Satu Mimpi Lagi
Oleh: Pia Devina
Tema : 12.000 KM
(cerita tentang jarak; traveling, LDR, mengejar cita-cita ke tempat yang jauh, dll).
Genre : Romance
____________________________________________________________________
Agustus …
“Aku akan merindukannya,” Paige Seton berkata dengan suara tertahan. “Kau tahu, Henley-on-Todd ini. Festival yang mempermalukan diri sendiri seperti ini.”
Andrew Furber, lelaki berusia dua puluh satu tahun, yang selama satu tahun terakhir ini terpaksa harus duduk di atas kursi roda, tersenyum lebar hingga mempertontonkan deretan gigi-giginya yang putih. “Kau hanya akan pergi ke Vancouver, Kanada, bukan untuk mati bunuh diri,” dia lantas tertawa semakin lebar, membuat titik-titik merah di pipinya juga semakin terlihat—setelah sebelumnya sinar matahari yang terik berhasil menyengat kulit putih pucatnya.
Andrew tersenyum lucu—hal yang malah, membuat ekspresi wajah Paige terlihat masam.
“Tapi di sana tidak ada dasar sungai yang kering seperti di Alice Springs ini,” dia menunjuk ke bagian tengah sungai yang sama sekali tidak berair—hanya pasir cokelat yang kini dijejaki puluhan pasang kaki yang sedang mengikuti Henley-on-Todd, sebuah acara lomba balap perahu layar; balapan yang sesungguhnya menggunakan kaki, karena para peserta tidak lain melakukan lomba lari dan hanya menggunakan properti buatan, seakan mereka sedang berada di atas perahu layar, lengkap dengan berbagai kostum yang mereka kenakan. Dan, bukan hanya peserta saja yang menggunakan kostum. Banyak dari penonton yang juga mengenakan kostum unik—Andrew memakai pakaian ala kapten bajak laut, sedangkan Paige mengenakan pakaian ala prajurit perang abad 18.
“Jangan bercanda, Paige,” Andrew menyela. Dia melepaskan topi bajak laut hitamnya, lalu meletakkannya di atas kedua kaki, dan mendongak menatap Paige yang berdiri di sampingnya. “Begini. Aku akan bertanya sekali lagi kepadamu.”
Paige menggulung asal rambut pirang sepunggungnya, menatap ke arah kerumunan orang-orang yang sedang berteriak saat para peserta hampir mencapai garis akhir. “Paling pertanyaan yang sama. Aku bosan mendengarnya.”
Andrew mengangkat alis, “Tapi kau tidak pernah benar-benar memberikan jawabanmu,” sahutnya. Dia mengulurkan tangan kanannya hingga meraih pinggiran kaus Paige yang gombrong—membuat perempuan itu mau tidak mau jadi menghadap ke arah Andrew.
Lalu, Paige hanya bisa pasrah saat Andrew mendongak memandangi wajahnya, seakan lelaki itu bisa membaca semua pikiran yang ada di kepalanya.
“Kau lebih memilih untuk tinggal di sini, di Darwin ini, di Australia, dengan Henley-on-Todd yang tidak ingin kau tinggalkan ini… atau… kau ingin mengejar mimpimu, ke Vancouver sana, lebih dari dua belas ribu kilometer dari sini, untuk menjadi seorang prima ballerina seperti yang selama ini menjadi tujuan hidupmu?”
“Kau bercanda,” Paige melotot, “darimana kau tahu kalau jarak dari sini ke Vancouver itu sejauh lebih dari dua belas ribu kilometer?” Pertanyaan yang sesungguhnya Paige ajukan untuk mengubah topik pembicaraan.
“12.213 kilometer, itu tepatnya,” Andrew mengedipkan mata, lalu meraih kedua tangan Paige dan menggenggamnya erat. “Pergilah, Paige. Kejarlah mimpimu. Aku akan menunggumu di sini. Percaya padaku. Aku akan baik-baik saja.”
Seketika, mata Paige yang beriris seperti zamrud, terasa memanas. Dia ingin menangis. Tapi dia tahu, pilihannya sekarang adalah tersenyum.
Tersenyum untuk Andrew.
Andrew yang kehilangan fungsi kedua kakinya… ketika dia tengah berbagi tawa bersama Paige.
***
Desember, satu tahun berikutnya…
Paige memutar tubuhnya dengan anggun, mengikuti irama musik yang mengalun di seantero The Centre in Vancouver yang berkapasitas lebih dari seribu delapan ratus penonton.
Live orchestra yang mengiringi gerakan tariannya—dimulai dari gerakan Allégro, Derrière, hingga Sauté—ikut menjadi nyawa dari teknik pointe work[1] yang sedang dipersembahkan oleh Paige.
“Lihat aku, Andrew…” dia besuara di dalam hati, berharap semua komponen udara yang ada di gedung pertunjukan ini bisa menyampaikan pesannya untuk Andrew yang ada di bumi bagian selatan sana.
“Lihat aku… aku telah meraih mimpiku. Apakah aku sudah mirip dengan Alexandra Danilova, balerina idolaku? Berjanjilah. Berjanjilah. Kau akan menungguku, Andrew. Kita telah kehilangan satu mimpi kita. Izinkan aku memegang satu mimpi yang tersisa… demi kita.”
***
April, satu setengah tahun sebelum Paige menjejak Vancouver…
“Apa mimpimu?”
“Jelas, menjadi pemain bisbol profesional!” Andrew berkata lantang sambil mengangkat tangannya yang masih memegang pemukul bisbol ke udara.
Melihat apa yang dilakukan oleh Andrew, Paige langsung tersenyum senang. “Bagus! Kau harus sungguh-sungguh menjadi pemain bisbol nasional!”
“Kau pikir kenapa selama ini aku mati-matian bertahan menjadi pemain bisbol unggulan di tim universitas kita—Charles Darwin University—ini kalau bukan karena aku ingin mendapatkan kesempatan untuk menjadi pemain nasional?” Andrew yang baru menyelesaikan permainan bisbolnya melawan salah satu universitas dari Australia bagian selatan, mengangkat bahunya dengan angkuh, lalu mendelik ke arah tim lawan yang ada di seberang lapangan sana.
Paige semakin terkekeh saat menyaksikan arogansi yang dibuat-buat oleh Andrew. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus mengajakku ke Bass in the Grass[2] bulan depan, bila kau berhasil lolos seleksi pemain nasional yang diadakan dua minggu lagi.”
“Apakah syaratmu itu tidak terlalu mudah, Paige?” Andrew menyipitkan sebelah mata, lalu mengambil botol air mineral yang sebelumnya dipegang oleh Paige.
Paige duduk bertopang dagu di pinggir lapangan, tersenyum-senyum menghabiskan sisa siang ini bersama Andrew…
Sebelum beberapa jam kemudian…
…Andrew dan Paige mengalami kecelakaan ketika mobil yang dikendarai Andrew tiba-tiba oleng, hingga menabrak pembatas di jalan bebas hambatan.
Namun, mimpi buruk tidak berhenti di sana. Karena kecelakaan bersama Paige itu, Andrew harus kehilangan fungsi kakinya. Dia harus merelakan mimpinya pergi. Tidak ada lagi Andrew Furber yang bisa menjadi seorang pemain bisbol nasional.
Lalu…
…demi Andrew… Paige ingin mengejar mimpinya menjadi balerina. Dengan begitu, setidaknya masih ada satu mimpi milik mereka berdua yang masih bisa dipertahankan.
____________________________________________________________________
[1] Teknik berjinjit sampai ujung jari kaki, sambil melakukan gerakan balet; dilakukan dengan memakai point shoes—sepatu khusus yang berujung keras.
[2] Festival musik paling besar di Teritorial Utara, di Amfiteater Darwin; dilaksanakan pada bulan Mei.
/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).