Sharmila
Oleh: Puput Palipuring
Aku mencarinya di antara kerumunan para gadis yang sibuk merangkai janur dan menyiapkan banten. Sementara kaum lelaki hanyut dalam proses pembuatan ogoh-ogoh yang sedianya akan diarak setelah melasti. Siang itu, warga dusun Bongso Wetan Menganti kabupaten Gresik sudah mulai berkutat dengan kesibukan tahunan menjelang hari raya Nyepi. Penjor-penjor gagah berdiri, melambai pada siapapun yang rindu hadir kembali.
Tak banyak yang berubah dari dusun ini. Semua masih sama seperti saat terakhir aku menginjakkan kaki. Ya, semua sama, masih sama. Yang membedakan hanyalah satu hal; aku telah kehilangan dia. Wanita pemilik sorot mata hangat dengan pendar wajah yang selalu semangat; Sharmila.
“Mbak Padma mulih.” Satu dari mereka masih ada yang mengenaliku rupanya. Ia bangkit dari tempatnya duduk sambil menyingkirkan helai-helai janur kuning yang terlihat berantakan di sana-sini.
“Bu Mar ada?” tanyaku padanya. Rini, gadis kecil yang kini sudah menjelma menjadi remaja kenes langsung menggamit lenganku memasuki rumah. Di dalam, aneka suguhan terhidang di meja. Ada jajan pepelan, jajan uli, hingga gipang.
“Monggo, duduk dulu Mbak. Ibu masih di dapur.”
Aku memandangi ruangan kecil ini. Belasan tahun yang lalu, saat aku masih seusia Rini, seringkali menghabiskan sore yang cerah bersama Sharmila. Aku suka mendengar ia mengkidung. Mengkidung adalah cara umat hindu mendendangkan puji-pujian pada Ida Sang Hyang Widi Wasa atau pada dewa-dewa lain dalam keyakinan mereka. Dari mengkidung tersebut, aku belajar bagaimana melengkingkan suara, mengambil nafas, mengatur vibra, agar bisa melantunkan qiraah dengan indah.
***
“Akhirnya kamu menemukan lelaki yang tepat, Mbakyu,” tulisku pada sebuah pesan singkat yang kukirimkan padanya. Sharmila akan menikah, kudengar kabar demikian darinya. Setelah empat puluh enam tahun menunggu, tibalah saat membahagiakan itu. Sharmila dipersunting seorang penabuh gamelan pada grup campursari kenamaan.
“Dia bukan PNS sepertiku, Padma,” balasnya.
“Apakah cinta dan jodoh hanya diukur dari seragam dinas? Jika dia tulus mencintaimu, mengapa tidak? Mbakyu, ingatlah usiamu sudah tak lagi muda.”
Sharmila, usia kami terpaut hampir dua puluh tahun namun kami sangat dekat bersahabat. Aku yang masih duduk di bangku kelas empat SD, sepulang mengaji membantu ibu menyiapkan aneka jajanan dan air mineral. Menurut ibu, berbagai makanan itu akan disuguhkan pada para penganut agama hindu di desa sebelah yang tengah berpawai keliling desa membawa ogoh-ogoh yang besar menyeramkan.
Usai serangkaian acara, ogoh-ogoh besar dan seram dikeluarkan. Aku menangis tanpa henti. Sementara ibu yang sibuk dengan aneka panganannya tak bisa menjagaku hingga terjadilah tragedi itu; aku terselip di antara ratusan bahkan ribuan orang yang berkerumun menyaksikan pawai ogoh-ogoh.
Tangisanku yang kencang membuat seorang gadis cantik menghampiriku. Wajahnya teduh dengan kain kebaya warna kelabu. Di dahinya beberapa butir beras melekat. Sementara di daun telinganya terselip bunga kamboja putih segar.
“Sopo jenengmu?” tanyanya ramah.
“Lapo nangis? Nang endi ibumu?” ia masih bertanya dengan penuh sabar sementara aku bukannya menjawab malah semakin kencang menangis.
Dari sanalah aku mengenal Sharmila. Ia membawaku pulang malam itu, menjagaku semalam suntuk yang tertidur pulas karena lelah menangis.
