Trap..!!!
Oleh: Rosanti Dwi S
Paudra tertawa geli melihat wajahku yang semakin menekuk. Sesekali aku meliriknya tajam. Seram, seperti sepasang mata elang yang siap mencabik-cabiknya menjadi sekecil pasir. Menyebalkan! Dia menjebakk. Benar-benar menjebakku! Bagiku, ini adalah cara teraneh untuk merayakan sebuah ulang tahun. Dan aku harus ikut menjalaninya.
***
Hari ini hari sial? Iya! Sial sekali. Aku bahkan tidak pernah menyangka hari semacam ini akan terjadi. Dua puluh satu tahun hidupku, tidak pernah sekalipun aku menginjakkan kakiku di tempat semacam ini, kapal lusuh berdebu dengan kursi-kursinya yang bahkan tidak empuk sama sekali, tempat yang sekali lihat saja sudah terlihat lebih buruk dari gudang rumahku.
“Lu gila, geblek! Apa-apaan, nih?” omelku pada Paundra. Tapi si tersangka malah semakin tertawa cekikikan setiap dia melihat ekspresi wajah kesalku padanya. Mungkin dia suka melihat aku menderita. Paling tidak, mau tidak mau, tubuhku harus bertahan diatas bangku super tidak nyaman milik kapal api kelas ekonomi ini, sebuah tempat yang memikirkannya saja sudah membuatku alergi. Dan sekarang, aku harus menjalaninya? No way! Ini mimpi buruk!!!
“Audy, Ini trip gue yang bayarin, jadi lu mesti ikutin cara gue.”
“I know, but.. nggak kapal api kelas ekonomi juga kali. Bangkunya nggak enak. Gue nggak bisa tidur, dan lagi..”
“Mau nggak? Kalau nggak mau, sana lompat sekalian,” tantang Gilbran padaku. Aku hanya bisa diam. Aku sadar aku tidak punya pilihan. Perjalanan kali ini memang Gilbran yang mengambil kendali. Dia yang menjadi penyandang danaku setelah semua uangku terkuras demi tiket konser Taylor Swift minggu lalu. Dan lagi, ini adalah cara yang ia minta untuk merayakan ulang tahunnya. Jadi, aku tidak punya pilihan lain selain melakukan apa yang ia minta. Dia ingin sebuah petualangan yang tak terlupakan. Sesuatu yang berbeda. Tapi jujur saja, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Perjalanannya saja sudah seperti ini. dan aku bisa menebak kalau hidupku di Bali nanti tidak akan jauh-jauh seperti gembel. It’s a nightmare!! The real nightmare!
***
Aku suka perjalanan, tapi bukan yang semacam ini. Jujur saja, telingaku agak sensitif mendengar segala hal yang bergelar ekonomi. Dan sialnya, beberapa hari ini aku terjebak di tempat-tempat macam itu. Kereta ekonomi, lalu kapal ekonomi, dan sekarang penginapan yang sama reotnya seperti gubug. Siksaan! Aku bahkan tidak tega memakai air di kamar mandinya. Siapa yang tahu ada berapa juta bakteri di sana, dan aku tidak mau membiarkannya menyentuh kulitku.
Paundra mengajakku mengelilingi Bali dengan motor sewaannya, benda buntut yang kurasa tidak punya fungsi lain selain memaksa kulitku menjadi jauh lebih gelap. Kami ke Kuta, lalu Pura Besakih, tapi aku sama sekali tidak bisa menikmatinya. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menikmati perjalanan semacam itu? Aku bahkan tidak bisa membayangkan berapa lama aku harus menunggu kulitku kembali lagi seperti dulu.
Semuanya gara-gara Paudra. Mungkin ini yang ia maksud sebagai petualangan, tapi buatku ini sama sekali tidak masuk akal. Ini penderitaan!
“Hari ini kita ke Uluwatu,” ucapnya pagi ini.
“Ngapain?”
”Gue mau lihat-lihat lukisan di galeri,” jelasnya. “Sekalian ketemu sama teman Papa gue, Om Richard.”
Om Richard? Aku ingat. Paundra pernah bercerita padaku tentang orang itu beberapa kali. Yang aku ingat, dia adalah teman ayahnya. Iya.. orang itu! Om Richard adalah orang yang agak sinting itu. Orang yang meninggalkan karir dan kenyamanannya demi hidup tidak tentu sebagai seniman katanya. Lebih bahagia katanya? Mana bisa?
“Om Richard? Yang lu bilang agak sinting itu?” tanyaku enteng.
\”Sssstt!! Ngomong lu sembarangan banget, sih!” ucapnya. “Sebelumnya, kita nyari dulu makan di dekat pasar,” ucapnya sambil tersenyum.
What!?
***
“Stop.. Stop..Stop..!!” gue nggak tahan! Udah kita stop aja!” teriakku saat kami masih separuh perjalanan. Satu lagi hal tertolol yang kami lakukan. Kami lupa bahwa dalam perjalanan dengan kendaraan dengan dua roda, kami harus berkenalan dulu dengan cuaca. Lima menit yang lalu, seingatku langit masih biru. Tapi kini, hujan rintik-rintik sudah membasahi pakaian kami.
“Gue mau pulang. Ke Jakarta. Sekarang! This is crazy!”
“What is crazy?”
“Perjalanan lu, bego! Lu piker enak apa jalan jauh pake sepatu hak tinggi? Naik motor lagi? Nggak enak tauh! Gue nggak tahan. Gue mau pulang. Nggak seru! Nggak enak!” teriakku padanya.
Paundra terdiam. “Lu janji mau nemenin gue di trip ini kan?”
“Iya, tapi nggak kayak gini juga, kali. Gue nggak tahu kalau separah ini!”
“Lu tu lebay banget, sih! Emang kita ngapain? Parah apanya? Kita cuma nge-trip. Apa yang salah?”
“Yang salah karena lu paksa gue ikutin gaya lu. Gue nggak bisa hidup kayak gini. Gue nggak bisa. Gue nggak mau makan di pinggir jalan. Gue nggak tahan tinggal di hotel gubug yang lu sewa tadi. Gue nggak suka naik motor buntut ini. gue nggak tahan!”
“Gue Cuma pengen out of box. Salah? Orang lain bisa hidup pake duit dua puluh ribu perak sehari. Kenapa gue nggak? Dan kalau gue ajak lu makan di pinggir jalan emang kenapa? Lu masih hidup kan? Makanan hjalanan nggak bakalan bikin lu mati, okay! Lu masih hidup tanpa uang juta-jutaan lu. Itu intinya!”
“Just, keluar dari kotak! That’s it!” bentaknya padaku.
***
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).