Pemberhentian Presiden (Impeachment) dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia – Halo sobat Dinas.id, inilah rekomendasi materi PKN khusunya untuk SMA Sederajat. Oke, mari pelajari materi PKN SMA ini sebagai bahan persiapan untuk Ujian Akhir Semester (UAS), Ujian Tengah Semester (UTS) genap, ganjil, gasal.
Apakah Presiden bisa diberhentikan dari jabatannya? * (Disimak yah, materi terbaik nih)
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan yang signifikan terhadap eksistensi MPR. MPR tidak lagi memiliki wewenang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Namun demikian, MPR masih tetap memiliki wewenang melakukan impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya apabila yang bersangkutan terbukti telah melakukan pelanggaran hukum.
Apa itu Impeachment Presiden?
Impeachment Presiden sering diungkapkan oleh masyarakat luas sebagai istilah yang menunjukkan sebagai pemberhentian Presiden. Impeachment atau pemakzulan lebih lazim dimaksudkan sebagai dakwaan untuk memberhentikan Presiden.
Sesungguhnya, kedudukan Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial sangat kuat. Sistem ini dimaksudkan untuk menciptakan pemerintahan yang stabil dalam jangka waktu tertentu. Dalam sistem ini ditentukan masa jabatan presiden untuk jangka waktu tertentu (Fix Term Office Periode). Presiden dapat diberhentikan dalam jabatannya apabila ia melakukan pelanggaran hukum yang secara tegas diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam jabatannya apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pelajari Juga: Materi Suprastruktur dan Infrastruktur Politik
Pasal 7B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Mekanisme pemberhentian Presiden diatur dalam Pasal 7B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, lembaga negara yang diberi kewenangan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Namun, sebelum diputus oleh MPR, proses pemberhentian dimulai dengan proses pengawasan terhadap Presiden oleh DPR. Apabila dari pengawasan itu ditemukan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela serta tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, maka DPR dengan dukungan 2/3 (dua per tiga) jumlah suara dapat mengajukan usulan pemberhentian kepada MPR. Namun, terlebih dahulu meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi tentang kesimpulan dan pendapat dari DPR.
Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR itu tidak berdasarkan hukum, maka proses pemberhentian Presiden menjadi gugur. Sebaliknya, jika Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR, maka DPR akan meneruskannya kepada MPR untuk menjatuhkan putusannya, memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden.
Dengan demikian, pemberhentian Presiden menurut UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, harus melewati 3 (tiga) lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), serta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Ketiga lembaga ini memiliki kewenangan berbeda. DPR melakukan penyelidikan dan mencari bukti-bukti serta fakta yang mengukuhkan dugaan adanya pelanggaran pasal mengenai pemberhentian Presiden oleh Presiden (yaitu Pasal 7A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945) serta mengajukan usul pemberhentian kepada MPR.
Mahkamah Konstitusi mengkaji dari segi hukum dan landasan yuridis alasan pemberhentian Presiden. MPR yang akan menjatuhkan vonis politik apakah Presiden diberhentikan atau tetap memangku jabatannya.
DPR sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengawasi Presiden dapat mengusulkan pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya, tentu tidak steril dari pandangan dan kepentingan politiknya, karena lembaga DPR terdiri dan perwakilan partai-partai politik yang terpilih dalam pemilihan umum.
Karena itu, dalam mengajukan usulan pemberhentian Presiden, DPR harus seobyektif mungkin dan memiliki alasan-alasan yang cukup kuat bahwa tindakan/kebijakan Presiden benar-benar telah memenuhi dasar substansial pemberhentian Presiden (sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7A Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Bagaimana mekanisme DPR untuk menyelidiki adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden, tidak diatur secara tegas dalam UUD. Hanya Pasal 20A Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan Hak Angket kepada DPR, yaitu hak untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan bangsa yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Dengan adanya hak angket secara implisit UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengadakan penyelidikan terhadap Presiden.
Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh panitia angket diputuskan oleh DPR dalam rapat paripurna. Jika hasil panitia angket menemukan bukti-bukti bahwa Presiden memenuhi ketentuan Pasal 7A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan disetujui oleh paripuma DPR dengan dukungan minimum 2/3 suara, maka selanjutnya DPR harus terlebih dahulu membawa kasus itu kepada Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa dan diadili sebelum dilanjutkan kepada MPR.
Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan kepada negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan atau pendapat bahwa Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pun tidak mengatur secara rinci mengenai proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi. Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi hanya diatur mengenai mekanisme pengajuan permohonan, yaitu diajukan oleh DPR selaku Pemohon.
DPR harus mengajukan permohonan secara tertulis dan menguraikan secara jelas mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden kepada Mahkamah Konstitusi dan melampirkan putusan serta proses pengambilan putusan di DPR, risalah dan atau berita acara rapat DPR disertai bukti mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden.
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi juga mengatur batas waktu penyelesaian permohonan yang harus diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam waktu 90 hari setelah permohonan diregister, alat-alat bukti serta bentuk putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pemeriksaan atas permohonan DPR diwajibkan untuk memanggil Presiden sebagai pihak dalam perkara untuk memberikan keterangan atau meminta Presiden untuk memberikan keterangan tertulis. Untuk hadir atau memberikan keterangan di hadapan Mahkamah Konstitusi, Presiden dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya.
Apakah terdapat perdebatan lebih lanjut, misalnya tanggapan kembali dari DPR serta tanggapan balik dari Presiden. Apakah Mahkamah Konstitusi dapat memeriksa kembali saksi-saksi yang sudah diperiksa di DPR atau menambah saksi baru, tidak diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Bila memperhatikan ketentuan hukum acara yang diatur dalam Undang- Undang Mahkamah Konstitusi adalah terbuka kemungkinan bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa kembali dan menilai bukti-bukti yang diajukan dan dapat memanggil saksi-saksi. Dengan demikian bukti-bukti yang diajukan oleh DPR dapat dinilai dan diuji kembali.
Mahkamah Konstitusi dapat memangil kembali saksi-saksi yang pernah dipanggil di DPR serta dapat memanggil saksi- saksi baru. Dengan demikian, dalam pemeriksaan kasus usulan pemberhentian Presiden, Mahkamah Konstitusi tidak cukup hanya dengan memeriksa dan menilai dokumen-dokumen yang disampaikan oleh DPR.
Dengan mempergunakan ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi dapat membuat hukum acara tambahan sebagai pengaturan lebih lanjut untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Di sinilah kesempatan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengatur lebih lanjut mengenai hukum acara dalam hal pemeriksaan atas usulan pemberhentian Presiden oleh DPR.
Memperhatikan proses pemeriksaan pendapat DPR di Mahkamah Konstitusi dan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi ”memeriksa, mengadili, dan memutus” dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya proses pemeriksaan pendapat DPR di Mahkamah
Konstitusi adalah sebuah proses peradilan yang tidak terbatas pada pemeriksaan dokumen semata-mata. Karena itu, pemeriksaan pendapat DPR itu dapat dilakukan seperti pemeriksaan dalam perkara pidana biasa. Hanya saja posisi Presiden bukanlah seperti posisi terdakwa dalam perkara pidana, akan tetapi sebagai pihak dalam perkara yang memiliki posisinya sejajar dengan pemohon yaitu DPR yang bertindak seperti ”penuntut” dalam perkara pidana. Dengan proses seperti ini, Mahkamah Konstitusi dapat secara obyektif dan secara mendalam memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh DPR, terhindar dari kepentingan dan pandangan politik yang dapat saja subyektif dari DPR.
Proses pemberhentian Presiden selanjutnya berada di lembaga MPR, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR. Apa yang terjadi di MPR sesungguhnya adalah pengambilan keputusan politik untuk menentukan apakah Presiden layak untuk diberhentikan atau tidak.
Tidak ada pemeriksaan kembali seperti halnya yang terjadi di DPR dan Mahkamah Konstitusi. Dalam persidangan itu, MPR hanya mendengarkan pembelaan terakhir dari Presiden setelah mendengarkan usulan pemberhentian dari DPR. Perdebatan yang mungkin terjadi hanyalah perdebatan di antara anggota MPR.
Karena itu apakah Presiden berhenti atau tidak adalah sangat bergantung pada suara mayoritas yaitu 2/3 (dua pertiga) suara anggota MPR dalam sidang Istimewa MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) anggota MPR. Di sinilah berlaku prinsip Salus Populi Suprema Lex (suara rakyat adalah hukum tertinggi). Dalam hal MPR tidak memberhentikan Presiden, bukanlah berarti MPR menganulir putusan
Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR mengenai adanya dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden. Karena itu, Presiden dapat saja dituntut secara pidana melalui peradilan pidana biasa manakala terdapat dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Presiden.
Referensi: Rohayani Ida. 2020. Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kerangka Praktik Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS dan DIKMEN.
Demikian materi tentang Pemberhentian Presiden (Impeachment) dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia untuk SMA Kelas 10, 11, dan 12 sederajat yang bisa kami sajikan, disimak secara saksama yah. Merdeka Belajar!