***
Di dusun Bongso Wetan Menganti yang terletak 27 kilometer dari pusat kabupaten Gresik, warga muslim dan warga hindu hidup berdampingan. Menjelang perayaan Nyepi, warga dusun selalu disibukkan dengan serangkaian acara yang mengundang banyak orang untuk hadir menyaksikan. Setelah ritual melasti atau menyucikan diri di pantai Kenjeran, umat hindu melanjutkan dengan tawur agung, yakni pawai ogoh-ogoh keliling kampung. Ogoh-ogoh yang melambangkan kejahatan tersebut diarak lalu dibakar di Pura Kertha Bhumi, sebagai wujud pemusnahan sifat angkara murka dalam diri manusia.
“Umpama mbakmu Mila sik urip, Nduk,” ujar Bu Mar menerawang. Matanya lurus menatap jalanan yang ramai dengan penjor berwarna-warni.
“Mila baru saja bahagia dengan pernikahannya.” Mata tuanya berkilat.
Aku bukan tak mendengar kalimat demi kalimat Bu Mar, namun aku bingung harus bagaimana menyahut. Hatiku juga luruh dalam kalut.
***
Mataku masih mencari-cari sosok ayunya di antara kerumunan manusia yang menyemut memadati jalan. Arakan ogoh-ogoh katanya lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya. Ingatanku berputar pada belasan tahun yang lalu, saat tubuh mungilku menangis dalam pelukan hangat Sharmila. Antara takut melihat boneka raksasa dan panik karena terpisah dari ibu.
“Aku baru merasakan cinta itu hadir, Padma. Akhirnya aku ikhlas mencintai suamiku,” tulisnya pada pesan singkat, empat bulan setelah pernikahan yang katanya tak pernah ia kehendaki.
“Pulanglah saat Nyepi di akhir bulan Maret, aku ingin buat kejutan untukmu,” lanjutnya pada pesan kedua.
“Apa itu?”
“Tak bisa aku ceritakan sekarang, tapi kuyakin engkau pasti bahagia mendengarnya.” Sharmila yang ayu dan selalu kurindu, apa yang tengah ia persiapkan untukku?
***
Bandara Changi siang itu adalah saksinya. Senyumku membuncah di akhir Maret sebagai pucuk janjiku pada Sharmila. Aku tak sabar mendarat di Juanda lalu mengejar terik sang siang menuju dusun Bongso Wetan. Sehelai kain ikat pinggang sebagai padanan kebaya sudah kusiapkan sebagai kado. Warnanya merah cabai akan sangat pantas dikenakan Sharmila, batinku.
Lalu, belum sempat pesawatku lepas landas sebuah kabar mengejutkan hadir ditingkahi deru lalu-lalang orang-orang beraroma keju di ruang tunggu.
“Sepurane, dua minggu lalu Mbak Mila kecelakaan dan langsung tewas di tempat kejadian. Kami baru tahu jika Mbak Mila sedang mengandung,” Rini mengabarkan melalui sambungan telepon.
Sharmila, kini aku telah tiba di Bongso Wetan. Sebuah dusun tersembunyi di pelosok Gresik yang menjadi awal perjumpaan kisah manis kita dahulu, yang diuntai tanpa memandang perbedaan keyakinan ataupun selisih usia yang terlampau jauh.
“Pulanglah saat Nyepi di akhir bulan Maret, aku ingin buat kejutan untukmu,” kubaca ulang pesanmu sebulan lalu.
“Kami baru tahu jika Mbak Mila mengandung,” lalu suara bergetar Rini membuyarkan lamunanku. Kau hamil, benarkah hal itu? Apakah kado kehamilan yang kau maksud?
***
Empat orang pedande memimpin upacara, berjalan paling depan dalam barisan. Mereka membawa sekaligus membunyikan lonceng kecil sambil memercikkan air di sepanjang jalan, ada yang membawa dupa sambil merapal mantra-mantra doa. Barisan ogoh-ogoh menari bersama alunan gamelan Jawa. Semua bahagia, larut dalam perayaan tanpa membeda agama.
Selamat merayakan Nyepi, Sharmila.
[Gresik, 31-03-2014, untuk saudaraku yang berpulang dan yang sedang merayakan]
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).