Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Empat proses dalam farmakokinetik yang termasuk di dalamnya adalah: absorpsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi (atau eliminasi).
1. Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau pinositosis.
Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka absorpsi juga berkurang.
Obat-obat yang mempunyai dasar protein, seperti insulin dan hormon pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan. Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah).
Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energi untuk menembus membran. Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan konsentrasi.
Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat menembus membran. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran dengan proses menelan.
Membran gastrointestinal terutama terdiri dari lipid (lemak) dan protein, sehingga obat-obat yang larut dalam lemak cepat menembus membran gastrointestinal.
Obat-obat yang larut dalam air membutuhkan karier, baik berupa enzim maupun protein, untuk melalui membran. Partikel-partikel besar menembus membran jika telah menjadi tidak bermuatan (nonionized, tidak bermuatan positif atau negatif). Obat-obat asam lemah, seperti aspirin, menjadi kurang bermuatan di dalam lambung, dan aspirin melewati lambung dengan mudah dan cepat.
Asam hidroklorida merusak beberapa obat, seperti penisilin G; oleh karena itu, untuk penisilin oral diperlukan dalam dosis besar karena sebagian hilang akibat cairan lambung.
INGAT: Obat-obat yang larut dalam lemak dan tidak bermuatan diabsorpsi lebih cepat daripada obat-obat yang larut dalam air dan bermuatan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stres, kelaparan, makanan, dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor, atau penyakit dapat merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stres, dan makanan yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung.
Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal.
Obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat diabsorpsi lebih cepat di otot-otot yang memiliki lebih banyak pembuluh darah, seperti deltoid, daripada otot-otot yang memiliki lebih sedikit pembuluh darah, sehingga absorpsi lebih lambat pada jaringan yang demikian.
BACA JUGA: Pengertian Farmaskologi
Beberapa obat tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik setelah absorpsi tetapi melewati lumen usus masuk ke dalam hati, melalui vena porta.
Di dalam hati, kebanyakan obat dimetabolisasi menjadi bentuk yang tidak aktif untuk diekskresikan, sehingga mengurangi jumlah obat yang aktif. Proses ini, yaitu obat melewati hati terlebih dahulu disebut sebagai efek first-pass, atau first-pass hepatik.
Contoh-contoh obat-obat dengan metabolisme first-pass adalah warfarin (Coumadin) dan morfin. Lidokain dan nitrogliserin tidak diberikan secara oral, karena kedua obat ini mengalami metabolisme first-pass yang luas, sehingga sebagian besar darI dosis yang diberikan akan dihancurkan.
2. Distribusi
Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein.
Ketika obat di distribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan dengan protein (terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Obat-Obat yang lebih besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal sebagai obat-obat yang berikatan tinggi dengan protein.
Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazepam (Valium): yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein clan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein.
Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian obat selebihnya yang tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respons farmakologik.
Dengan menurunnya kadar obat bebas dalam jaringan, maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan dibebaskan dari ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari obat yang dalam bentuk bebas.
Jika ada dua obat yang berikatan tinggi dengan protein diberikan bersama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan ke dalam sirkulasi.
Demikian pula, kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma.
Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase di mana obat itu berikatan dengan protein.
Dengan demikian penting sekali untuk memeriksa persentase pengikatan dengan protein dari semua obat-obat yang diberikan kepada klien untuk menghindari kemungkinan toksisitas obat.
Seorang perawat juga harus memeriksa kadar protein plasma dan albumin plasma klien karena penurunan protein (albumin) plasma akan menurunkan tempat pengikatan dengan protein, sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi.
Selanjutnya tergantung dari obat (obat-obat) yang diberikan, banyaknya obat atau obat-obatan berada dalam sirkulasi dapat mengancam nyawa.
Abses, eksudat, kelenjar dan tumor juga mengganggu distribusi obat. Antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata, dan otot.
3. Metabolisme atau Biotransformasi
Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat di inaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan oleh enzim-enzim hati menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan.
Ada beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif, sehingga menyebabkan peningkatan respons farmakologik. Penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi metabolisms obat.
Waktu paruh, dilambangkan dengan t½, dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi. Metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat. Contohnya, pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan terus menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat.
Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90% obat itu dieliminasi.
Jika seorang klien mendapat 650 mg (miligram) aspirin dan waktu paruhnya adalah 3 jam, maka dibutuhkan 3 jam untuk waktu paruh pertama untuk mengeliminasi 325 mg, dan waktu paruh kedua (atau 6 jam) untuk mengeliminasi 162 mg berikutnya, dan seterusnya, sampai pada waktu paruh keenam (atau 18 jam) di mana tinggal 10 mg aspirin terdapat dalam tubuh.
Waktu paruh selama 4-8 jam dianggap singkat, dan 24 jam atau lebih dianggap panjang. Jika suatu obat memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin, yaitu selama 36 jam), maka diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya.
Waktu paruh obat juga dibicarakan dalam bagian mengenai farmakodinamik, karena proses farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.
4. Ekskresi atau Eliminasi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berikatan, yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal.
Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin.
Faktor lain yang memengaruhi ekskresi obat adalah pH urin, yang bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang bersifat asam akan meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin, suatu asam lemah, dieksresi dengan cepat dalam urin yang basa.
Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang bersifat asam.
Demikian pengertian lengkap dari farmakokinetik, terima kasih.
Referensi:
Suprapti, T., 2016. Praktikum Farmasetika Dasar 148, 148–162.
Nuryati, 2017. Farmakologi. Kementeri. Kesehat. Republik Indones. 148, 148–162.
Stevani, H., 2016. Praktikum Farmakologi. Modul Bahan Ajar Cetak Farm. 171.