Farmakodinamik

farmakodinamik adalah

Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya.

Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder mungkin diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (Benadryl), suatu antihistamin.

Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk.

Bacaan Lainnya

Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang mengendarai mobil, tetapi pada saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan.

Selanjutnya akan diuraikan mengenai parameter kerja obat.

1. Mula, Puncak, dan Lama Kerja

Mula kerja dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC= minimum effective concentration).  Apabila kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai.

Namun demikian, kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas. Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis.

Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa jam atau hari. Kurva respons-waktu menilai tiga parameter dari kerja obat: mula kerja, puncak kerja, dan lama kerja obat.

Empat kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan, penggantian, pencegahan atau membunuh organisme, dan iritasi. Kerja obat yang merangsang akan meningkatkan kecepatan aktivitas sel atau meningkatkan sekresi dari kelenjar.

Obat-obat pengganti, seperti insulin, menggantikan senyawa-senyawa tubuh yang esensial. Obat-obat yang mencegah atau membunuh organisme dapat menghambat pertumbuhan sel bakteria.

Penisilin mengadakan efek bakterisidalnya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Obat-obat juga dapat bekerja melalui mekanisme iritasi. Laksatif dapat mengiritasi dinding kolon bagian dalam, sehingga meningkatkan peristaltik dan defekasi.

Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu, atau bulan. Lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat.

Obat- obat dengan waktu paruh pendek, seperti penisilin G (t½: 2 jam), diberikan beberapa kali sehari; obat-obat dengan waktu paruh panjang, seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari.

Jika sebuah obat dengan waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksisitas obat. Jika terjadi gangguan hati atau ginjal, maka waktu paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi atau seringnya pemberian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.

2. Indeks Terapeutik dan Batasan Terapeutik

Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI), yang perhitungannya akan diuraikan dalam bagian ini, memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan rasio yang mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (ED50) dan dosis letal (mematikan) pada 50% hewan (LD50). Semakin dekat rasio suatu obat kepada angka 1, semakin besar bahaya toksisitasnya.

Obat-obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas keamanan yang sempit. Dosis obat mungkin perlu penyesuaian dan kadar obat dalam plasma (serum) perlu dipantau karena sempitnya jarak keamanan antara dosis efektif dan dosis letal.

Obat-obat dengan indeks terapeutik tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak begitu berbahaya dalam menimbulkan efek toksik. Kadar obat dalam plasma (serum) tidak perlu dimonitor secara rutin bagi obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang tinggi.

Batas terapeutik dari konsentrasi suatu obat dalam plasma harus berada di antara MEC (konsentrasi obat terendah dalam plasma untuk memperoleh kerja obat yang diinginkan), dan efek toksiknya.

Jika batas terapeutik diberikan, maka ini mencakup baik bagian obat yang berikatan dengan protein maupun yang tidak. Buku referensi obat memberikan banyak batas terapeutik obat dalam plasma (serum). Jika batas terapeutik sempit, seperti digoksin, 0,5-2 ng/mL (nano-gram per milimeter), kadar dalam plasma perlu dipantau secara periodic untuk menghindari toksisitas obat. Pemantauan batas terapeutik tidak diperlukan jika obat tidak dianggap sangat toksik.

3. Kadar Puncak dan Terendah

Kadar obat puncak adalah konsentrasi plasma tertingi dari sebuah obat pada waktu tertentu. Jika obat diberikan secara oral, waktu puncaknya mungkin 1 sampai 3 jam setelah pemberian obat, tetapi jika obat diberikan secara intravena, kadar puncaknya mungkin dicapai dalam 10 menit. Sampel darah harus diambil pada waktu puncak yang dianjurkan sesuai dengan rute pemberian.

Kadar terendah adalah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat dan menunjukkan kecepatan eliminasi obat. Kadar terendah diambil beberapa menit sebelum obat diberikan, tanpa memandang apakah diberikan secara oral atau intravena.

BACA JUGA: Pengertian Farmakokinetik

Kadar puncak menunjukkan kecepatan absorpsi suatu obat, dan kadar terendah menunjukkan kecepatan eliminasi suatu obat. Kadar puncak dan terendah diperlukan bagi obat-obat yang memiliki indeks terapeutik yang sempit dan dianggap toksik, seperti aminoglikosida (antibiotika). Jika kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas akan terjadi.

4. Dosis Pembebanan

Jika ingin didapatkan efek obat yang segera, maka dosis awal yang besar, dikenal sebagai dosis pembebanan, dari obat tersebut diberikan untuk mencapai MEC yang cepat dalam plasma. Setelah dosis awal yang besar, maka diberikan dosis sesuai dengan resep per hari.

Digoksin, suatu preparat digitalis, membutuhkan dosis pembebanan pada saat pertama kali diresepkan. Digitalisasi adalah istilah yang dipakai untuk mencapai kadar MEC untuk digoksin dalam plasma dalam waktu yang singkat.

5. Efek Sampling, Reaksi yang Merugikan, dan Efek Toksik

Efek samping adalah efek fisiologis yang tidak berkaitan dengan efek obat yang diinginkan. Semua obat mempunyai efek samping baik yang diinginkan maupun tidak. Bahkan dengan dosis obat yang tepat pun, efek samping dapat terjadi dan dapat diketahui bakal terjadi sebelumnya.

Efek samping terutama diakibatkan oleh kurangnya spesifitas obat tersebut, seperti betanekol (Urecholine). Dalam beberapa masalah kesehatan, efek samping mungkin menjadi diinginkan, seperti Benadryl diberikan sebelum tidur, karena efek sampingnya yang berupa rasa kantuk menjadi menguntungkan. Tetapi pada saat-saat lain, efek samping dapat menjadi reaksi yang merugikan.

Istilah efek samping dan reaksi yang merugikan kadang-kadang dipakai bergantian. Reaksi yang merugikan adalah batas efek yang tidak diinginkan (yang tidak diharapkan dan terjadi pada dosis normal) dari obat-obat yang mengakibatkan efek samping yang ringan sampai berat, termasuk anafilaksis (kolaps kardiovaskular). Reaksi yang merugikan selalu tidak diinginkan.

Efek toksik, atau toksisitas suatu obat dapat diidentifikasi melalui pemantauan batas terapeutik obat tersebut dalam plasma (serum). Tetapi, untuk obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang lebar, batas terapeutik jarang diberikan. Untuk obat-obat gang mempunyai indeks terapeutik sempit, seperti antibiotika aminoglikosida dan antikonvulsi, batas terapeutik dipantau dengan ketat. Jika kadar obat melebihi batas terapeutik, maka efek toksik kemungkinan besar akan terjadi akibat dosis yang berlebih atau penumpukan obat.

6. Uji Klinik Obat

Tahap-tahap uji klinik obat adalah sebagai berikut:

  1. Fase I: pengujian obat untuk pertama kali pada manusia, yang diteliti adalah keamanan obat.
  2. Fase II: pengujian obat untuk pertama kali pada sekelompok kecil penderita, dengan tujuan melihat efek farmakologik. Dapat dilakukan secara komparatif dengan obat sejenis ataupun plasebo. Jumlah responden 100 – 200 orang
  3. Fase III: memastikan obat benar-benar berkhasiat bila dibandingkan dengan plasebo, obat yang sama tetapi dosis beda, dan obat lain dengan indikasi sama. Jumlah responden minimal 500 orang.
  4. Fase IV: Post Marketing Drug Surveillance, dengan tujuan: menentukan pola penggunaan obat di masyarakat, efektivitas dan keamanannya.

Demikian penjelasan lengkap tentang pengertian Farmakodinamik, terima kasih.

Referensi:

Nuryati, 2017. Farmakologi. Kementeri. Kesehat. Republik Indones. 148, 148–162.

Stevani, H., 2016. Praktikum Farmakologi. Modul Bahan Ajar Cetak Farm. 171.

Suprapti, T., 2016. Praktikum Farmasetika Dasar 148, 148–162.

5/5 – (1 vote)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *