Red Carpet (Sebaris Senyum Untuk Malaikat Salju) Karya Elisa S

Red Carpet (Sebaris Senyum Untuk Malaikat Salju) Karya Elisa S

Red Carpet (Sebaris Senyum Untuk Malaikat Salju)

Oleh: Elisa S

Anak kecil dengan baju dekil dan kumuh muncul di hadapan Jhoni. Dengan bola matanya yang berwarna biru terang, anak lelaki berumur delapan tahun itu menoleh ke arahnya. Sekilas, sorot mata yang ditemuinya itu seakan membuat jiwa Jhoni melayang meninggalkan raga.

Bacaan Lainnya

Sungguh, ia sangat mengenal tatapan itu…

***

Belum juga dirinya turun dari Limousine yang membawanya, teriakan nama “Jhoni” sudah memenuhi organ yang terdiri dari tulang rawan di kepalanya. Saat mobilnya berhenti hingga dirinya menampakan satu kaki kanan dari pintu yang dibuka oleh orang berjas putih, teriakan nama dirinya terdengar semakin memekakan telinga. Blitz dan bunyi jepretan kamera menjadi musik pengiring teriakan-teriakan itu.

Sesungguhnya Jhoni muak. Tetapi hal pertama yang dilakukan olehnya saat menginjakkan kedua kaki di bumi adalah menggerakan saraf-saraf facialis-nya agar merentang lebar. Menghasilkan senyum maut yang membuat teriakan di sekitarnya semakin merangkak hingga level maksimal.

Jhoni melangkahkan kaki lebar, selebar senyum yang menghias paras eloknya. Dengan balutan jas dan celana dari designer yang mengkhususkan diri membuat baju hanya untuk dirinya, G-dragon, Katty Pery, dan Rihana ini, membuat Jhoni tidak perlu lagi mengkhawatirkan apa pun soal penampilannya.

Tidak ada yang tahu bahwa di seiring langkah kakinya, ada bayang-bayang anak kecil yang bermata biru. Anak kecil yang tidak bisa tersenyum.

***

Bocah itu bukannya tidak mau tersenyum. Ia hanya lupa, bagaimana caranya? Maka dengan ekspresi kosong, ia memandangi toko besar yang menjulang di hadapannya. Sinar kekuningan di dalam ruang itu, terlihat hangat dari balik kaca lebar yang membentang. Menjadi jarak antara dunianya, dan sebuah surga yang tidak akan bisa bocah itu kecap.

Bocah itu melirik gelas karton yang berada di tangan kanannya. Masih kosong. Berteman salju malam ini yang sedang mengigiti tulang belulangnya semakin membuat tubuh si bocah menggigil.

Sungguh, udara di puncak musim ini semakin membuat lebar luka di dadanya. Menggirus memori akan senyum dan kebahagiaan dari kepala bocah berumur delapan tahun itu. Membuatnya makin tidak mengerti bagaimana senyum manusia-manusia beda kasta itu. Orang-orang yang berada dalam ruang hangat berteman secangkir wine dengan harga setahun dirinya mengumpulkan uang dari para penderma.

Sesungguhnya itu membuatnya muak. Hingga akhirnya meski hanya dalam mimpi, ia tidak akan tersenyum selebar itu.

Dengan langkah kecil yang gontai, ia pun meninggalkan toko dan mencari tempat di pinggir jalan Newbury. Mengais rejeki dari rasa iba pengguna jalan. Bergabung dengan para veteran perang yang terbengkalai dan puluhan ribu tuna wisma yang terkena dampak bencana cuaca super dingin di wilayah Boston.

Ah, malam ini ia tidak perlu senyuman. Tidak perlu tersenyum. Ia hanya memerlukan uang untuk menyambung napas hingga esok hari.

***

“Berhenti makan, Jhoni!” Sebuah teriakan kembali terdengar. Teriakan yang sedari tadi berusaha ia abaikan. “Berhenti menjadi gila karena hal tidak penting!”

Jhoni mendengus. “Hal kecil?!” Ia menggeram dalam hati dengan gemas. Mereka tidak mengerti hal apa yang penting dan tidak baginya.

Gerakan tangan Jhoni terhenti ketika sebuah surat kabar melayang ke hadapannya. Menutupi aneka makanan dan membuat surat kabar itu basah di beberapa bagian.

“Baca itu, dan camkan baik-baik!” teriak pria di hadapannya yang tidak lain adalah si penguasa Mega Entertaiment, sebuah agensi tempatnya bernaung. CEO Yang Dong Joon.

Jhoni merasa terhina dan sakit hati, tapi tangannya pilih bergerak meletakan sendok dan mengambil surat kabar malang itu. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak teriakan.

Di hadapannya, sebuah berita tentang dirinya menjadi headline. Lima buah artikel mengerikan terpampang di sana disertai foto-foto dirinya yang menghiasi hampir seluruh halaman. Konyolnya, yang diungkap di majalah adalah hal-hal remeh yang sebenarnya sangat tidak penting. Misalnya: saat dirinya terlihat begitu gemuk di panggung hingga menampilkan dua dagu yang hanya muncul sepintas, foto dirinya sedang berekspresi murka di hadapan staff dan penggemar yang tertunduk, dan aneka hal tidak penting lainnya. Herannya, hal seperti ini justru sangat disukai fans ataupun hatters. Setelah itu, akan muncul fanwar di mana-mana.

Ah, sungguh muak!

“Ingat, kau harus diet mulai detik ini! Jika itu tidak berhasil, kita akan terpaksa menggunakan tindakan medis!” CEO-nya berteriak lagi, sebelum ia beranjak meninggalkan Jhoni.

Jhoni tepekur sejenak. Membayangkan International Award beserta Red Carpet di Boston yang merepotkan, satu minggu lagi dari sekarang. Satu hal yang Jhoni tahu, ia harus tampil sempurna di sana, bagaimanapun caranya.

***

“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” Suara lembut dari gadis kecil yang muncul tiba-tiba membuat bocah kecil itu sedikit kaget.

Ia menatap gadis berkepang dua dengan pipi kemerahan yang seperti malaikat salju dengan heran.

Apakah ia datang dari langit?

Dilihatnya, si gadis kecil memakai terusan wol berwarna merah yang kontras dengan suasana putih di sekitar mereka. Ia terlihat hangat.

“Matamu bagus,” kata gadis itu lagi. “Apa kau juga bisa menyanyi untukku?”

Dan sejak saat itu, si bocah kecil mulai menemukan cara baru menghasilkan uang lebih banyak selain dengan minta-minta. Ia menggerakan laringnya untuk terus menghasilkan nada sepanjang siang dan malam di pinggir jalan Newbury.

***

Jhoni menatap anak itu dengan seksama di hari pertama kedatangannya ke Boston. Mata biru, baju dekil, dan sebuah gelas karton membuatnya sesak. Hingga detik ini, ia bahkan masih melakukan hal yang sama dengan anak kecil berumur delapan tahun itu.

Ya, pada akhirnya mereka sama. Memeras laring demi menghasilkan uang.

Sambil menatap sekeliling, Jhoni pilih bergerak menghampiri tiang lampu bercat hitam yang berada di ujung jalan dekat toko kue. Ya, ini tempatnya bertemu seorang gadis kecil yang memintanya menyanyi karena terpesona pada mata biru Jhoni.

Gadis yang menjadikan dirinya terus bernyanyi dengan harapan: melihat gadis itu datang kembali.

Sayang, yang datang pada Jhoni bukan lagi gadis berkepang dua dengan wajah kemerahan. Yang muncul di hadapannya justru malaikat pengubah takdir bernama Yang Dong Joon. Seorang malaikat yang memboyongnya ke negeri gingseng dan menjadikannya seorang artis besar dengan nama Jhoni Woo. Artis Korea yang berasal dari Amerika yang tanpa identitas, tanpa keluarga.

Dirinya memang harus berterima kasih pada CEO Yang, Jhoni tahu. Maka dari itu, ia melakukan hal terbaik dari hidupnya. Ia melakukan segala hal yang bisa membuat CEO Yang dan agensinya bertambah jaya. Ia jelas tahu bahwa harus balas budi pada malaikat keduanya, yang mengentaskan Jhoni dari dunia jalanan. Membesarkannya, dan menjadikan dirinya sebagai trainee di Mega Entertaiment yang menjadi impian hampir seluruh pemuda Korea, bahkan dunia. Membuat Jhoni bisa menikmati ruangan dengan cahaya kuning yang hangat beserta secangkir wine.

Dan kini, ia bahkan bisa terus tersenyum. Sebuah gerakan yang pernah tak berani ia impikan saat umurnya masih delapan tahun dulu. Sayang, senyum itu telah berubah.

Ini bukan senyum yang sama seperti senyum kepada malaikat salju itu.

Maka hari ini, ia hanya ingin tersenyum sekali. Senyum yang benar-benar ia impikan. Kalau ia tidak tersenyum kali ini, kapan lagi?

Jhoni memilih untuk tidak peduli berita esok hari, tidak peduli sekeliling, tidak peduli kemarahan CEO Yang.

Kali ini saja, ia ingin kembali menunggu gadis bergaun wol merah. Dan saat itu, ia akan tersenyum lagi. Senyum yang sangat bahagia.

***

/// Cerita pendek atau cerpen ini adalah karya terbaik dari anak-anak KF (Kampus Fiksi).

5/5 – (4 votes)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *