Kecoak Tak Berguna?
Oleh: Frida Kurniawati
Ingatan terakhirku adalah si Punshe, Sang Penghukum tingkat pertama yang bertugas mengeksekusi para hukuman di kerajaan kami—Kerajaan Jupiter—menyeretku masuk ke dalam kapsul pelenyap massa. Kapsul itu membuat dirinya bersama benda di dalamnya menjadi nirmassa sehingga dapat melesat dengan kecepatan cahaya. Si Punshe, robot setinggi manusia berkepala godam yang dapat bertransformasi menjadi apa pun yang ada dalam rekaman visual berbentuk kode program di tengkuknya itu mengetikkan sesuatu di penyangga kapsul setelah aku dilemparnya ke dalam.
“Brengsek kau, Robot Dungu! Aku pangeranmu, kau lupa? Aku bisa mencabut kepingan programmu dan kau tak lebih dari seonggok baja biasa! KELUARKAN AKU DARI SINI, KEPARAT!!”
Tentu saja si Punshe tak akan menggubris. Dasar makhluk tak bernyawa! Ia menekan sebuah tombol dan pusaran menelan kesadaranku. Rasanya seperti bertahun-tahun sampai aku merasakan guncangan pusaran kapsul itu akhirnya bergeming dan menghilang. Tinggal aku sendiri yang belum berani membuka mata. Brengsek! Belum pernah Sang Pangeran merasa takut akan apa pun!
Ada sebisik angin melintasi puncak kepalaku. Aneh, ada yang terasa bergoyang di atas sana. Sungut? Kucoba mengangkat tangan untuk meraba, tapi tak ada tangan yang terlambai. Malah, tubuhku—yang anehnya terasa amat ringan—terangkat sedikit, sebelum akhirnya menabrak sebentuk dinding. Brengsek! Aku punya sayap? Berani-beraninya si Punshe mengambil tangan panjang lentik nan indah milikku! Dan menggantinya dengan sayap cokelat kecil ini? Konyol!
“AAAAARRRGGGH!! KECOAK! KECOAK!” jeritan seorang perempuan mengiris telinga. Kurang ajar, tak bisakah kau tidak berteriak di telinga pangeranmu? Dengan kesal, kuayunkan kedua tangan—sayap, keparat—ke arah sosok yang terlihat amat tinggi besar itu. Detik berikutnya, sisi kiri tubuhku terasa nyeri dan pantatku mendarat di atas tempat berair.
“Keparat! Berani-beraninya kau menendangku, Perempuan!” umpatku, sambil kulesatkan tombak berujung sentakkan petir melalui tatapan yang membara. Makhluk yang tadi berteriak itu sedang berdiri di hadapanku, dengan sebuah tongkat kayu berpangkal seikat berkas serabut. Sepertinya umpatanku tak terdengar olehnya. Sial!
Satu perempuan lain berlari mendatangi perempuan pertama. “Mana kecoaknya, Vin?”
“Tuh!” tudingnya padaku memakai ujung benda yang dipegangnya.
Perempuan kedua menumpahkan segelas pandangan jijik sambil mengernyit dan meringis. Keterlaluan! Belum pernah ada perempuan yang menatapku seperti itu! Di Kerajaan Jupiter, semua perempuan selalu memandang kagum dan penuh pujaan pada Sang Pangeran yang rupawan!
Perempuan itu lanjut memukuliku. “Rasakan kau, kecoa busuk!” BUK! Aku meringis. Taring mungilku terasa hampir rontok. Kucoba meronta, tapi perempuan itu dengan erat membekap tubuhku di bawah kepala tongkatnya.
“Dasar binatang jorok! Jelek!” BUK!Serpihan ujung sayapku tercecer di lantai. Sebuah suara “ckckck” membuat perempuan itu menoleh. Secepat keenam kakiku bisa merayap, aku melarikan diri. Sekilas, kulihat seekor cecak putih yang lebih besar dari padaku bertengger di langit-langit sambil berbisik, “Ckckck.”
***
Brengsek, tubuhku serasa rontok! Perempuan sialan! Kutemukan cecak tadi kini sedang bertengger di luar dinding kamar dan mengawasiku yang sedang mencelupkan diri dalam sejuknya kubangan comberan.
“Hei, Cecak, mengapa makhluk-makhluk itu sangat membenciku?”
Tak kusangka, si Cecak menjawabku. “Tentu saja karena kau buruk rupa dan tak berguna, Bodoh!”
“Kaubilang aku buruk rupa, hai Cecak??! Lihat dirimu! Tubuh lembekmu itu tak lebih baik!” Aku terkekeh.
Cecak menyemburkan lidahnya. “Setidaknya aku cukup berguna, Kecoak! Aku membantu manusia dengan memakani nyamuk-nyamuk nakal.”
“Cih! Berguna bagi manusia?” Aku terkekeh lagi. “Kau tentu saja belum pernah melihatku dalam balutan baju zirah pangeran Kerajaan Jupiter. Semua perempuan menatapku sambil meneteskan air liur! Kau tak tahu julukanku? Sang Pangeran Rupawan dari Planet Terbesar di Tata Surya! Kulitku serupa emas cair berkilauan, rambutku ikal bagai ombak kemerahan, dan mataku, Cecak! Para perempuan bangsawan itu bertekuk lutut setiap menatap mata indahku yang berwarna ungu lembayung dan bersinar seperti Sirius!”
Cecak terbahak. Sialan! “Ya, ya, aku memang tidak tahu, Pangeran. Tapi, kau juga tak tahu seperti apa rupamu sekarang, bukan? Cobalah terbang dan melongok ke kaca di dekatku ini.”
Di dekat ekor si Cecak ada sebidang kaca. Dengan penuh rasa ingin tahu bercampur kecemasan, aku merayap ke sana. Kata orang, badai salju dan batu asteroid yang pernah menghancurkan tembok-tembok Kerajaan Jupiter seabad lalu adalah badai yang paling mengerikan yang pernah mereka ketahui. Mereka salah. Saat ini, ada sebuah badai lebih dahsyat sedang melibas seluruh keberadaan diriku di dunia ini. Perlahan, aku membuka mata menghadap kaca yang terpampang angkuh bagai Sang Penghukum yang bengis. Wajah itu pipih, berkulit keras cokelat mengilap. Sepasang sungut bergerigiberdiri dengan jeleknya di atas kepala. Kumiringkan tubuh, dan nyatalah sepasang sayap yang juga cokelat mengilap, dan entah bagaimana terlihat jorok dan hina.
“Jadi kau seorang pangeran?” celetuk Cecak.
Aku terkesiap tanpa menjawab.
“Apa yang membuatmu berubah menjadi kecoak?” lanjut Cecak.
***
Tubuhku melayang-layang dalam kolam berair campur serum awet muda. Dari dinding kolam yang bening, pandanganku menembus ke halaman kerajaan, tempat Turnamen Kecantikan berlangsung. Para gadis dari seluruh penjuru kerajaan mengikuti kompetisi untuk menentukan siapa yang tercantik. Pemenangnya akan mendapatkan kesempatan menjadi selir pangeran dan menghangatkan ranjangnya selama beberapa malam. Setiap tahun, turnamen ini selalu diadakan selama Sang Pangeran belum menduduki tahta menggantikan ayahnya. Banyak gadis buruk rupa yang tersingkir dalam seleksi pra-turnamen. Banyak juga dari mereka yang berakhir bunuh diri karena merasa sangat buruk.
Turnamen mencapai final. Sembari memandangi pantulan wajah tampanku di gelas kristal berisi anggur, kupandangi satu persatu gadis yang memamerkan keelokan tubuhnya. Tak ada yang secantik Belezia, saudari kembarku. Kulesatkan lirikanku pada Belezia yang duduk di sebelah kiri ibu, dua kursi berjarak dari kursiku sendiri. Melihatnya seperti melihat wajahku sendiri, kecuali rambut sepinggangnya yang bergelombang dan berwarna emas juga.
Gadis-gadis itu semua terlihat sama. Tak ada yang menarik. Mendadak aku muak, dan kuhabiskan bergelas-gelas anggur hingga aku setengah mabuk. Ketika acara selesai tanpa pemenang, diiringi suara-suara keluhan kecewa para gadis, dengan terhuyung-huyung aku berjalan menuju ruang Belezia. Saudari kembarku itu sudah kembali lebih dulu ke ruangnya. Tak ada jawaban. Kubuka pintunya, yang ternyata tak terkunci. Aku berjalan mencarinya. Kutemukan sosoknya sedang berganti pakaian membelakangiku. Tubuhnya begitu ramping dan elok, aku tak bisa berpikir. Kusambar pinggangnya dari belakang, yang disambut pekikan tertahan. Kutarik kepalanya mendekat dan kucicip rasa bibirnya. Kurasakan tubuh telanjangnya meronta di dalam dekapanku, tapi itu hanya sebentar. Saat berikutnya, tak hanya dia, tapi aku juga yang telanjang.
“Kejadian itu, entah bagaimana, sampai ke telinga ayahku. Tak pernah beliau semurka itu padaku sebelumnya. Segera, ia memerintahkan Sang Penghukum untuk menghukumku,” kuakhiri ceritaku pada si Cecak.
***
Seorang perempuan lain berjalan mendekat, lalu berjongkok di depanku. Di tangannya ada sesuatu. Otomatis, kugerakkan sayapku untuk menghindari serangannya.
“Hei, Kecoak, jangan takut. Kemarilah,” panggilnya, sambil melambai padaku, yang balas memandangnya dari balik batang pohon. Ia mengulurkan tangannya yang memegang sesuatu itu, yang ternyata adalah kamera.
“Kemarilah, aku ingin memotretmu. Kau tahu? Aku seorang fotografer. Foto-foto binatang adalah spesialisasiku. Kau adalah kecoak paling sempurna untuk fotoku kali ini. Kemarilah,” ujarnya lagi.
Heran memenuhi kepala pipihku. Ada manusia yang tak membenciku? Berarti si Cecak salah. Aku bukan makhluk tak berguna. Aku merayap mendekati gadis itu, yang langsung mengangkat kameranya dan memotret diriku. Aku mencoba terbang, dan ia memotretku lagi saat aku mengepakkan sayap. Hei, aku merasa hebat!
Setelah gadis itu pergi, si Cecak datang kembali.
“Sebenarnya, begitu ada manusia yang tidak membencimu, dan kau tahu bahwa kau berguna untuknya, saat itulah kau bisa kembali menjadi pangeran.”
Aku terkesiap. “Karmaku telah berakhir?” tanyaku penuh semangat.
“Iya. Tapi aku menangkap sinyal-sinyal keangkuhanmu yang belum berakhir.”
“Jadi, apa yang harus kulakukan?”
Baru kali ini kudengar si Cecak mendesis. Ketika berbicara, suaranya berubah seolah gelegar petir. “Kau harus mengembalikan tahta pangeranmu padaku.”
Cecak itu mendesis lagi, dan melompat menerkamnya. Samar-samar kecoak ingat. Bertahun-tahun lalu, ia punya seorang kakak laki-laki yang juga dihukum oleh Sang Penghukum.
***
Catatan: Cerpen yang ditulis selama tiga jam ini adalah karya terbaik pada sesi menulis cerpen di #KampusFiksi12.