Cerpen Martinis and Mixed Feelings Karya Farrahnanda

Martinis and Mixed Feelings Karya Farrahnanda

Martinis and Mixed Feelings

Oleh: Farrahnanda

Lagi. Ini adalah lelaki ketiga yang menawarinya segelas cocktail dengan meminta imbalan yang menjijikkan. Siapa yang butuh? Ini ladies’ night! Dia bisa terus mengobrol dengan sang bartender, memesan bergelas-gelas cocktail dan masih bisa berbelanja sampai kedua tangannya penuh tas belanja! Reva tidak menolak, dia cukup tertawa, membiarkan para lelaki itu bertanya-tanya dia mau atau tidak.

Bacaan Lainnya

“Mau nambah segelas margarita?” Ini adalah lelaki keempat, berbisik di dekat telinga. Bukan sok seksi atau apa. Tapi musik dari seorang DJ di atas sana bergema-gema.

Padahal yang ketiga barusan belum direspons, pikir Reva. Dan dia sedikit menyeringai.

“Martini gue belum habis,” seloroh Reva akhirnya, sambil mengangkat segelas martini.

Tidak ada yang Reva lakukan untuk menarik empat lelaki yang sekarang ada di sekelilingnya. Pakaiannya biasa. Dalam artian hanya sequin dress sepanjang lima senti dari lutut, warna putih polos. Itu juga masih dibalut bolero hitam dari bahan kulit. Dia juga tidak melakukan gerakan-gerakan aneh yang bisa mengundang pandangan ‘tidak wajar’.

“Kali ini nggak ada yang nyangkut?” Sam, bartender yang sudah akrab dengan Reva berteriak agar suaranya tidak tenggelam dalam dentuman musik.

Keempat lelaki itu tampak tersinggung sementara Reva hanya tertawa-tawa. Dia sudah terlalu biasa dengan keadaan begini. Sekali, dua kali dia akan meladeni laki-laki yang menurutnya ‘klik’ untuk berpesta sampai pagi. Kadang dia hanya menjadi teman mengobrol yang seru.

“Gue masih nunggu yang kemarin.”

“Siapa?” Sam menyebutkan orang-orang yang dia tahu pernah pergi dengan Reva. Semuanya hanya dijawab gelengan oleh Reva.

“Sebaiknya lo semua pergi, sebelum orang itu datang.”

“Pacar lo?” kata yang pertama.

“Hmm, belum, belum bisa dibilang pacar.”

“Kalau gitu, gimana bisa dia berani sama kita! Dia, kan, bukan siapa-siapa lo!” tuding yang keempat. Sepertinya dia sudah mabuk. Gerakannya lebih mirip orang ayan daripada marah-marah.

“Pergi, pergi,” Kali ini Reva mendorong mereka satu per satu, “Gue nggak mau main-main sekarang. Udah terlalu sering gue mainan sama hal-hal yang kekanakan begini.”

Dan mereka terpaksa menurut. Karena Sam siap menghajar mereka dengan gelas bir besar kalau mereka berani macam-macam.

***

Itu adalah hari pertama Reva bertemu orang itu, yang sebelah tangannya terbalut sesuatu, penuh noda darah, dan wajahnya begitu kacau. Tidak bisa dicegah, Reva penasaran. Padahal, bukan tipe Reva menjadi orang yang ingin tahu segala urusan. Orang itu memesan segelas martini. Reva terus memperhatikan. Sampai orang itu menoleh, sadar tatapan Reva tidak lepas darinya. Kemudian Reva mendekat ke arahnya.

“Tangan lo kenapa?”

“Bukan urusan lo,” jawab orang itu dengan tampang tidak minat. Dia menerima segelas martini dari Sam.

Reva mengambil tempat di sebelah orang itu, masih mengulum-ngulum senyum. Dia tidak tahu kenapa dia bisa merasa kalau cewek baru di night club ini begitu menarik. Benar saja, sekarang dia sedang merogoh saku jaket dengan sebelah tangan yang tidak diperban, seperti mencari sesuatu. Wajahnya berubah kesal, kesal yang lucu di mata Reva, saat dia tidak berhasil menemukan benda yang dicari. Reva bisa menebak, dari kegelisahannya, cewek itu membutuhkan penenang. Bukan sejenis LSD atau Bellaphen. Mungkin rokok, sejenis penenang ringan. Dan Reva ada, kalau hanya sebungkus rokok.

Reva menyodorkan sebatang rokok.

Cewek itu menoleh. “Makasih. Ada korek?”

Kali ini Reva meminjam korek zippo dari Sam, menyalakan rokok cewek itu. Reva bilang, “Lagi ada masalah, ya? Gue mungkin bisa bantu?”

Cewek itu menatap Reva, seakan-seakan Reva sudah benar-benar teler makanya mengoceh hal-hal yang aneh. Tapi kemudian cewek itu tersenyum, “Martini. Mau?”

Reva tertawa. Dan suaranya yang serak-serak basah membawa efek tersendiri. “Gue lebih suka whiskey,” Reva menunjuk sebotol whiskey yang sudah kosong, “Gue baru pertama ngeliat lo di sini. Baru pertama kali, ya, ke sini? Biasanya di mana?”

“Rumah.”

“Wah, anak remahan yang lagi coba-coba nakal ya?”

Cewek itu mendengus. “Bukan gitu. Gue susah kalau mau keluar. Udah, lo nggak perlu tahu.”

Menarik. Menarik. Reva suka dengan tipe yang seperti ini. Mungkin, Reva bisa mengundang perhatian puluhan laki-laki, dengan sesuatu yang ada di dalam dirinya. Tapi berbeda dengan cewek itu. Ada sesuatu yang dia simpan rapat-rapat. Benar-benar misterius. Seakan sanggup membuat Reva ingin mengenalnya lebih jauh.

“Nama lo siapa?”

“Faythe.”

***

Tidak pernah sekalipun terlintas di dalam kepala Reva saat itu kalau Faythe memang benar-benar bukan cewek biasa. Tidak hanya Reva yang dibuat Faythe bertekuk lutut. Dan kali ini, Faythe sedang memohon pada Reva tentang sesuatu yang aneh.

“Mereka bukan cowok-cowok gue. Lo harus paham. Ini rumit buat dijelasin. Yang jelas, gue nggak bisa jauh dari lo, dan gue butuh lo buat nemenin gue ke Manado.”

Reva terdiam. Tidak tahu harus bereaksi apa. Faythe baru saja bercerita mengenai Frankie, cowok kedua yang dia tahu berhubungan dengan Faythe setelah Febryan. Yang lebih konyol, di sana Faythe akan dilamar oleh Frankie! Apa yang harus Reva lakukan? Andai Faythe bisa menggunakan sedikit otaknya! rutuk Reva.

“Lo harus percaya, gue cuma punya lo di hati gue.” Tatapan Faythe seperti memohon.

“Dan kedua laki-laki itu?” Reva menuntut penjelasan.

“Nanti, nanti akan ada saatnya lo tahu semua tentang gue. Ada saatnya.”

-END-

/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).

5/5 – (1 vote)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *