Sebuah Cerita Tentang Lilin
Oleh: Nadine Zulia Putri
Tema: Yang indah tak selalu harus sempurna
Mungkin aku hanyalah sosok tak berarti yang sempurna hilang tenggelam dalam gemerlap kilau duniamu. Dan, hanya sebatang lilin redup yang kau datangi saat kau gelap, saat kau jatuh terasingkan oleh sempurnanya hidupmu. Lalu terlupakan saat kau dikelilingi seribu cahaya putih. Sebatang parafin tak berguna yang sumbunya pelan-pelan kau bakar dengan cinta semu memabukkan. Ini bukan kisah tentang pengkhianatan, hanya tentang persinggahan yang menyakitkan dari sebuah pencarian….
***
“Saat aku mengucapkan keindahan, apa hal pertama yang kau pikirkan?”
Hanya ada satu hal kecil yang terlintas di benakku saat dia bertanya tentang keindahan. “Lilin,” jawabku mantap.
“Kenapa harus lilin?” tukasnya cepat. Seperti biasa, siap melontarkan pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan yang akhirnya hanya akan membuatku menyerah lebih cepat.
“Pengorbanannya, mungkin?”
Aku mulai benci saat-saat seperti ini—saat dia dengan santai terus bertanya dan aku hanya bisa menjawabnya dengan suara pelan penuh keraguan.
Satu dua helaan napas pelan terdengar. “Kau menganggap pengorbanan adalah sesuatu yang indah?” tanyanya datar.
“Kenapa tidak?”
Baiklah, itu adalah jawaban paling bodoh yang pernah kulontarkan.
Tak ada jawaban. Diam-diam, ada rasa lega yang membuncah, tak akan ada pertanyaan menyudutkan lagi.
Lalu, dalam satu tarikan napas, suaranya yang serak terdengar dari ujung telepon. “Buatkan aku kisah tentang lilin.”
***
Kisah tentang lilin?
Tentang lilin dan pengorbanannya?
Baiklah, bagaimana jika kisah ini kutulis tentang perasaanku? Tentu saja perasaanku padamu. Tidak, jangan hanya tentang perasaan. Bagaimana dengan keseluruhan kisah cinta di antara kita? Dari sudut pandangku, tentu. Kau setuju? Baiklah, mari kita mulai dari mana semua kisah ini berasal.
Kau ingat saat-saat itu? Detak waktu ketika api yang kau percikan perlahan mulai membakar sumbuku yang telah kuyup oleh perih?
Itu adalah waktu di mana untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bersyukur memiliki seseorang yang tak sempurna.
Aku selalu ingat detik itu. Kala rasa hangat datang membuaiku dalam syahdu. Saat derap kata-kata ajaib itu mengalun dengan indah dari suaramu. Aku terang dalam gelap.
Ingat saat kau bertanya mengapa aku mencintaimu? Aku jelas bukan gadis yang pandai bicara, pandai menyenangkan hati orang lain, apalagi membual soal perasaan. Dan aku hanya menjawabmu dengan segaris senyum absurd yang tak berarti. Karena alasanku mencintaimu begitu menyakitkan. Semoga saja melalui kisah ini, kau tahu aku tak pernah sekadar terluka.
Aku mencintaimu karena benda kecil yang kau sebut hati itu, selalu berguncang. Menggelepar. Lalu, membuatku terkapar merindukanmu dalam diam. Tak peduli walau hanya membaca namamu di inbox sms-ku, di room chat, bahkan benda itu benar-benar bergetar setiap kau sapa aku dalam ucapan selamat pagi. Menyakitkan, kan?—mengingat hal itu benar-benar tak pernah lagi kudapatkan sekarang.
Sungguh, mencintaimu benar-benar menyesakkan. Setelah lelah aku mencari pemantik untuk menghangatkan sumbu dalam hidupku, kau datang mengetuk pintu hatiku menawarkan percikan api, menggelitikku dengan kesederhanaan. Saat kukira tak ada lagi sesuatu yang sempurna bisa datang untuk sekadar membuatku menyala, kau bahkan hanya menyulutku dengan kasih sayang.
Aku meleleh. Membiarkan hidupku larut dalam kasihmu. Bukannya cinta adalah pengorbanan? Maka aku ikhlas membakar hidupku demi bersamamu. Memberikan sedikit ruang terang dalam kegelapan yang melanda dunia kita—atau hanya aku?
Pernah merasa buncah dan takut berlomba mendominasi hatimu?
Aku pernah. Tepat tiga minggu setelah kau lambungkan sebuah perasaan bernama cinta di atas kegelapan. Aku senang, sekaligus merasa cemas….
Kau pemantik, dan aku hanya sebatang lilin. Kau menciptakan nyala, aku menunggu kemurahan hatimu. Menjadikanku tenggelam dalam tumpukan-tumpukan benda yang terabaikan, yang terasingkan. Kau bergerak mengikuti kilauan dunia, aku mengeras menjadi batu parafin yang tak berguna.
Cintaku terus memuai. Senada nyala api yang terus membakar sumbuku. Bahkan, saat kau tak lagi benar-benar menciptakan api untuk merayu nyalaku, aku berpura-pura. Membayangkan itu adalah api yang sama saat pertama kali kau membakarku.
Kau berubah. Sibuk membangun sebuah tembok besar untuk memisahkan hati kita—atau hanya untuk sekadar menyadarkanku jika apimu bukan untukku lagi?
Inilah sebuah kisah tentang lilin. Yang terlupakan. Yang batangnya telah habis meleleh terbakar perasaan agung beratasnamakan cinta melalui pengorbanan.
Kau tahu apa yang membuatku bertahan selama ini?
Apimu. Rasa hangat itu. Kasih sayang. Cinta. Semuanya adalah kumpulan kenangan tak berbentuk, tak berwujud. Dan, nyata. Aku pernah terbakar untukmu.
Aku tak akan pernah menyesal dengan semua hal yang telah kau bagikan. Bahkan, di saat kegelapan kembali datang dan sumbuku sungguh telah habis terbakar api asmaramu, dan hanya menyisakan parafin cair yang perlahan menciptakan kawah panas di dasar gelas, yang akhirnya akan membatu, lalu terlupakan, aku tak pernah benar-benar bisa melupakanmu.
***
Email sent.
Setengah jam lebih aku berkutat di depan laptop demi membaca kilasan pemberitahuan itu. Seiring pikiran-pikiran buruk membayang di sudut ruang sesak, berulang kali harapan-harapan terdalam pecah di tengah perasaan. Seringnya aku menikam jejak kerinduan yang tersisa, dengan kejamnya rasa sakit menghempas.
Harapan atau firasat?
Aku menyerah. Cinta bukan sesuatu yang pantas untuk diperdebatkan, bahkan oleh perasaan atau pun logika.
Aku terlonjak saat sebuah panggilan masuk ke handphone-ku. Azka.
“Kau tak seharusnya menulis kisah tentang ini, Amanda….”
Tahu seperti apa rasanya benda kecil bernama hati milikku itu sekarang?
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).