Soal Ikhtisar Buku Nonfiksi – Halo adik-adik, kali ini mimin dinas.id akan memberikan rekomendasi kumpulan contoh soal-soal Bahasa Indonesia kelas 10, X KD 3.9 SMA untuk UAS, UTS semester genap, ganjil, gasal. Tentunya, sesuai kisi-kisi pertanyaan tentang ikhtisar buku nonfiksi.
Rangkuman Materi Ikhtisar Buku Nonfiksi
Untuk memudahkan mengerjakan latihan, silahkan pahami ringkasan materi di bawah ini:
Ikhtisar adalah sebuah penyajian singkat dari sebuah karangan asli tidak perlu memberikan seluruh isi dari karangan asli secara proporsional.
Ciri- ciri Ikhtisar
- Tidak mempertahankan urutan gagasan
- Bebas mengominasikan sebuah kata-katadengan syarat tidak menyimpang dari inti
- Tujuannya untuk mengambil inti.
Fungsi ikhisar
- Unuk mengembangkan ekspresi serta penghematan kata
- Menemukan serta mengetahui isi seluruh buku atau karangan
- Membimbing serta menuntun seseorang agar dapat memahami inti dari suatu isi
Langkah-langkah menulis ikhtisar
- Mengenali identitas buku
- Cermati isi dalam setiap paragraf
- Menyusun kerangka tulisannya
- Memeriksa tulisan aslinya
Latihan Soal
Oke, bacalah petunjuk di bawah ini sebelum menjawab soal!
Cermati informasi buku nonfiksi!
Tulisan Saya Jelek
Kepercayaan diri penting dimiliki bagi siapa saja yang ingin menulis. Dengan memiliki kepercayaan diri, berbagai tantangan menulis pasti akan dihadapi. Dan ia sukses. Namun, lain hal dengan orang yang tak mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Karena tidak PD dengan diri maupun tulisannya sendiri, ia pun menghakimi tulisannya dengan berkata: tulisan saya jelek.
Tentu ini sebuah kebiasaan buruk. Sebab, sejelek apa pun suatu, karya, ia tetap harus dihargai. Bukankah demikian kata orang bijak? Baik atau buruk sebuah tulisan tolok ukurnya apa? Problemnya, kita acap mengambil kesimpulan yang kadang terburuburu dalam menilai tulisan.
Misalnya, ada kebiasaan buruk yang orang tanpa sadar melakukan, yakni membandingkan tulisannya dengan tulisan orang lain sekelas tokoh nasional, misal dengan tulisan Gus Dur (alm.), Amien Rais, Rosihan Anwar (alm.) dan atau dengan yang lain. Atau, ia membandingkan tulisannya dengan tulisan yang kerap dimuat di media nasional.
Bagi, saya, tindakan ini tak salah, tapi cukup rentan berbahaya, apalagi jika dilakukan penulis pemula yang bermental labil. Ia membandingkan tulisannya dengan tulisan para tokoh dan atau membandingkan dengan tulisan yang telah dimuat di Kompas misalnya, tentu kualitas tulisannya jauh lebih rendah dibanding dengan tulisan para penulis hebat tersebut.
Secara logika, jika perbandingan itu dilakukan tentu tak berimbang. Masa tulisannya dibandingbandingkan dengan tulisan para tokoh yang dalam proses kreatif menulis jauh lebih dulu ia berproses dibanding dengan penulis pemula yang baru kemarin sore menulis. Hasilnya, sudah dapat ditebak, tulisan orang lain lebih baik dan tulisan kita sendiri jelek. Maka, saran saya hindari kebiasaan ini.
Akan tetapi, jika kebiasaan membanding-bandingkan tulisan sendiri dengan tulisan orang lain dalam kerangka proses belajar menulis yang konstruktif (membangun), tak jadi masalah. Tapi, dengan catatan, kita meski berjiwa besar, bersikap terbuka (inklusif), jangan anti-kritik, jangan takut salah, apalagi bersikap psimistis, bila ditemukan tulisan Anda lebih baik dari tulisan orang lain.
Parahnya lagi jika kita beranggapan bahwa tulisan Anda tidak bakal terbit di media. Tidak dapat dipungkiri, perasaan takut tulisannya tak dimuat media kerap kali muncul dalam diri penulis. Apalagi, jika ingin tulisannya diterbitkan di koran, jurnal ilmiah, jurnal internasional, yang dipenuhi dengan persaingan ketat antar-penulis. Jika ada orang yang berpikir seperti ini, bagai pepatah layu sebelum berkembang. Sementara, dalam istilah militer mati sebelum berperang. Kasihan sekali. Buang saja ke laut meminjam istilah politisi “nyentrik” Ruhut Sitompul.
Sebetulnya, untuk menghindar dari tudingan itu, saran saya segeralah menjauh dari pelbagai asumsi bahwa tulisan Anda tak bakal terbit. Yang penting Anda lakukan adalah terus menulis, jangan kapok apabila tulisan Anda tak dimuat, jangan takut dengan penulis lain. Dan jangan berhenti menulis di separuh jalanketika Anda sedang menulis.
Sebab banyak orang gagal dan atau menghindar dari aktivitas menulis karena ia takut dan bahkan tak punya kepercayaan diri bahwa ia akan sanggup menyelesaikan sebuah tulisan, bahkan hanya untuk menuntaskan artikel yang panjangnya hanya 5000 karakter. Orang tipe seperti ini , biasanya memiliki pengalaman yang kurang baik dalam menulis.
Ketika ia coba menulis, ia gagal menuntaskan tulisan akibat malas atau kekurangan ide. Parahnya lagi, ada pula orang yang berpikir tak dapat membuat tulisan utuh hanya karena ia pernah mendengar dari orang yang salah yang mengatakan menulis itu sukar. Padahal ia belum pernah praktik menulis. Parah betul bukan? Ibaratnya ia minum air padahal isinya racun. Seperti itulah gambaran tipe orang seperti ini.
Lantas, bagaimana mengatasi situasi ini? Awalnya, hilangkan pikiran bahwa tulisan Anda jelek, tulisan tak bisa diterbitkan media dan jauhi asumsi bahwa Anda tak dapat menyelesaikan sebuah tulisan. Dan ketika Anda menulis, tiba-tiba ide mandeg dan Anda bingung untuk melanjutkan tulisannya, sebaiknya tulisan tersebut diendapkan saja lebih dulu dan Anda melakukan aktivitas lain sembari Anda tetap berpikir dengan tulisan Anda tadi.
Percayalah ide segar itu kembali akan datang dan Anda bisa menuntaskan tulisan hebat Anda. Coba saja!
Yupz, inilah dalih-dalih orang menghindar untuk menulis. Tentu, di lapangan masih banyak lagi alasan orang belum atau tidak menulis. Alasan orang belum menulis yang saya sampaikan di atas hanya bagiankecil dari beribu-ribu alasan seseorang menepis diri tak menulis.
So, dalih belum menulis harus dihilangkan, jika ingin dapat menulis. Caranya? Menurut Feby dalam tulisannya “Dalih”, dalih dapat dilawan dengan kita berdalih pula. Alasan orang belum menulis sebagaimana yang saya tulis di atas merupakan dalih negatif yang dapat dikalahkan dengan dalih positif. Begitu kata Feby.
Cermati informasi buku nonfiksi 2!
Pertalian Minat Baca, Harga Buku, dan Daya Beli
Lebih dulu mana, ayam atau telur? Pertanyaan metaforis itu bakal muncul ketika kita mencoba menghubungkan minat baca, harga buku, dan daya beli. Pada pembaca bukuberlaku demikian: minat baca tinggi tak serta-merta membuat daya beli tinggi. Dalih klisenya harga buku mahal. Mendapat sangkaan itu, penerbit pun berkelit. Bagaimana mungkin harga buku bisa murah, daya beli terhadap buku saja rendah. Buku yang dicetak belum tentu ludes dalam setahun.
Belum lagi harga kertas yang terus naik dan pengenaan pajak buku. Penerbit terpaksa mencetak buku dalam jumlah yang tidak efisien. Karena tidak efisien, harga pokok produksi pun menjadi tinggi.
Menariknya, ketika buku tertentu laris sehingga biaya produksinya ringan, harga jual buku tidak menjadi murah, atau minimal lebih rendah dibandingkan dengan harga bukucetakan pertama. Harga buku hasil proses produksi yang sangat eiisien tersebut masih sama dengan harga buku hasil produksi yang tidak efisien. Satu amsal menggiring kita pada simpulan sementara bahwa tidak ada jaminan setelah harga buku betul-betul dapat ditekan lantas daya beli meningkat.
Dalam kenyataannya, daya beli tidak sematamata dipengaruhi oleh faktor harga-meskipun sering dijadikan kedok. Terbukti, beberapa buku yang harganya tergolong mahal bisa terjual ratusan ribu eksemplar dan terus diburu orang. ”
Lantas, pertanyaannya adalah, apa yang harus dilakukan un’ tuk mengurai benang kusut pola hubungan antara minat baca, harga buku, dan daya beli itu?
Tulisan ini tidak berpretensi menjelaskan dan menjawab pertanyaan di atas. Sekadar beriur interupsi kecil: ternyata buku, yang dinilai sebagai produk budaya, lebih sering hanya menjadi tempelan, belum benar-benar terintegrasi ke dalam budaya. Akibat yang paling kentara adalah sulitnya menyusun formulasi yang cespleng antara minat baca, harga buku, dan daya beli.
Belum lagi, tantangan dan tentangan yang ditimbulkan oleh melejitnya perkembangan audio (radio) dan visual (televisi) mengakibatkan terjadinya loncatan budaya. Dari kelisanan primer (primary orality), saat belum ada kemampuan baca-tulis, ke kelisanan sekunder (secondary orality), ketika kemampuan baca-tulis tidak begitu dibutuhkan karena sumber informasi lebih bersifat audiovisual (Kleden, 1999). Goenawan Mohamad menyebutnya dari visual wayang langsung ke visual film.
Simpulan bahwa di Indonesia, buku masih digunakan sebagai tempelan dapat ditelusuri dari asumsi berikut: selama ini, secara umum, buku sering dipahami sebagai tanda tahap perkembangan keterbukaan dan modernisasi suatu bangsa. Citra yang terbentuk dari orang yang karib dengan buku adalah terpelajar, tercerahkan, mempunyai empati yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang steril buku.
Empati adalah kemampuan untuk merasakan berada dalam posisi orang lain. Kemampuan itu bisa saja dimiliki karena buku merupakan hasil kreasi yang sifatnya personal. Pengalaman orang lain atau komunitas dilipat, kemudian dihidangkan kepada pembaca dalam bentuk lembaran-lembaran kertas. Buku menjadi sarana orang mengasah dan memunculkan empati. Pendeknya, buku dan kemajuan berada dalam satu pola hubungan searah. Pada titik itu buku menjadi variabel independen (sebab).
Jika ini yang kita pahami, bentuk kebijakan yang harus ditempuh mencapai tingkat kemajuan minat baca dan bangsa yang lebih tinggi adalah dengan mendorong para pengarang, penulis, dan penerjemah untuk menyiapkan banyak naskah yang berkualitas. Pada saat yang sama, penerbit-penerbit buku harus didirikan. Pemerintah pun harus mengeluarkan kebijakan yang friendly pada industri perbukuan, misalnya melalui penghapusan pajak penulis dan penerbit sehingga harga buku lebih terjangkau. Secara otomatis, minat baca masyarakat akan meningkat.
Betulkah begitu? Mungkinkah yang terjadi justru sebaliknya? Lantaran orang terpelajar, tercerahkan, sadar akan pentingnya informasi dan pengetahuan, terdidik, lantas ia menjadi suka baca buku-sumber informasi dan pengetahuan.
Dengan demikian, aktivitas membaca buku bersifat variabel dependen (akibat). Jadi, jika ingin masyarakat kita gemar membaca (dan menulis), yang harus diperbaiki adalah soal-soal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan-baik sarana maupun kurikulumnya-bukan pada harga buku, karena pertimbangan membeli buku sudah tidak lagi pada harganya, tetapi kebutuhan.
Kurikulum pendidikan diarahkan pada kecintaan membaca buku dan mendaras bacaan sehingga di tiap tes guru bisa mengecek kemajuan bacaan peserta didik, menyangkut bacaan wajib (required reading), bacaan yang dianjurkan (recommended reading), serta bacaan yang menyangkut pengetahuan umum (general knowledge).
Buku, baik sebagai variabel independen maupun dependen, sejatinya menyimpan kebenarannya masing-masing. Artinya, salah satu atau keduanya dapat menjadi pintu masuk guna mengurai pola jalin minat baca, harga buku, dan daya beli yang ruwet itu. Tak terkecuali pamrih mencerdaskan bangsa.
Namun, yang terjadi di negeri kita sebaliknya. Bukan salah satu, melainkan kedua pintu itu sama sekali tidak dimasuki. Buku dan pendidikan sama-sama dinilai sebagai entitas yang semata-mata berdimensi ekonomi dan politik. Tidak ada sangkut pautnya dengan budaya.
Berdasarkan kedua informasi buku nonfiksi tersebut, isilah tabel berikut sesuai dengan yang telah dicontohkan pada kegiatan pembelajaran 1!
Kunci Jawaban dan Pembahasan
Demikian prediksi contoh soal dan jawaban UTS, UAS modul Bahasa Indonesia Kelas 10, X SMA, dipelajari yah. Merdeka Belajar!