To See You Karya Mufidatun Fauziyah

To See You Karya Mufidatun Fauziyah

To See You

Oleh: Mufidatun Fauziyah

Di belahan dunia mana kita akan bertemu dengan orang-orang yang telah meninggal?”

Bacaan Lainnya

Mahleen menurunkan kedua kakinya ke dalam danau Barakuda, wilayah Coton, Filipina. Gadis itu  sedikit terengah-engah karena sebelum sampai di tempat itu ia harus memanjat tebing terlebih dahulu. Dikuranginya weight belt—besi pemberat—yang dikenakan di pinggangnya. Lalu melepas wetsuit—baju menyelam setebal 3mm—nya begitu saja di danau itu. Setidaknya ia telah menuruti kata-kata dive master sebelum ia masuk ke danau itu.

Di suatu tempat yang akan kau ketahui setelah kau juga meninggal.

Mahleen mulai berjalan ke kanan, ke dinding batuan yang berpilar tinggi. Semakin lama, semakin tubuhnya tak terlihat. Ia tenggelam di dalam air tawar itu. Mahleen diam. Tak bergerak. Dibiarkannya air menenggelamkan tubuhnya sesuka hati.

“Aku ingin meninggal. Kau tahu caranya meninggal?”

Mahleen tersadar dan ia segera menyelam dan terus menyelam hingga ke kedalaman 14 meter. Hampa. Kosong. Tidak ada ikan. Tidak ada rumput laut. Hanya  Air yang tenang dan begitu jernih.

Kau gila, Mahleen! Lupakan Maurer! Dia sudah tenang di sana. Lusa, pergilah bersamaku ke festival Kadayawan [1], kau perlu hiburan!

Mata Mahleen berbinar tatkala melihat garis biru kabur horizontal yang bagai garis langit saat matahari senja. Thermocline. Ya, dive master itu menyebut Garis itu thermocline. Garis yang terbentuk karena bersatunya air laut dengan air tawar.

Mahleen menembus garis thermocline itu. Matanya sedikit kabur karena melihat air yang tampak berminyak. Tak lama, ia melihat ikan-ikan berjajar lurus tak bergerak. Seperti mati. Tapi tidak, karena matanya dapat berkedip-kedip.

“Kau tidak sia-sia bertemu denganku, katakan siapa namamu? Aku akan meramalmu, wahai gadis manis,” kata perempuan separuh baya di festival Kadayawan. Perempuan aneh dengan tongkat berkepala ular yang ia temui saat pertunjukkan bunga.

Mahleen berenang turun. Semakin dalam. Dan ia merasakan suhu air menjadi panas. Tapi ia tak peduli. Ia harus menemukan gua itu.

Apa kau hanya bisa meramal? Atau… kau juga bisa membantuku mencari kekasihku yang telah meninggal?”

Akhirnya Mahleen dapat melihat gua itu. Gua yang berada di dalam air. Kini matanya benar-benar telah membelalak di balik kaca mata renangnya.

Maksudmu?”

“Kalau kau tak bisa, aku akan keluar dari tempat aneh ini. Hanya akan sia-sia. Permisi.”

“Menyelamlah di danau Barakuda. Akan aku beberkan semua rahasia danau ajaib itu asal kau mau memberiku 3000 peso!”

Mahleen masuk ke dalam gua itu. Tidak ada air lagi. Semuanya kering. Pakaiannya kering. Entah kemana perginya air-air itu.

Mahleen melepas semua peralatan selamnya. Mata Mahleen mengerjap-ngerjap takjub. Ia seperti berada di kota tua yang tak pernah ia temui di dunia. Semua bangunannya hanya berbentuk wat—candi. Orang-orang muda berlalu lalang di depannya seraya tersenyum. Orang-orang tua membakar dupa dengan khusyuk. Anak-anak kecil berlarian sambil tertawa. Tidak ada kesedihan di sana. Tidak ada tangis. Semuanya terlihat bahagia.

Mahleen berjalan tak tentu arah. Ia tak sabar ingin menemukan separuh jiwanya yang pernah hilang. Ia datangi kerumunan pemuda-pemudi yang tengah membakar babi. Mereka semua tertawa. Dan Mahleen tidak menemukan Maurer.

Mahleen berjalan lagi. Ia tengadahkan wajahnya ke langit yang berwarna jingga. Seperti saat senja yang dulu menemaninya bersama Maurer. Tiba-tiba, di satu titik, ia melihat Maurer, kekasihnya. Maurer mengayuh sepeda beroda tiga yang dinaiki lima anak berusia sekitar lima tahunan. Mereka membawa balon berwarna-warni.

Mahleen tersenyum bahagia. Bahkan ia hampir meneteskan air matanya. Ia segera menghentikan laju Maurer.

“Maurer, you are here… I miss you so crazy….”

