Gadisku, Varas
Oleh: Elisa S.
“Terserah! Perduli setan dengan mereka semua!”
Aku tidak perduli! Sekalipun langit runtuh di depan mataku. Aku akan tetap menepati janjiku padamu, gadis. Percayalah padaku…
Percayalah… Akan kuajak kamu ke sana. Tempat paling kamu inginkan di dunia!
***
“Sangat indah. Terima kasih…” Kamu tersenyum. Aku pun balas tersenyum.
Sungguh, tidak sia-sia seluruh perjuangan yang telah kulakukan. Kini, detik ini, di tempat ini, aku melihat senyummu telah kembali.
Aku ikut memandang lurus ke depan, mengikuti arah pandanganmu mengelana. Uap putih berbau telur busuk pun tampak mengepul ke angkasa. Berkawan kabut tebal yang mulai turun di atas jam dua belas siang.
“Kamu masih ingin di sini?” tanyaku memastikan. Aku tidak betah berada di tempat semacam ini. Membutuhkan ketahanan diri yang kuat untuk terus mencium bau-bau busuk itu. Terlebih lagi, tidak sehat berlama-lama menghirup belerang. Lama-lama, aku bisa keracunan!
Gadisku tertawa pelan. Memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. “Kamu tidak pernah berubah,” komentarnya riang. “Lihatlah, bahkan banyak turis luar negeri yang tertarik datang kemari. Kenapa kamu tidak suka?”
Aku mengarahkan padangan pada segerombolan turis yang lewat. Dua orang wanita ber-hotpants dan tiga orang pria serta dua orang anak kecil yang dipandu seorang pria paruh baya melewati kami.
Sempat terlintas di pikiranku, apakah turis-turis itu tidak kedinginan?
Malas berpikir, aku mencoba memutar kepalaku menatap sekeliling. Benar apa kata gadis di sampingku ini. Bahkan, sejauh aku menatap ke segala penjuru kawasan kawah sikidang Dieng ini, lebih banyak turis manca negara dibandingkan wisatawan lokal!
“Kamu masih mau menemaniku jalan-jalan?” Gadisku kembali bertanya.
Aku menoleh mendengar pertanyaanya. Aku tersenyum dan mengangguk pasrah. “Baiklah, kamu mau ke mana lagi?”
***
Apa salahnya bulan madu sebelum menikah? Bukan salahku memilih jalan ini! Justru mereka—orang-orang yang kusayangi, yang telah menyebabkan ini terjadi.
Jelas ini tidak masalah! Bukan dosa besar! Bukan pula hal yang terkutuk! Kami terpaksa melakukannya.
“Apa kakimu sakit?” Aku menatap wajahnya yang memucat.
Ia menggeleng sambil menyingkirkan tanganku dari kakinya. “Aku tidak apa-apa,” katanya sambil meraih tanganku, lalu menyuruhku duduk di sampingnya.
Aku menurut. Kami duduk di ranjang dengan bed cover hijau bergambar daun, sambil membisu beberapa saat.
Detik berikutnya, aku merasa bahuku berat. Kubiarkan ia bersandar di sana. Aku menarik tanganku dan sesekali membelai rambutnya yang halus.
“Apa tidak apa-apa kita melakukan ini semua?” tanyanya dengan nada sedih.
Hatiku terasa pilu mendengar pertanyaan itu. Kuulurkan tanganku untuk memeluk tubuh mungilnya. Kehangatan segera menghampiri kami berdua. Berlomba, mengalahkan udara dingin Dieng yang menusuk tulang.
“Ram, aku takut…” Ia memelukku semakin erat.
Kubalas pula. Rasanya, aku ingin memberikan segalanya agar badannya tidak lagi menggigil. Kuingin, memberikan seluruh kehangatan tubuhku.
“Jangan khawatir.” Aku mencoba menenangkan. “Aku akan selalu berada di sisimu.”
***
“Pagi, Ram! Saatnya makan nasi goreng!” Aku baru bangun tidur saat ia menyapaku dengan riang.
Ia tampak sedang sibuk di depan meja makan dengan celemek menutupi bagian depan badannya. Terlihat manis.
“Apa yang kamu masak?”
“Nasi goreng telur kesukaanmu,” ujarnya sambil menunjukan dua piring nasi goreng yang menggugah selera. “Sini, duduklah!”
Aku menurut. “Nasi goreng akan sangat cocok dengan suasana dingin,” komentarku sambil duduk di hadapannya. “Jadi, hari ini kamu ingin pergi ke mana lagi?”
Gadis di depanku tertawa lebar. “Kamu benar-benar akan mengantarku ke mana saja aku mau pergi?” tanyanya seolah ragu padaku. Tidak yakin.
Aku mengangguk. Meyakinkan dirinya bahwa apa pun yang terjadi, aku benar-benar akan selalu berada di sisinya.
“Ke mana ya? Aku ingin mengelilingi seluruh Dieng, Ram!”
***
“Untuk apa kamu pergi ke Dieng?! Tidak ada manfaatnya kamu ke sana!”
Aku serasa tertohok dengan bentakan kakakku. Seluruh keluargaku—ayah, ibu, kakak bahkan adikku, kini menatapku seolah aku ini adalah pesakitan!
“Sudah kubilang, Ram! Kamu harus melupakan gadis itu! Dia bukan untukmu!” Lagi-lagi, kakaku mewakili mereka untuk menyidangku.
Aku meringis. Menahan nyeri yang muncul. Dadaku terasa begitu sakit. Mataku pun mulai basah. “Aku mencintainya!!!” teriakku dengan suara parau. Aku sudah terlalu banyak berteriak hari ini.
Tetapi aku tidak akan menyerah. Akan kupertahankan dia di sisiku. Bagaimana pun caranya. Meski keluarga—bahkan dunia menentang kami sekalipun!
Karena aku, mencintainya…
“Ram, kamu melamun?”
Aku menoleh kaget. Kulihat gadisku sedang berjalan melewati jalan kecil di pinggir danau telaga warna yang indah. Rupanya aku terlalu banyak melamun hingga tertinggal darinya beberapa langkah. “Maaf.”
Ia tampak menghela nafas panjang, namun tetap menyunggingkan senyum manisnya untukku. “Kamu melamunkan apa, Ram?”
Aku tersenyum kecut. Enggan menjawab. Aku memilih memalingkan wajah. Menatap danau luas berwarna biru kehijauan yang dikelilingi pohon berwarna hijau pula. Sangat sejuk, juga indah.
“Sudahlah, kita kemari untuk liburan, Ram. Lupakan semua masalah,” ujarnya. “Saatnya bersenang-senang!”
“Berbulan madu!” tambahku memotong.
Ia kembali tertawa, dan aku semakin jatuh cinta padanya.
***
Hari ini adalah hari ketiga kami di Dieng. Kami berencana berjalan-jalan ke tempat yang jarang terjamah.
Sejak dua hari yang lalu, kami sudah menikmati indahnya kawasan candi Arjuna di pusat kota, telaga warna, kabut putih berbau di sikidang, jalan-jalan ke Jalatunda hingga sunrise di gunung Sikunir. Kami bahkan menghabiskan batere kamera setiap hari.
“Ram, jadi ke pabrik Jamur?” Gadisku menyapa dengan riang.
Aku yang sedang mempersiapkan motor, hanya balas tertawa. “Untuk apa kita kesana?” tanyaku heran dengan permintaannya.
“Aku ingin mengelilingi seluruh sudut Dieng, Ram. Kamu tidak tahu, tempat itu dulu indah sekali…”
Aku mengangguk saja. “Sudah siap berangkat?”
Gadisku mengangguk.
Kami segera meluncur ke jalanan yang masih lengang. Hanya butuh waktu lima menit dari pusat kota Dieng menuju ke sana. Sebuah pertigaan berbatas patung jamur yang terbentang di hadapan kami.
Aku memarkirkan motor di kanan jalan. Persis di belokan yang menuju bagian dalam bekas pabrik itu.
“Ram, kalau ke kiri ke mana?” Gadisku bertanya sambil melihat-lihat suasana.
“Ke Banjarnegara. Ke Pekalongan juga bisa.” Aku menjawab cepat. Setelah memastikan motorku aman, aku segera menghampirinya.
“Ram, kita foto berdua di sini, yuk!” ajaknya sambil menunjuk patung jamur yang terletak di tengah pertigaan itu. Sebuah patung yang merupakan tanda bahwa ini adalah kawasan pabrik jamur merang yang ada di sana, dulu.
“Ram, cepatlah. Kita buat kenang-kengan indah di sini!”
***
“Pulang sekarang, Ram!!!”
Aku kaget. Pagi ini, aku bahkan belum membuka mata ketika tiba-tiba seseorang merangsek masuk ke kamarku dan menarik selimut yang melingkar di tubuhku.
Aku mendengus keras. Siapa yang berani mengganggu tidurku?
Rasa marah segera memenuhi hatiku melihat seorang pria berdiri di hadapanku. Si pengacau itu, kakakku!
“Untuk apa kamu menyusulku kemari?” Aku bertanya dengan sinis, sengaja.
Lagi pula bagaimana ia bisa masuk ke dalam kamar? Bukankah kamar ini aku kunci semalam?
Tidak lama kemudian, seorang wanita berbadan gemuk dengan wajah kemerahan masuk ke dalam kamar. Membuatku mengerti kalau kakakku sudah bersekongkol dengan wanita gendut pemilik home stay yang kutinggali.
“Kamu harus ikut aku pulang, Ram.” Raja—kakakku itu, kembali berkata.
“Tidak!” Aku cepat-cepat memotong. “Aku tidak akan pulang, sebelum kalian semua menyetujui hubunganku dengan Varas!” Aku mengancam. “Aku tidak akan pulang!”
Raja mendengus keras. Wajahnya tampak kesal, tetapi aku tidak perduli. “Ram, pulang!!!” Nada suara Raja naik satu oktaf.
“Tidak!!!” Aku mengimbangi.
Kami bertatapan tajam. Saling lempar kekuatan dan ketahanan tanpa suara.
“…”
“…”
“Ram, aku sungguh tidak ingin memaksa dan keras, padamu!” Nada suara Raja mulai menurun. Barangkali ia kalah pada sorot mataku. “Pulanglah bersamaku…”
“Aku akan pulang, tetapi bersama Varas.” Aku bersikukuh. Aku sudah berjanji pada Varas akan selalu berada di sisinya. Apalagi, aku juga mencintainya. “Syaratku mudah bukan? Hanya Varas saja… Cukuplah dia…”
“Ram, lupakan semuanya!!! Percayalah, kami menyayangimu!!!”
Aku mendengus saat nada suara Raja kembali meninggi. “Tetapi aku juga menyukai Varas. Aku mencintainya!!!” sahutku tidak kalah keras.
“Ram!!!” Raja menggertak. “Lupakan Varas! Kalian tidak akan bisa bersama!”
“Kenapa tidak?!” potongku menantang. “Aku tidak akan pulang, asalkan bisa bersamanya!”
Wajah Raja semakin mengeras. Dengan gerakan cepat, ia menarikku keluar dari kamar.
Raja benar-benar brengsek! Ia bahkan tidak memperdulikan wanita gendut pemilik home stay yang jatuh tertabrak oleh kami.
“Kamu harus segera disadarkan, Ram!” Raja menarik tanganku semakin kuat. Dengan kasar, Raja membuka pintu kamar home stay yang terletak di sebrang kamarku. Terpisah ruang Televisi berukuran tiga kali dua meter.
“Tunggu, ini kamar Varas!!!” Aku berteriak sambil berontak, menolak masuk ke kamar.
Sangat tidak sopan bukan, dua orang pria masuk ke dalam kamar wanita tanpa memberi salam atau meminta ijin?!
Namun aku hanya bisa bengong saat masuk dan melihat kamar Varas sekarang kosong. Kenapa gadisku tidak ada?
“Apa yang kamu lakukan pada Varas?!” Aku segera mendorong tubuh Raja hingga ia hampir terjungkal. Kekesalanku sepertinya membuatku semakin kuat, walau tampaknya Raja masih cukup bisa menjaga keseimbangan. “Ke mana Varas!?” Aku mulai panik.
“Ram, sadarlah! Tidak ada Varas di sini!!!” Raja ikut berteriak.
“Tidak!” Aku tidak percaya. “Varas! Di mana Varas!? Ke mana dia pergi sepagi ini? Varas!!! Varas!!! Di mana kamu, Varas!!!” Dengan panik, kubuka kamar mandi, lemari, kolong meja, bahkan kolong tempat tidur.
Varas tidak ada!
Aku segera keluar kamar, tidak perduli Raja yang masih berteriak entah apa. Aku harus menemukan Varas! Ke mana dia?
“Ram!!!” Raja kembali menarik tanganku, persis saat aku hendak mencari Varas di kamar mandi belakang. “Ini.” Rama menyerahkan sebuah foto.
Itu Varas! Bagaimana bisa Raja menyimpan foto Varas? Jangan-jangan ia bermaksud merebut Varas dariku? Tidak! Kami sedang berbulan madu!
“Ram, kamu datang ke sini sendirian! Tidak ada Varas, selain foto itu!!!”
Aku tersenyum sinis. Kalau Raja tidak bermaksud merebut Varas dariku, maka ia pasti sudah gila!
“Varas!!! Di mana kamu!?” Aku masih terus mencoba mencari gadisku. Mencoba mengabaikan Raja.
“Ram!!!” Sekali lagi, Raja menarik tanganku saat aku hendak berjalan mencari Varas.
Kali ini, meski aku menyentakan tangan Raja berkali-kali, ia bahkan tidak lepas.
“Kamu lihat itu?” Raja menunjuk meja makan yang di atasnya terhidang dua piring nasi goreng. “…kamu membuatnya, semalam!”
Aku terawa keras. Raja benar-benar sudah gila! Jelas-jelas itu Varas yang menyiapkannya untukku, seperti biasa.
“Kamu lihat tempat sampah itu?” Kali ini Raja menunjuk tempat sampah di dapur yang dikerubungi lalat. Menjijikan! “Kamu membuang porsi lain nasi gorengmu ke sana! Tidak ada Varas di sini!” ujarnya dengan nada sedingin salju. “Dan lihat!” Raja mengeluarkan kamera digital berwarna hitam yang kupunya.
Sejak kapan Raja mengambilnya?
“Lihat foto-foto ini! Kamu sendirian, Ram!!!”
Badanku mendadak bergetar hebat. Di depan patung jamur dekat bekas pabrik, ada fotoku tersenyum menatap kamera. Sendirian.
Tidak! ini bohong! Raja menipuku! Pasti, Raja ingin merebut Varas dariku!
“Ram, Varas sudah mati! Sadarlah, Ram!”
Badanku jatuh ke lantai. Kepalaku mendadak terasa sakit. Sebuah godam besar seakan menghantam kepalaku.
“Varas…” Aku membeku.
***
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).