Efek Utama Obat

efek utama obat

Efek utama obat atau yang biasa disebut dengan efek terapi adalah efek yang diharapkan dari suatu obat. Misalnya paracetamol dengan dosis 500 mg dapat menurunkan panas tubuh orang dewasa atau pada dosis yang lebih kecil untuk anak-anak.

Glibenklamid memberikan efek terapi menurunkan kadar gula pada penderita diabetes. Satu obat bisa memiliki beberapa khasiat/ efek terapi. Misalnya parasetamol disamping menurunkan panas badan, juga berefek meredakan rasa nyeri seperti sakit kepala atau gigi.

Amlodipin bisa digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi dan angina. Efek obat disebut juga dengan mula kerja, yaitu dimulainya kerja obat pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC= minimum effective concentration).

Bacaan Lainnya

Apabila kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai.

Namun demikian, kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas. Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis.

Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa jam atau hari.

Kurva respons-waktu menilai tiga parameter dari kerja obat: mula kerja, puncak kerja, dan lama kerja obat.

1. Teori Reseptor

Kebanyakan reseptor, berstruktur protein, ditemukan pada membran sel. Obat-obat yang bekerja melalui reseptor, yaitu berikatan dengan reseptor, maka akan menghasilkan (memulai) respon atau menghambat (mencegah) respon.

Aktivitas dari kebanyakan obat ditentukan oleh kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor spesifik.

Semakin baik suatu obat berikatan dengan tempat reseptor, maka obat tersebut semakin aktif secara biologis. Ini serupa dengan memasukkan kunci yang tepat ke dalam lubang kunci. Obat-Obat yang menghasilkan respons disebut agonis, dan obat-obat yang menghambat respons disebut antagonis.

Isopreterenol (Isuprel) merangsang reseptor beta 1, dan karena itu disebut sebagai agonis. Simetidin (Tagamet), suatu antagonis menghambat reseptor H2, sehingga mencegah sekresi asam lambung yang berlebihan.

Hampir semua obat, agonis dan antagonis, kurang mempunyai efek spesifik dan selektif. Sebuah reseptor yang terdapat di tempat-tempat yang berbeda dalam tubuh menghasilkan bermacam-macam respons fisiologis, tergantung di mana reseptor itu berada.

Reseptor-reseptor kolinergik terdapat di kandung kemih, jantung, pembuluh darah, paru-paru dan mata. Sebuah obat yang merangsang atau menghambat reseptor-reseptor kolinergik akan bekerja pada semua letak anatomis.

Obat-Obat yang bekerja pada berbagai tempat seperti itu dianggap sebagai nonspesifik atau memiliki nonspesifitas.

Betanekol (Urecholine) dapat diresepkan untuk retensi urin pascabedah untuk meningkatkan kontraksi kandung kemih.

Karena betanekol mempengaruhi reseptor kolinergik, maka tempat kolinergik lain ikut terpengaruh; denyut jantung menurun, tekanan darah menurun, sekresi asam lambung meningkat, bronkiolus menyempit, dan pupil mata mengecil.

Efek-efek lain ini mungkin diinginkan mungkin juga tidak, dan mungkin berbahaya atau mungkin juga tidak berbahaya bagi pasien. Obat-obat yang menimbulkan berbagai respons di seluruh tubuh ini memiliki respons yang nonspesifik.

Obat-obat juga dapat bekerja pada reseptor-reseptor yang berbeda. Obat-obat yang mempengaruhi berbagai reseptor disebut nonselektif atau memiliki sifat non-selektifitas.

Klorpromazin (Thorazine) bekerja pada reseptor-reseptor norepinefrin, dopamin, asetilkolin, dan histamin, dan berbagai respons dihasilkan dari tempat-tempat reseptor itu.

Salah satu contoh lain adalah epinefrin yang bekerja pada reseptor-reseptor alfa, beta-1, dan beta-2.

Obat-obat yang menghasilkan respons tetapi tidak bekerja pada reseptor dapat berfungsi dengan merangsang aktivitas enzim atau produksi hormon.

Empat kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan, penggantian, pencegahan atau membunuh organisme, dan iritasi. Kerja obat yang merangsang akan meningkatkan kecepatan aktivitas sel atau meningkatkan sekresi dari kelenjar.

Obat-obat pengganti, seperti insulin, menggantikan senyawa-senyawa tubuh yang esensial. Obat-obat yang mencegah atau membunuh organisme dapat menghambat pertumbuhan sel bakteria.

Penisilin mengadakan efek bakterisidalnya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Obat-obat juga dapat bekerja melalui mekanisme iritasi.

Laksatif dapat mengiritasi dinding kolon bagian dalam, sehingga meningkatkan peristaltik dan defekasi. Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu, atau bulan.

Lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat. Obat- obat dengan waktu paruh pendek, seperti penisilin G (t ½: 2 jam), diberikan beberapa kali sehari; obat-obat dengan waktu paruh panjang, seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari.

Jika sebuah obat dengan waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksisitas obat.

Jika terjadi gangguan hati atau ginjal, maka waktu paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi atau seringnya pemberian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.

2. Indeks Terapeutik dan Batasan Terapeutik

Keamanan obat merupakan hal yang utama. Indeks terapeutik (TI), yang perhitungannya akan diuraikan dalam bagian ini, memperkirakan batas keamanan sebuah obat dengan menggunakan rasio yang mengukur dosis terapeutik efektif pada 50% hewan (ED50) dan dosis letal (mematikan) pada 50% hewan (LD50). Semakin dekat rasio suatu obat kepada angka 1, semakin besar bahaya toksisitasnya.

Obat-obat dengan indeks terapeutik rendah mempunyai batas keamanan yang sempit. Dosis obat mungkin perlu penyesuaian dan kadar obat dalam plasma (serum) perlu dipantau karena sempitnya jarak keamanan antara dosis efektif dan dosis !etal.

Obat-obat dengan indeks terapeutik tinggi mempunyai batas keamanan yang lebar dan tidak begitu berbahaya dalam menimbulkan efek toksik. Kadar obat dalam plasma (serum) tidak perlu dimonitor secara rutin bagi obat-obat yang mempunyai indeks terapeutik yang tinggi.

Batas terapeutik dari konsentrasi suatu obat dalam plasma harus berada di antara MEC (konsentrasi obat terendah dalam plasma untuk memperoleh kerja obat yang diinginkan), dan efek toksiknya.

Jika batas terapeutik diberikan, maka ini mencakup baik bagian obat yang berikatan dengan protein maupun yang tidak.

Buku referensi obat memberikan banyak batas terapeutik obat dalam plasma (serum). Jika batas terapeutik sempit, seperti digoksin, 0,5-2 ng/mL (nano-gram per milimeter), kadar dalam plasma perlu dipantau secara periodik untuk menghindari toksisitas obat.

Pemantauan batas terapeutik tidak diperlukan jika obat tidak dianggap sangat toksik.

3. Kadar Puncak dan Terendah

Kadar obat puncak adalah konsentrasi plasma tertingi dari sebuah obat pada waktu tertentu. Jika obat diberikan secara oral, waktu puncaknya mungkin 1 sampai 3 jam setelah pemberian obat, tetapi jika obat diberikan secara intravena, kadar puncaknya mungkin dicapai dalam 10 menit.

Sampel darah harus diambil pada waktu puncak yang dianjurkan sesuai dengan rute pemberian. Kadar terendah adalah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat dan menunjukkan kecepatan eliminasi obat. Kadar terendah diambil beberapa menit sebelum obat diberikan, tanpa memandang apakah diberikan secara oral atau intravena.

Kadar puncak menunjukkan kecepatan absorpsi suatu obat, dan kadar terendah menunjukkan kecepatan eliminasi suatu obat.

Kadar puncak dan terendah diperlukan bagi obat-obat yang memiliki indeks terapeutik yang sempit dan dianggap toksik, seperti aminoglikosida (antibiotika). Jika kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas akan terjadi.

4. Dosis Pembebanan

Jika ingin didapatkan efek obat yang segera, maka dosis awal yang besar, dikenal sebagai dosis pembebanan, dari obat tersebut diberikan untuk mencapai MEC yang cepat dalam plasma.

Setelah dosis awal yang besar, maka diberikan dosis sesuai dengan resep per hari. Digoksin, suatu preparat digitalis, membutuhkan dosis pembebanan pada saat pertama kali diresepkan.

Digitalisasi adalah istilah yang dipakai untuk mencapai kadar MEC untuk digoksin dalam plasma dalam waktu yang singkat.

BACA JUGA: Pemberian Obat Parenteral

Demikian penjelasan terkait efek utama obat, semoga bisa menjawab pertanyaan sobat!

Penutup

Efek obat di sebut juga dengan mula kerja, yaitu dimulainya kerja obat pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC=minimum effective concentration).

Apabila kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai. Namun demikian, kadar obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas).

Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu, atau bulan. Lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat.

Obat- obat dengan waktu paruh pendek, seperti penisilin G (t ½: 2 jam), diberikan beberapa kali sehari; obat-obat dengan waktu paruh panjang, seperti digoksin (36 jam), diberikan sekali sehari.

Jika sebuah obat dengan waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan obat di dalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksisitas obat. Jika terjadi gangguan hati atau ginjal, maka waktu paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi atau seringnya pemberian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.

5/5 – (1 vote)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *