Untuk selanjutkan akan kamu ikuti bagaimana sejarah bidan di Indonesia beserta perkembangan pelayanannya. Seperti pelayanan bidan di berbagai belahan dunia ini, pada awalnya bidan hanya mempersiapkan ibu hamil agar dapat melahirkan secara alamiah, membantu ibu dalam masa persalinan dan merawat bayi, demikian pula yang terjadi di Indonesia.
Namun karena letak geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, banyak daerah yang sulit dijangkau oleh tenaga medis dan banyaknya kasus resiko tinggi yang tidak dapat ditangani terutama di daerah yang jauh daripelayanan kesehatan.
Hal-hal inilah yang mendorong diberikannya wewenang kepada bidan untuk melaksanakan tindakan kegawat daruratan pada kasus-kasus dengan penyulit terbatas, misalnya manual placenta, forsep kepala letak rendah, infus dan pengobatan sederhana.
Kewenangan bidan untuk saat ini diatur dalam Permenkes No.1464/Menkes/PER/2010, namun sebelumnya kita lanjutkan dulu mengikuti perkembangan pelayanan bidan.
Bagaimana? Apakah Kamu masih tertarik mengikuti uraian berikut? Mari kita ikuti sejarah perkembangan pelayanan bidan selanjutnya.
Perkembangan Bidan di Indonesia
Bidan di Indonesia diizinkan membuka praktek mandiri, seiring dengan perkembangan kesehatan masyarakat. Pelayanan dan fungsi bidan diperluas seiring dengan kebijakan pemerintah mengenai pelayanan kesehatan yang berorientasi pada masyarakat.
Pelayanan bidan juga diarahkan kepada individu, keluarga dan masyarakat. Selanjutnya pada tahun 1952 diperkenalkan pelayanan kesehatan ibu dan anak di Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA).
Pada tahun 1960 program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi program layanan bidan di seluruh Puskesmas. Selanjutnya pelayanan Keluarga Berencana dikembangkan secara Nasional pada tahun 1974 dan bidan diizinkan memberikan layanan Keluarga Berencana (KB) dengan metode sederhana, metode hormonal (KB pil, suntik, Implan) dan IUD (Intra Uterine Device).
Pada tahun1990 perkembangan KIA mengarah pada keselamatan keluarga dan pelayanan bidan berkaitan dengan peningkatan peran wanita dalam mewujudkan kesehatan keluarga.
Pada sidang kabinet tahun 1992 presiden Suharto mengemukakan perlunya dididik bidan untuk menjadi bidan desa.
Adapun tugas pokok bidan desa adalah pelaksana layanan KIA, khususnya layanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir termasuk pembinaan dukun bayi, KB, pembinaan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu dan mengembangkan pondok bersalin.
Nah, sobat seklain sekalian, di atas sudah disampaikan perkembangan pelayanan bidan yang melakukan praktek mandiri, bidan yang bekerja di puskesmas dan bidan desa, selanjutnya kita pelajari bidan yang bekerja di rumah sakit!
Pelayanan bidan di rumah sakit berorientasi pada pelayanan kesehatan individu berupa pelayanan klinik antenatal, gangguan reproduksi, senam hamil, pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas dan ruang perinatal.
Pada tahun 1994 dengan adanya ICPD, pelayanan bidan di Indonesia juga terpengaruh yaitu pelayanan bidan lebih menekankan pada kesehatan reproduksi dan memperluas area pelayanan bidan yang meliputi Safemotherhood (Program penyelamatan selama masa reproduksi), Family Planning (Keluarga Berencana), Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk infeksi saluran reproduksi, kesehatan reproduksi remaja dan kesehatan reproduksi lanjut usia (lansia).
Saat ini dengan adanya Millenium Development Goals (MDG’s) pelayanan kebidanan lebih difokuskan untuk mencapaiMDG’s pada tahun 2015 terutama pencapaian tujuan nomor 4 yaitu penurunan angka kematian anak dan nomor 7 yaitu peningkatan derajat kesehatan ibu.
Untuk melengkapi pengetahuan kamu tentang perkembangan pelayanan Bidan, Kamu perlu mengetahui produk peraturan-peraturan pemerintah yang mengatur tentang tugas, fungsi dan wewenang bidan.
Permenkes Tentang Tugas, Fungsi dan Wewenag Bidan
Berikut ini adalah Peraturan-peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang mengatur tentang tugas, fungsi dan wewenang bidan:
1. Permenkes No.5380/IX/1963
Wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal secara mandiri dan didampingi oleh tugas lain.
2. Permenkes No.363/IX/1980 diubah menjadi Permenkes 623/1989
Pembagian wewenang bidan menjadi wewenang umum dan khusus. Dalam wewenang khusus bidan melaksanakan tugas dibawah pengawasan dokter.
3. Permenkes No.572/VI/1996
Mengatur registrasi dan praktek bidan. Bidan dalam melaksanakan prakteknya diberi kewenangan yang mandiri yaitu mencakup: KIA, KB dan kesehatan masyarakat.
4. Kepmenkes No.900/VII/2002
Tentang registrasi dan praktek bidan, penyempurnaan dari Permenkes 572/VI/1996 sehubungan dengan berlakunya UU no 32 tahun 1999 tentang otonomi daerah.
5. Permenkes No.1464/Menkes/PER/2010
Tentang izin dan penyelenggaraan praktek bidan yang merupakan penyempurnaan dari Permenkes No. HK.02.02/Menkes/149/I/2010.\
Pada saat ini pelayanan bidan di Indonesia mengacu pada Permenkes No.1464/Menkes/PER/2010 pasal 9 yaitu, Bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak, dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Dalam melaksanakan tugas, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi, dan rujukan sesuai kondisi pasien. Selanjutnya Kamu akan mempelajari pasang surutnya pendidikan bidan di Indonesia. Mari kita ikuti uraian selanjutnya!
Bersamaan dengan dikembangkannya pendidikan dokter Indonesia pertama (Dokter Jawa), maka pada tahun 1851 Dr. Willem Bosch, seorang dokter militer Belkamu membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia.
Akan tetapi pendidikan ini hanya berlangsung singkat dan ditutup dua tahun kemudian, karena kurangnya calon/ peminat. Tetapi pada tahun 1891 diadakan perisapan untuk dibuka kembali dan baru pada tahun 1902 dilaksanakan lagi pendidikan bidan untuk wanita pribumi.
Tahun 1904 dibuka pendidikan bidan untuk wanita turunan belkamu-Indo di salah satu rumah sakit swasta di Makassar.Bidan yang lulus harus mau ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak atau kurang mampu secara cuma-cuma.
Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 gulden per bulan (tahun 1922).
Tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Calon diterima dari HIS (SD 7 tahun) dengan pendidikan keperawatan 4 tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria.
Dalam tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat meneruskan ke pendidikan kebidanan selama 2 tahun. Untuk perawat pria dapat meneruskan pendidikan keperawatan lanjutan selama 2 tahun jiga.
Pada tahun 1935/1938 pemerintah Belkamu mulai mendidik bidan lulusan Mulo (SMP bagian B), dan hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain di RS Bersalin Budi kemuliaan, RSB Padang Dua di Jakarta dan RSB Mardi Waluyo Semarang.
Pada tahun yang bersamaan dikeluarkan sebuah peraturan yang membedakan lulusan bidan dengan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikan Mulo dan kebidanan 3 tahun disebut bidan kelas satu (Vroedvrouw cerste Klas) dan Bidan dari lulusan perawat (mantri) disebut bidan kelas dua (vroedvrouw tweede klas).
Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada jaman penjajahan Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat ataupun sekolah bidan dengan nama dan dasar yang berbeda dan persyaratan sama dengan zaman penjajahan Belkamu.
Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain yang semacam ini.Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batar usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan 3 tahun.
Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut penjenang kesehatan E atau pembantu bidan yang dilanjutkan sampai dengan tahun 1976 dan setelah itu ditutup.
Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP plus 2 tahun kebidanan dasar. Banyak dari PK/E kemudian melanjutkan ke pendidikan bidan (2 tahun). Tahun 1953 dibuka kursus tambahan bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7-12 minggu, pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta.
Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan terutama bidan di BKIA.
Pada tahun 1967 KTB ditutup (discontinued).Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan bersamaan dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung.
Pada awalnya pendidikan ini berlangsung satu tahun, kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun.
Pada awal tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi sekolah guru perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.
Pada tahun 1970 dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari sekolah pengatur rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut SPLJK (Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata di semua propinsi.
Pada tahun 1974 mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen Kesehatan melaksanakan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan nonsarjana.
Sekolah bidan ditutup dan dibuka sekolah perawat kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga multipurpose di lapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal.
Namun karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil.Pada tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) di dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan, dibuka pendidikan diploma I kesehatan ibu dan anak.
Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua institusi.Pada tahun 1975-1984 tidak ada pendidikan bidan.
Kemudian pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan (PPB) yang menerima lulusan SPR dan SPK. Pada saat itu dibutuhkan bidan yang memiliki kewenangan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana di masyarakat.
Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.Perjalanan pendidikan bidan di Indonesia dapat dikatakan tragis bila dikaitkan dengan perkembangan satu profesi di lingkungan kesehatan, terutama dengan ditutupnya pendidikan bidan selama kurun waktu 9 tahun (1975-1984).
Namun kondisi ini tidak merubah citra bidan di masyarakat, dimana bidan masih menempati posisi kedua dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak disamping dokter Obsgyn.
Bidan tetap diharapkan keberadaannya oleh keluarga khususnya kaum wanita atau para ibu, selama mereka membutuhkannya dalam kaitan dengan kesehatan reproduksi dan terutama keinginan mereka menjadi seorang ibu dari anak-anaknya yang sehat sejahtera.
Oleh karena itu pada tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional yang memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai program pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa, dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menurunkan angka kematian ibu dan anak. Untuk itu pemerintah secara politis menempatkan seorang bidan di tiap desa.
Setelah tahun 1996 bidan desa merupakan bidan PTT (Pegawai Tidak Tetap) dan kontrak 3 tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat diperpanjang 2 kali 3 tahun lagi.Penempatan bidan di desa ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah.
Bidan di desa harus dipersiapkan sebaikbaiknya tidak hanya kemampuan profesionalnya sebagai bidan tetapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak.
Program pendidikan bidan (A) diselenggarakan dengan peserta didik cukup besar. Diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah memiliki minimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyatannya juga tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan seperti yang diharapkan sebagai seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun waktu satu tahun akademik, mengakibatkan kesempatan peserta didik untuk praktik klinik kebidanan sangat kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki sebagai seorang bidan juga kurang.
Pada tahun 1993 dibuka program pendidikan bidan program B, yang peserta didiknya dari lulusan Akademi perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar bidan pada program pendidikan bidan A.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan dari lulusan ini tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu hanya 1 tahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama 2 angkatan (1995-1996), kemudian ditutup.
Pada tahun 1993 ini juga dihadapi masalah dimana jumlah lulusan SPK tidak cukup memenuhi jumlah kebutuhan bidan di desa, antara lain Irian Jaya (sekarang Papua) dan Kalimantan Tengah.
Untuk mengatasi masalah tersebut, dibuat program cepat pendidikan bidan yang disebut Program Pendidikan Bidan C (PPB/C) dengan latar belakang pendidikan SMP ditambah pendidikan bidan selama tiga tahun yang kemudian diselenggarakan di sebelas propinsi dan hanya untuk kebutuhan yang sangat mendesak. Program ini hanya berlangsung sampai tahun 1997 terkecuali di Irian Jaya dan Kalimantan Tengah.
Untuk memenuhi tuntutan profesionalisme, pada tahun 1996 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 4118 tahun 1987 dan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 009/U/1996 dibuka program D-III Kebidanan dengan Institusi Akademi Kebidanan (AKBID) di enam propinsi dengan menerima calon peserta didik dari SMA.
Pada tahun 2001 tercatat ada 65 institusi yang menyelenggarakan pendidikan Diploma III Kebidanan di seluruh Indonesia.Pada bulan Agustus tahun 2007 tercatat jumlah Institusi Pendidikan D-III Kebidanan sudah mencapai 338 yang dikelola oleh swasta dan 45 Poltekkes yang dikelola oleh pemerintah (Depkes).
Sebetulnya pada tahun 1964 RS St.Carolus sudah mulai melaksanakan pendidikan bidan dari lulusan SMA, lamanya 3,5 tahun, tetapi pendidikan ini tidak berlangsung lama
Dengan jumlah institusi yang cukup besar tersebut dihadapi berbagai masalah antara lain jumlah guru bidan yang terbatas.
Oleh karena itu, pada tahun 2000 dibuka program Diploma IV Bidan Pendidik yang diselenggarakan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pendidikan ini lamanya 2 semester (1 tahun) dan telah menghasilkan 60 orang guru bidan pada bulan Maret 2001. Program pendidikan D-IV kini berjumlah 9 institusi dan kemungkinan besar jumlah ini akan bertambah lagi.
Sobat Poltekkes, ternyata jenjang pendidikan bidan tidak hanya berhenti pada jenjang D-IV, pada saat ini terdapat jenjang pendidikan bidan S1 di beberapa universitas yaitu Universitas Airlangga (UNAIR) dan Universitas Brawijaya (UNBRAW) dengan peserta didik berasal dari sekolah menengah atas (jalur direct entery) maupun jalur transfer yaitu peserta didik berasal dari lulusan D-III.
Bahkan saat ini Universitas Padjajaran (UNPAD) sudah menyelenggarakan sampai ke jenjang S2 dengan peserta didik berasal dari lulusan D-IV dan lulusannya diberikan gelar Magister Kebidanan.
Satu hal lagi yang patut dicatat sejarah pendidikan bidan di Indonesia adalah lahirnya Asosiasi Institusi Pendidikan Kebidananan Indonesia (AIPKIND) yang dideklarasikan di Jakarta pada tahun 2008.
Nah, apakah yang dapat Kamu simpulkan dari uraian mengenai sejarah bidan di Indonesia ditinjau dari perkembangan pelayanan dan pendidikan bidan di Indonesia? Apakah pemerintah dan masyarakat Indonesia semakin menyadari pentingnya peran seorang bidan? Apakah pendidikan bidan yang ada sekarang ini sudah dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kualiifikasi seorang bidan yang kompeten?