Maurer berhenti. Ia tatap mata Mahleen dengan heran. Lalu ia naikkan alisnya. Balon merah yang dibawa anak berambut keriting mendadak meletus, membuat gaduh anak-anak lainnya.

I’m Mahleen, Maurer. Apa kau lupa padaku? Kita pernah berjanji, bahwa selamanya aku milikmu dan kau milikku,” lanjut Mahleen meyakinkan.

Maurer tak menghiraukan Mahleen. Ia kembali mengayuh sepedanya dengan cepat. Anak-anak yang sempat ribut kini tertawa girang. Maurer menghilang. Lenyap tak bersisa.

Mahleen tak dapat melihat Maurer lagi. Orang-orang masih berlalu lalang. Mahleen kembali sendirian dalam keramaian.

Lalu gadis itu duduk di depan wat. Mengutuki nasibnya sendiri. Dan tak tahu apa yang harus ia perbuat.

“Untuk apa kau datang kemari? Kau belum mati. Pulanglah!”

Mahleen melihat seseorang mengatakan kalimat itu di depannya. Laki-laki tampan dengan pakaian kuning bak biksu. Kepalaya botak. Matanya berkilat. Tajam.

“Kau siapa?” tanya Mahleen.

“Aku dewa kematian. Pulanglah! Dia tidak akan ingat siapa dirimu.”

“Mengapa?”

“Dunia kalian sudah berbeda.” Dewa kematian itu lalu mengucapkan mantra-mantra yang tak dapat dimengerti Mahleen.

“Lalu bagaimana caranya agar dunia kami sama? Seperti dulu. Merengguk janji. Dia milikku dan aku miliknya. Selamanya.”

“Kau harus mati terlebih dahulu.” Sang dewa kematian terus komat-kamit.

“Kalau begitu bunuh aku sekarang!” Mahleen berdiri, menatap mata sang dewa kematian.

“Tidak bisa!”

“Mengapa? Bukankah kau dewa kematian? Cabut nyawaku sekarang! Aku mohon!” Mahleen memelas. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang di saku celananya. “Kau butuh berapa lagi? Semua akan kuberikan padamu!”

Sang dewa kematian tertawa menyeringai. “Kau menyogokku? Sia-sia! Bahkan di tempat ini uang hanya akan terinjak-injak oleh keledai.”

“Lalu apa yang harus kuberikan padamu?’

“Pulanglah! Kau tak akan bisa bertahan lama berada di sini. Ini bukan tempatmu!” Sang dewa kematian merogoh sakunya. Mengeluarkan segelas air yang dihiasi bunga-bunga berwarna-warni. Bau pine menyeruak dari sana. Membuat kepala akan terasa pening bila menghirupnya.

Sang dewa kematian memercikan air itu ke wajah Mahleen. Berkali-kali, seraya mengucapkan mantra-mantra. Seperti mengusir hantu. Ia lalu menghilang. Tanpa jejak.

Kepala Mahleen terasa berat. Matanya seperti melihat kunang-kunang. Ia ingin mengejar dewa itu, tapi tak bisa. Mendadak tubuhnya seperti ditarik oleh seutas tali. Membawa tubuhnya keluar dari gua itu. Lalu naik dan naik hingga ke permukaan danau. Kembali ke kehidupannya lagi.

Mahleen berjalan menuju daratan. Semua yang dikenakannya kembali basah. Pakaianya basah. Matanya juga basah. Ia lalu meraih pisau di tasnya. Dive master yang melihat itu kontan berlari untuk mencegahnya.

Namun sayang, Mahleen dengan mata nanar, telah menyayat pergelangan tangannya. Darah mengucur deras. Danau itu berubah menjadi berwarna merah. Pada saat itu, sang dewa kematian datang. Terpaksa mencabut nyawanya dan membawanya pergi.

***

Mahleen duduk di perundakan wat. Ia resmi menjadi warga baru di kota itu. Seorang laki-laki melintas di depannya dengan sepeda beroda tiga. Ia melihat gadis itu tersenyum bahagia.

Maurer mendekatinya.

“Hai, kau gadis kemarin, kan? Yang mengaku bahwa kau milikku dan aku milikmu?” tanyanya seraya menyandarkan sepeda di samping pohon.

Mahleen menatap kedua bola mata Maurer.

“Maaf, tapi aku tidak ingat,” sahutnya.

***


[1] Festival untuk merayakan panen yang baik di Davao City. Diadakan setiap minggu ketiga bulan Agustus. Orang-orang lokal akan berjalan-jalan dengan berbagai cara; kompetisi menari, parade mengapung dihiasi, lomba perahu listrik. Terdapat juga pameran dagang, pertunjukkan bunga, pameran, dan kompetisi melawan kuda.

/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).

5/5 – (1 vote)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *