Hari Jenuh Karya Asmira Fhea

Hari Jenuh Karya Asmira Fhea

HARI JENUH

Oleh: Asmira Fhea

“Kayaknya, Ramadhan ini, hm…, kita perlu break deh.”

Bacaan Lainnya

“Kita? Maksudnya?”

Sinta menarik napas dalam-dalam, sebelum mengembuskannya pelan. Matanya menatap Satria—lelaki yang nyaris dua tahun berada di sisinya, yang kerap kali bertukar ucapan cinta dengannya—tepat di manik mata. Lelaki itu kini menunggu jawabannya. Dan yang perlu ia lakukan adalah berusaha mengutarakan apa yang selama ini mungkin perlu dibicarakan.

Batinnya melirih, maaf kalau aku harus memutuskan ini, Sayang.

***

Siapa pun yang melihatnya sekarang, dan membandingkan apa yang ia bicarakan tempo hari, pasti menggerutu tanpa ampun. Ya, karena apa yang ia lakukan sekarang sangat bertolak belakang dengan apa yang menjadi keputusan kemarin.

“Ya, kita perlu break.”

“Kenapa?”

Sinta menatap Satria ragu-ragu. “Kamu sadar nggak, akhir-akhir ini kita jadi beda? Kita sibuk satu sama lain. Percakapan kita juga nggak seasyik dulu. Dan aku merasa, mungkin kita berdua sama-sama sedang jenuh. Mungkin sebaiknya…, kita perlu waktu buat mengembalikan semuanya.”

Saat itu, ia bisa melihat dari mata Satria; bentuk pertanyaan, sekaligus bentuk pencarian jawaban, sebelum berujung pada anggukan kepala.

Ini merupakan Ramadhan kedua ia resmi menjadi kekasih Satria, dan hari ini merupakan hari ketiga berpuasa.Ya, paling tidak, ia masih bisa menyebut dirinya sebagai kekasih, meskipun kemarin ia menjelaskan definisi dari katabreak; menghilangkan sementara komunikasi dalam bentuk apa pun—baik dalam pertemuan nyata, maupun pertemuan maya. Mungkin inilah jalan yang tepat jika dua orang yang awalnya saling jatuh cinta berada dalam titik jenuh; ia tidak lagi merasa menggebu-gebu ketika mendapat nama Satria muncul di layar ponselnya, tidak lagi antusias menunggu dan membalas chat-nya, dan ia merasa Satria juga begitu. Karena lelakinya terlihat hanya membalas pesan-pesannya dengan kalimat yang seadanya. Begitu mereka bertemu, baik ia dan Satria sama-sama lebih banyak diam belakangan—seakan isi pikiran lebih baik dibuat sibuk, daripada hubungan mereka sendiri. Ia juga kerap merasakan topik yang mereka bicarakan menjadi terasa garing dan terkesan terlalu dipaksakan untuk diteruskan.

Jangan bertanya apa alasannya dan kapan mulanya mereka menjadi seperti itu, karena ia sendiri tak tahu jawaban pastinya. It’s naturally happened. Dan Satria memahami permintaannya, sehingga mereka berdua sama-sama sepakat.

Sinta menyayangi Satria—she really does. Sekali lagi, mungkin hanya ini caranya untuk menyelamatkan hubungan mereka, meskipun ia sendiri tidak tahu bagaimana ujungnya. Memutuskan untuk berjarak selama satu bulan setelah sekian lama bersama ternyata bukan perkara mudah. Seperti sekarang ini, ia, dibawa oleh alam bawah sadarnya, berulang kali refleks memeriksa ponsel, berharap nama Satria muncul—meskipun berulang kali juga kesadarannya mengingatkan bahwa mereka sudah menentukan kapan waktu finish kesepakatan ini. Dan waktu itu bukan sekarang.

Ia melenguh. Mungkin ini rindu. Dan rindu adalah perkara seseorang sedang sulit-sulitnya menahan kenangan yang menyesakkan kepala, bukan?

***

Sin, lo ikut bukber nggak, nih? Gue tunggu kepastiannya ya. A.s.a.p.

Ia berulang kali membaca kalimat itu. Pesan dari Liza, sahabatnya di bangku SMA yang merupakan panitia bukber angkatan di SMA-nya tahun ini. SMA yang sama dengan Satria. Ia tahu, Satria pasti akan datang. Satria punya banyak sahabat dekat saat SMA dan tentu saja lelaki itu tidak ingin melewatkan acara ini. Hal yang sama sebenarnya juga berlaku padanya. Dan kini ia bingung untuk memutuskan.

Kini, ia berada pada titik dimana kadar rindu yang tidak sebanyak perasaan datar tak terdefinisikan. Bertemu lagi dengan Satria di waktu yang lebih dini dari kesepakatan juga kedengarannya tidak menarik. Ia memang tidak bisa menahan diri agar jarinya berhenti memeriksa ponsel, berulang-ulang melihat foto Satria di foto profil WhatsApp, padahal tak ada chat masuk dari lelaki itu untuknya. Tapi ia juga sadar, sekalipun ada, keadaan mungkin belum berubah.

Keyakinan itu tumbuh dari kesimpulan kecil; jika jarak yang mereka buat terputus dalam waktu yang belum terbilang lama, maka belum bisa memantik perasaan rinduyang besar untuk bertemu.

Tapi kalau ia memang enggan bertemu Satria sekarang, itu juga berarti ia tidak datang ke acara reuni. Tidak bertemu teman-temannya. Dan itu kedengarannya lebih membuat iri apalagi kalau mereka sampai heboh di media sosial.

“Ta, kamu nggak ke mana-mana kan hari ini?” Sekonyong-konyong ibunya membuka pintu kamar dan menyembulkan kepala, sebelum melontarkan pertanyaan tadi. “Tolong bantuin Mama bungkus makanan buat orang masjid, dong.”

“Tapi, Ma—”

“Kenapa? Kamu ada bukber lagi? Ramadhan baru lewat setengah bulan, tapi jadwal pergi-pergimu lebih padat. Sekali-kali lah bantu Mama di sini.”

Ia memberengut. Ibunya memang benar, bulan Ramadhan ini ia disibukkan oleh beberapa kegiatan amal di berbagai tempat. Itu salah satu cara agar rasa jenuhnya berkurang, dan diganti oleh pikiran yang lebih fresh jika bertemu Satria nanti.

Tapi sekarang, ia tidak bisa menolak permintaan ibunya, bukan?

Sorry, Liz. Gue absen dulu. Salam buat yang lain, ya.

***

Gema takbir berkumandang. Besok hari raya datang. Dan tahu? Memorinya terlempar di tahun lalu; ketika ia menghabiskan malam takbiran bersama teman-temannya—yang juga teman Satria. Tentu saja ketika itu, Satria juga di sana merayakan malam kemenangan bersama.

Kedua ujung bibirnya terangkat begitu fokusnya terbentuk di satu titik; senyum Satria. Ketika lelaki itu menabuh gendang dengan suka cita, mengumandangkan takbir bersama teman-temannya, lalu menghampirinya dengan wajah yang dihiasi banyak peluh dengan seringai lebar, saat ia dan teman-teman perempuan yang lain sibuk di dapur menyiapkan makanan untuk esok.

“Di luar rame, Cinta. Banyak kembang api. Mau ikut aku keliling nggak?”

Ya, Satria menyebutnya Cinta sebagai panggilan khusus. Terdengar terlalu kanak-kanak, bukan? Sama seperti ajakannya saat itu.

Tapi Sinta tahu, ia tidak kuasa untuk tidak ikut tersenyum dan menolak.

Ah, Satria, lelaki itu ternyata bisa memantik rindu juga, di saat mereka sedang jenuh-jenuhnya.

Apalagi ketika kemarin saat Sinta melihat galeri Instagram dari berbagai akun temannya yang mengunggah foto bukber sekaligus reuni SMA kemarin. Benar, Satria di sana. Lengkap dengan senyum yang tengah ia rindukan sekarang menghadap kamera.

“Lo, sih, nggak dateng, Ta. Satria habis, kemarin!” lapor Liza saat mereka chat via WhatsApp.

“Kenapa emang dia?”

“Dikerjain anak-anak karena datang sendirian. Hahaha! Sedangkan sahabat-sahabat gilanya itu ternyata kebetulan bawa gandengan semua.”

Sinta tertawa. Tahun lalu, ia justru yang sering diajak Satria untuk datang ke berbagai acara bukber untuk menemani lelaki itu. Begitu juga sebaliknya.

Tapi tenang, mulai sekarang ia bisa menghitung mundur jarum jam untuk bertemu Satria, meskipun rindu yang kini ia rasa membuat pikirannya jadi uring-uringan.

***

“Ta…, ini, Satria datang, nih.”

Matanya terbelalak. Ia buru-buru mengenakan pashmina menutup kepala dan berderap menghampiri pintu depan rumah.

“Assalamu’alaikum, Tante, Om. Selamat hari raya, ya. Maaf lahir dan batin.” Ia mendapati Satria menyalami tangan kedua orang tuanya, sebelum pandangan lelaki itu beralih kepadanya. “Halo, Ta,” sapanya—lengkap dengan senyum yang ia rindukan.

“Hai,” balasnya. “Selamat Idul Fitri, ya. Maaf lahir dan batin.” Astaga, untuk mengucap kata sesederhana itu saja, jantungnya tak habis-habisnya menggedor dada. Kalau begini caranya, lama-lama ia bisa lupa caranya bernapas normal.

“Satria diajak masuk dong, Ta,” tegur ayahnya. “Ayo masuk, Sat. MamanyaSinta bikin gulai yang kamu suka itu lho.”

Satria menyeringai lebar. Sinta mengangguk dan mempersilakan lelaki itu duduk di ruang tamu.

Rasanya…, ada banyak cerita yang ingin disampaikan begitu melihat lelaki itu. Ada banyak pertanyaan yang hinggap di kepala tentang kabarnya belakangan. Lebih baik, mulai dari mana?

“Jadi…, gimana kabar kamu?”

Astaga, mereka jadi serempak berucap! Sinta tertawa, sementara Satria tergelak dengan kastengel yang memenuhi mulutnya.

“Baik. Kamu?”

Satria mengedikkan bahu. “Yah, as you can see.”

Lalu, mereka saling bertukar cerita tentang apa yang terjadi belakangan. Sinta senang Satria tidak berubah. Lelaki itu masih bersikap terbuka—sebuah komitmen awal yang mereka sepakati bersama ketika mulai menjalani hubungan—seperti biasa.

Hingga sampai pada suatu cerita, dan sebuah nama yang disebutkan.

Ia sangat mengenal Satria. Nalurinya hafal gerak-gerik lelaki itu sampai pada mimik wajah. Ia tahu kapan Satria sedang menyembunyikan sesuatu, berbohong, meskipun lelaki itu akan bercerita alasannya pada ujungnya.

Sinta juga yakin, baik ia dan Satria adalah tipikal pasangan yang tidak hanya bisa mengungkapkan cinta, tapi juga bisa mengungkapkan ketika salah satu dari mereka tidak lagi merasakan cinta. Tapi, untuk saat ini, ia tidak membutuhkan pengakuan secara langsung. Cukup dengan mengamati Satria di hadapannya, ia sudah bisa menyimpulkan semuanya.

Dan tak ada yang bisa dicegah dari sebuah hubungan, jika hati salah seorangnya tak lagi menetap di sana, bukan?

/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).

5/5 – (2 votes)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *