengan waktu kejadian peristiwa yang di catat tersebut.
Dari hal ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa sejarah tersebut mengajarkan kepada kita untuk melakukan pemikiran yang kronologis dan juga beraturan.
Ciri-Ciri Diakronik
Diakronik ini mempunyai beberapa ciri-ciri diantaranya sebagai berikut:
- Memanjang, berdimensi waktu
- Terus bergerak, hubungan kuasalitas
- Siifatnya itu naratif, berproses serta bertransformasi
- Sifatnya itu dinamis
- Lebih menekankan pada proses durasi
- Digunakan di dalam ilmu sejarah
Konsep Diakronik Dalam Sejarah
Berpikir diakronik adalah cara berpikir kronologis (urutan) di dalam menganalisis sesuatu. Sehingga dalam konsep Diakronis sebuah peristiwa sejarah diuraikan dengan prinsip memanjang dalam waktu, namun menyempit dalam ruang dalam arti dalam konsep diakronik tidak terlalu mementingkan pembahasan yang mendalam terhadap suatu aspek dalam peristiwa tersebut, akan tetapi sebuah peristiwa lebih difokuskan pada urutan peristiwa sejak awal sampai akhir.
Hal ini sejalan dengan konsep kronologis yang juga merupakan sebuah catatan kejadian-kejadian yang diurutkan itu sesuai dengan waktu kejadiannya. Kronologi di dalam peristiwa atau kejadian sejarah dapat membantu didalam merekonstruksi kembali suatu peristiwa atau kejadian itu dengan berdasarkan urutan waktu secara tepat, selain itu juga dapat membantu untuk dapat membandingkan kejadian sejarah itu di dalam waktu yang sama pada tempat berbeda yang terkait mengenai peristiwanya.
Sejarah adalah ilmu diakronis, yang artinya ialah lebih mementingkan proses, sejarah akan membicarakan suatu kejadian atau peristiwa tertentu yang terjadi di suatu tempat tertentu itu sesuai dengan urutan waktu kejadiannya. Melalui pendekatan diakronis tersebut, sejarah berupaya untuk menganalisis evolusi/perubahan sesuatu hal itu dari waktu ke waktu, yang memungkinkan untuk seseorang dapat menilai bahwa perubahan tersebut terjadi sepanjang masa.
Sejarawan akan menggunakan sebuah pendekatan ini untuk dapat atau bisa menganalisis mengenai dampak dari perubahan variabel pada sesuatu kejadian, sehingga akan memungkinkan sejarawan untuk dapat mendalikan mengapa keadaan tertentu itu lahir dari keadaan sebelumnya atau juga mengapa keadaan tertentu itu berkembang atau juga berkelanjutan.
Contoh Konsep Berfikir Diakronik Dalam Peristiwa Sejarah
Berikut ini adalah contoh dari konsep sejarah diakronik yaitu:
Perhatikan uraian peristiwa Tanam Paksa berikut ini:
Tanam Paksa (1830-1870)
Pada tahun 1830 saat pemerintah belanda hampir bangkrut setelah terlibat Perang Diponegoro (1825-1830), kondisi ini diperparah dengan pecahnya Perang Belgia (1830 – 1831)
Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari kebrangkrutan, kemudian Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok mencari dana semaksimal mungkin untuk mengisi kas negara yang kosong, membiayai perang serta membayar hutang. Untuk mnjalankan tugas yang berat tersebut, Gubernur Jenderal Van den Bosch memfokuskan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor.
Oleh karena itu, Van den Bosch mengerahkan rakyat jajahannya untuk melakukan penanaman tanaman yang hasilnya dapat laku di pasaran ekspor. Van den Bosch menyusun peraturan-peraturan pokok yang termuat pada lembaran negara (Staatsblad) Tahun 1834 No.22 sebagai berikut:
- Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasar Eropa.
- Bagian tanah tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk di desa.
- Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagang tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
- Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
- Tanaman dagang yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih profitnya harus diserahkan kepada rakyat.
- Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
- Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Tanam paksa sendiri diterapkan secara perlahan mulai tahun 1830 sampai 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan sepenuhnya di Jawa. Pada tahun 1843, padi pun dimasukan dalam system tanam paksa sehingga pada tahun 1844 timbul paceklik di Cirebon, Demak, Grobogan yang menyebabkan ribuan rakyat mati kelaparan.
Setelah peritiwa tersebut , antara tahun 1850 – 1860 muncul perlawanan secara gencar dari kalangan orang Belanda sendiri seperti L. Vitalis (Inspektur Pertanian), dr. W. Bosch (Kepala Dinas Kesehatan), dan W. Baron Van Hoevell (kaum Humanis) untuk
menuntut dihapuskannya Tanam Paksa. Selain tokoh tokoh tersebut pada tahun 1860 seorang mantan Assisten Residen di Lebak , Banten yaitu Eduard Douwes Dekker (Multatuli) menulis buku berjudul Max Havelaar yang berisi kritik tajam atas pelaksanaan Tanam Paksa yang tidak manusiawi. Dengan kritikan ini perhatian terhadap kondisi di Indonesia menjadi semakin luas dikalangan masyarakat Belanda, mereka menuntut agar sistem tanam paksa yang sudah melanggar Hak asasi Manusia ini dihapuskan.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, akhirnya dihapus pada tahun 1870 setelah memperoleh protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, meskipun pada kenyataannya Sistem Tanam Paksa untuk tanaman kopi di luar Jawa masih berjalan hingga tahun 1915. Program tersebut (Sistem Tanam Paksa) dijalankan dengan nama sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Teks diatas menggambarkan pelaksanaan Tanam Paksa yang pernah diterapkan pemerintah Belanda di Hindia Belanda pada tahun 1830 – 1870.
Coba kalian perhatikan dengan seksama, dalam uraian diatas, pembahasannya memanjang dalam waktu, yaitu dari tahun 1830 sampai dengan 1870, sehingga penjelasan mengenai latar belakang peristiwa, jalannya peristiwa, dan akhir peristiwa tidak terlalau mendalam pembahasannya. Konsep berfikir yang digunakan dalam memaparkan peristiwa Tanam Paksa seperti paparan diatas menggunakan Konsep Berfikir Diakronik.
BACA JUGA: Cara Berpikir Sinkronik
Demikian penjelasan terkait pengertian diakronik dalam mempelajari sejarah. Semoga bermanfaat, terima kasih.