Cerpen The Triangle of Freedom Karya Ghyna Amanda

The Triangle of Freedom Karya Ghyna Amanda

The Triangle of Freedom

Oleh: Ghyna Amanda

Kau tahu? Aku memilihmu sejak saat itu, saat pertama kali kau menawarkanku sebuah kebebasan. Sesungguhnya semua jawaban bungkam yang tak pernah kusampaikan hanyalah karena aku yang terkekang. Seakan ada lusinan jeruji besi kasat mata yang menahanku, dan dengan sikap angkuhmu, kau menjulurkan tangan. Membebaskanku,

Bacaan Lainnya

… dari putaran segitiga yang selama ini memenjarakanku.

***

Lelaki itu datang bersama dentingan suara pianonya di saat aku tak lagi menyukai benda tua ini. Ibu bilang, sebagai seorang putri dari keluarga terpandang, seharusnya aku bisa berteman lebih baik dengan jajaran tuts hitam-putih bodoh beserta sederet aksara dalam garis dan angka. Sungguh, sebelum lelaki itu datang dan mendentingkan pianonya, aku sama sekali tak punya minat. Sampai kemudian lelaki itu duduk membelakangiku, dan mulai memainkan lagunya.

“Penampilanmu hebat, Tuan. Sungguh mengesankan.”

Percakapan pertama kami bermula dari sebuah basa-basi seusai pesta. Lelaki itu hanyalah satu di antara segelintir pemain musik yang ada sebagai pengiring para tamu ketika berdansa. Daripada para violist atau cellist, aku lebih memilih seorang pianis. Sebenarnya hal yang mainstream dilakukan gadis-gadis seusiaku. Pemain piano selalu terlihat lebih gagah dan memukau. Tapi bukan itu yang membuatku tertarik padanya. Justru karena daripada terlihat memukau, lelaki ini jauh terlihat lebih lusuh, bahkan dari benda yang dimainkannya.

Tapi aku tetap memuji. Dan ia tersenyum.

Lelaki sederhana yang membuatku kemudian memilih untuk menjalani hidup dengan lebih sederhana. Aku memanggilnya dengan sebutan Tuan Alouise karena ia menolak untuk kupanggil dengan nama keluarganya. Itu pula yang kemudian membuatku menyebutkan satu nama yang seharusnya tidak sembarangan diucapkan pada seorang lelaki asing.

“Allegra, Tuan. Cukup panggil aku dengan nama Allegra.” Punggung tanganku teracung tak terlalu tinggi sambil menunggu sambutan. Anehnya, Alouise hanya menundukkan badan layaknya seorang konduktor pertunjukan musik di akhir acara.

Seorang pianis lusuh yang berulang kali mencampakanku. Hingga kemudian, aku terus melangkah untuk mengejarnya.

***

“Kau boleh melamarku, Tuan Alouise,” ucapku penuh rasa percaya diri di sela latihan piano kami. Langkah pertamaku untuk bisa mendapatkannya adalah dengan menjadikan lelaki lusuh ini sebagai seorang guru piano pribadiku.

Terbukti berhasil, kami bersama setelah beberapa bulan, dan keinginanku untuk bisa terus memilikinya tentu semakin besar. Namun kembali ia menggelengkan kepala sambil tersenyum dan berkata dengan nada bicaranya yang tenang, “Saya tidak bisa melakukannya, Nona Allegra.”

“Kenapa?” tanyaku penasaran. “Sudah ada seorang gadis lain untukmu?”

Tidak menjawab, Alouise hanya tersenyum lagi, dan lagi.

Aku tahu, sudah ada seorang gadis lain. Gadis miskin, yang sama lusuhnya, sama mengenaskannya, dan sama—selalu memiliki kesamaan dengan Alouise. Gadis itu hidup sembarang, bekerja sebagai pelayan kedai, digerayangi oleh lelaki nakal setiap malam. Pikirku, apa yang membuat orang seperti Alouise si pendenting tuts piano, menginginkan perempuan ini? Kesamaan nasib? Rasa kasihan? Tanggung jawab? Cinta yang semu? Yang manapun, menurutku dusta. Gadis itu hanya memanfaatkan Alouise saja.

Sampai kemudian, kuutarakan satu kesempatan untuk Alouise memilih. “Aku bisa membebaskan gadis itu. Siapa namanya? Lorietta?”

Saat nama tersebut kuucapkan, wajah Alouise memucat.

“Juga kebebasan untukmu.”

Tidak, sebenarnya aku menginginkan kebebasan untuk diriku sendiri, agar aku bisa keluar dari putaran segitiga tanpa akhir ini.

***

Sebagai seorang putri sulung dari keluarga yang cukup terpandang di zaman kami, aku selalu bisa mencari peluang untuk mendapat apa yang menjadi inginku. Menjauhkan Alouise dengan Lorietta, mendapatkan Alouise agar menjadi milikku, dan tentu kebahagiaan semu yang selalu kupamerkan pada orang-orang yang bertanya mengenai kami.

Kupikir aku akan selalu menang. Selalu.

Sampai hari itu, aku melihat mereka lagi. Alouise dan Lorietta yang berdiri membelakangiku, menganggapku tak ada di sana. Padahal aku telah memberikan Lorietta kebebasan untuk lepas dari kehidupan kumuhnya, tapi di sisi lain aku juga memberi Alouise kebebasan penuh untuk melakukan apapun setelah aku memilikinya. Dan ia memilih kebebasan itu untuk kembali ke sisi Lorietta.

“Oh,” suaraku kasar ketika menyadari hal itu. Tidak, sebenarnya sejak lama aku telah menyadarinya. “Ternyata begitu. Ternyata, kau lebih memilihnya?”

Alouise menatapku dengan wajah tak pasti. Aku tahu, ia pasti ingin meminta maaf, ingin merayuku agar aku mengampuninya, ingin agar aku tak menjadikan Lorietta seperti dirinya saat ini. Meringkuk dalam kesedihan, dengan darah bercucuran, dengan napas di ujung tenggorokan.

Aku yang melakukannya, Tuan Alouise. Setetes tegukan kedamaian yang kemudian ia telan tanpa pernah curiga. Memang dirimu seperti itu; mendamba kebebasan, tapi tetap menjatuhkan harapmu padaku. Tak perlu khawatir, Tuan, aku yang akan membuatmu menjadi milikku. Aku yang akan merangkulmu—terus merangkulmu walaupun kau terpuruk seperti ini. Aku yang akan selalu bersamamu. Aku yang…

“Allegra.” Ia memanggil namaku, namaku! Kau memanggil namaku, Tuan? “Allegra,” wajahnya pucat, tapi tak membiarkan senyum itu kemudian sirna. “Allegra,” dan panggilan terakhir, Alouise menarik wajahku mendekatinya sambil membisikan sesuatu.

Sesuatu yang kemudian semakin menghancurkanku.

“Terima kasih…” suaranya terbata, “… telah membebaskanku.”

Dan semakin menghilang.

“Sejak dulu,” katanya dengan sisa tenaga yang ada, “aku memilihmu.”

Mengakhirinya.

***

/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).

Berikan Nilai post

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *