CUPCAKES
Oleh: Dian Iriana
Ela, namanya. Mata biru pucatnya seperti hendak menyaingi langit Oktober yang seperti enggan menunjukkan keceriaan. Kau mungkin akan memuji rambut bergelombang cokelat tuanya, yang mengingatkan kita pada padang pasir di Timur Tengah dengan galur-galur angin di tepiannya. Atau bibir mungil merah mudanya yang….
Tunggu.
Bibir mungil merah mudannya sedang mengerucut. Sebentar lagi, wahai, coba dengarlah apa yang akan keluar dari mulutnya.
“Kembalikan boneka beruangku, dasar!” ia berteriak dari sisi atas bukit pada angin. Pada gemersik di semak-semak yang mengusik tonggeret. Pada deretan pohon kastanye yang dahannya melambai-lambai.
Menunjukkan persembunyian seseorang. Atau sesuatu.
Barangkali lebih mudah kalau mengenal Ela sejak awal.
-oOo-
Dua hari lalu di ulang tahunnya yang ke lima belas, ia mendapat kunjungan dari seorang saudara dari negeri yang jauh. Ia dengar, negeri itu punya bermacam-macam tanaman yang tidak akan tumbuh di daratan tempat tinggalnya. Belum pernah ia datang ke tempat itu, tapi dari cerita ibunya, tempat itu berpenduduk orang-orang ramah dan murah senyum. Mereka bahkan sering bertanya ‘hei, mau ke mana?’ atau ‘dari mana saja?’ kepada orang yang tak dikenal dekat dan menganggap hal itu tidak mengganggu sama sekali! Hah. Membayangkannya saja, Ela pasti sudah menebak kalau orang-orang yang tinggal di sana menyebalkan.
Lalu, saudaranya itu (Vincent namanya), memperkenalkan seseorang bernama Roman.
Kata Vincent, “Ini temanku.”
“Dari negaramu?” Ela bukannya gadis yang suka ikut campur, kadang dia bertanya hanya karena penasaran.
“Bukan.” Vincent tertawa. “Kebetulan dia tinggal dua blok dari sini.”
“Bagaimana bisa kenal?” Sudahkah kau tahu bahwa kadangkala Ela sulit untuk menyembunyikan apa yang ada di kepalanya? Nah, sekarang kau tahu.
Roman hanya menatap Ela dengan tatapan yang mungkin bisa berarti itu-kan-bukan-urusanmu, tapi pura-pura tersenyum waktu Vincent menjelaskan bagaimana mereka bisa kenal. Lewat media sosial tentu saja! Vincent sendiri bahkan sudah lupa bagaimana mereka saling kenal, jelas sudah lama sekali. Mereka rutin bertegur sapa sejak Vincent menceritakan soal bibinya yang tinggal di negara dengan jumlah hujan lebih banyak ketimbang hari cerah. Mereka sampai pada satu persamaan: Roman tinggal di sebuah kota kecil yang tidak terlalu banyak diketahui orang dan bibi Vincent tinggal di sana. Entah bagaimana mereka jadi sering menceritakan seorang gadis yang jadi sepupu Vincent. Ela.
“Oh,” ucap Ela sambil terlihat bosan tanpa sembunyi-sembunyi. “Gitu, ya. Kalau begitu kenalkan, ini Cupcakes, boneka beruangku.” Tanpa menunggu balasan dari kedua pemuda di depannya, Ela berlalu.
“Ini Cupcakes, boneka beruangku,” ejek Roman. “Itu sepupumu, ya? Kok kalian engggak mirip? Dia nyebelin banget.”
Vincent bersiul, nyengir kemudian. “Jangan diambil hati. Atau ambil hati saja, kalau kamu suka.”
Sejak saat itu rasa sebal Roman pada Ela bertampuk. Menurutnya, gadis sesombong itu patut diberi pelajaran. Misalnya, buat apa seorang remaja lima belas tahun bawa-bawa boneka beruang? Bernama Cupcakes, pula. Gagasan isengnya muncul, mungkin itulah alasan Roman tak hadir di acara makan malam. Bukan, bukannya dia enggan bertemu Ela lagi. Sebaliknya, diam-diam Roman menyelinap ke kamar anak perempuan itu dan mengambil gumpalan bulu cokelat dari kasurnya, tepat ketika Ela meniup lima belas lilin di atas kue tart rasberinya.
Ela, namanya. Ruangan di ujung koridor itu sudah berantakan seperti kapal pecah sejak beberapa jam lalu dan seorang gadis yang berdiri di tengah onggokan kain sprei serta bergulung-gulung baju belum juga menemukan boneka beruangnya.
“Vincent, lihat Cupcakes tidak?”
Sepupunya berdiri di pintu, enggan melangkah lebih dekat dari itu, “Coba kutebak, boneka itu hadiah dari seseorang yang sangat berarti buatmu.”
“Lihat atau tidak?” Ela bersikeras.
“Sekarang kamu kelimpungan karena lupa menaruhnya di mana. Tapi maaf saja kalau aku tak bisa bantu.”
“LIHAT ATAU TIDAK?” Kedua tangan Ela mencengkeram pinggangnya. “Apa susahnya menjawab pertanyaanku!”
“Tidak.”
Tanpa ba-bi-bu, diusirnya Vincent dari sana. Entah karena kehadiran sepupunya itu membuat pencariannya terasa lebih sulit, atau karena Ela tak mau Vincent melihat rembesan air yang mulai mengalir lewat celah matanya. Tebakan Vincent benar, tapi tidak membantunya sama sekali. Cupcakes tetap hilang.
“Tapi, Ela,” kata Vincent sebelum beranjak. “Kamu bisa tanya ke Roman.”
Mendadak Ela berhenti bergerak. “Roman temanmu itu?”
“Yep. Dia ada di luar, tuh.”
(Hari Ini)
“Kembalikan boneka beruangku, dasar!”
Tidak ada jawaban, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Ela sedang berteriak kepada seseorang. Namun ia tahu betul kalau di kaki bukit, tempat aliran sungai bersembunyi di balik semak-semak yang bergoyang tadi, seseorang yang menyembunyikan boneka beruangnya sedang menahan tawa melihat tingkah konyolnya.
Tanpa ragu, Ela berlari ke sana. Benar saja, Cupcakes tanpa melawan berada di tangan pelakunya. Roman.
“Kamu ini kenapa, sih?!” bentak Ela. “Kembalikan! Itu, kan, bonekaku.”
Sudahkah kau tahu bahwa Roman langsung mengaku kalau dia yang mengambil boneka milik Ela di malam ulang tahunnya tanpa menunda? Belum? Nah, sekarang kau sudah tahu.
“Mau marah?” Sebetulnya Roman tak perlu menanyakan itu, karena dia sudah melihat mata sendu Ela berapi-api begitu melihatnya memegangi Cupcakes dengan sebelah tangan. Sedang tangan satunya tersembunyi di balik punggung.
“Kamu tahu, kan, kalau Cupcakes begitu berarti buatku?” Ela mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. Suaranya gemetar. “Kembalikan!”
“Tentu, tentu aku tahu.” Dianggukkannya kepala Roman ketika berkata demikian. “Tapi kamu ingat? Kenapa kamu tiba-tiba menghindar? Dulu, kan, kita sering sekelas.”
“Bukan urusanmu. Kemarikan!” Tangan Ela menggapai Cupcakes yang langsung diselipkan Roman ke dalam dekapan.
“Sejak ayahmu meninggal, kamu berubah. Seingatku, sebelumya kamu itu gadis yang periang. Lalu tiba-tiba jadi tertutup. Pemarah. Angkuh. Aku tahu kamu sedih, kehilangan, dan ingin marah entah pada siapa.”
Jemari Ela bergetar.
“Ela, kita dulu bersahabat. Waktu kamu tiba-tiba menghindar, aku juga merasa kehilangan, tahu.”
“Cup-cupcakes i-itu pemberian a-ayahku….” Ela sesenggukan. Dadanya sesak, seperti ada ribuan orang yang tiba-tiba menghantamkan tangan mereka di sana.
Tiba-tiba Roman mengulurkan tangan yang sedari tadi tersembunyi di balik punggung, “Ini cupcake. Happy belated birthday, Ela.”
Sebuah kue dengan krim keju dan sebatang lilin di atasnya diangkat sampai sejajar wajah Ela.
Roman menghela napas. “Apa perlu membuatmu marah hanya untuk bicara denganmu? Apa perlu kuculik seluruh boneka milikmu supaya kamu mencari-cariku?”
Hanya isakan sebagai balasannya.
“Aku merindukanmu, Ela. Ayo tiup lilinnya.”
Ela, namanya. Kepalanya tertunduk dan menahan sesuatu yang terasa seperti biji kastanye menyumbat di leher. Dia ingin berteriak. Dia ingin marah. Tapi yang bisa dia lakukan setelah meniup pucuk lilin di atas cupcake keju itu adalah menangis tersedu-sedu. Badannya lalu menerjang pemuda di depannya, memeluk erat-erat.
“Kamu menyebalkan, tapi ternyata sahabat terbaik yang kupunya.”
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).