Pemberian Obat Oral

rute pemberian obat oral

Rute oral adalah salah satu cara pemakaian atau pemberian obat oral melalui mulut dan akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Rute oral bertujuan untuk terapi dan memberikan efek sistemik yang dikehendaki.

Yuk, simak penjelasan lengkap pemberian obat oral, cekidot!

Pengertian Rute Oral

Rute oral adalah cara mengkonsumsi obat yang dinilai paling mudah dan menyenangkan, murah serta umumnya paling aman.

Bacaan Lainnya

Kekurangan dari rute pemberian obat secara oral adalah bioavailibilitasnya banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, iritasi pada saluran cerna, perlu kerjasama dengan penderita (tidak dapat diberikan pada penderita koma), timbul efek lambat, tidak bermanfaat untuk pasien yang sering muntah, diare, tidak sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif rasa tidak enak penggunaannya terbatas, obat yang inaktif/terurai oleh cairan lambung/ usus tidak bermanfaat (penisilin G, insulin), absorpsi obat tidak teratur.

Bentuk sediaan obat oral, antara lain, tablet, kapsul, obat hisap, sirup dan tetesan.

Rute pemberian obat dalam tubuh

Cara Pemberian Obat Oral

Salah satu cara pemberian obat oral yaitu melalui sub lingual dan bukkal, yang merupakan cara pemberiannya ditaruh dibawah lidah dan pipi bagian dalam.

1. Obat Sublingual

Obat dapat diberikan pada pasien secara sublingual yaitu dengan cara meletakkan obat di bawah lidah. Dengan cara ini, aksi kerja obat lebih cepat yaitu setelah hancur di bawah lidah maka obat segera mengalami absorbsi ke dalam pembuluh darah.

Cara ini juga mudah dilakukan dan pasien tidak mengalami kesakitan. Pasien diberitahu untuk tidak menelan obat karena bila ditelan, obat menjadi tidak aktif oleh adanya proses kimiawi dengan cairan lambung.

Untuk mencegah obat tidak di telan, maka pasien diberitahu untuk membiarkan obat tetap di bawah lidah sampai obat menjadi hancur dan terserap.

Obat yang sering diberikan dengan cara ini adalah nitrogliserin yaitu obat vasodilator yang mempunyai efek vasodilatasi pembuluh darah. Obat ini banyak diberikan pada pada pasien yang mengalami nyeri dada akibat angina pectoris.

Dengan cara sublingual, obat bereaksi dalam satu menit dan pasien dapat merasakan efeknya dalam waktu tiga menit.

Tujuannya adalah agar efek yang ditimbulkan bisa lebih cepat karena pembuluh darah dibawah lidah merupakan pusat dari sakit.

Misal pada kasus pasien jantung. Obat yang diberikan dibawah lidah tidak boleh ditelan.

Kelebihan dari obat sublingual adalah: obat cepat, tidak diperlukan kemampuan menelan, kerusakan obat di saluran cerna dan metabolisme di dinding usus dan hati dapat dihindari (tidak lewat vena porta).

Namun kekurangan dari obat sublingual adalah: absorbsi tidak adekuat, kepatuhan pasien kurang (compliance), mencegah pasien menelan, dan kurang praktis untuk digunakan terus menerus dan dapat merangsang selaput lendir mulut.

BACA: Prinsip Dasar Pemberian Obat

2. Obat Bukal

Dalam pemberian obat secara bucal, obat diletakkan antara gigi dengan selaput lendir pada pipi bagian dalam. Seperti pada pemberian secara sublingual, pasien dianjurkan untuk membiarkan obat pada selaput lendir pipi bagian dalam sampai obat hancur dan diabsorbsi.

Kerja sama pasien sangat penting dalam pemberian obat cara ini karena biasanya pasien akan menelan yang akan menyebabkan obat menjadi tidak efektif.

Cara pemberian ini jarang dilakukan dan pada saat ini hanya jenis preparat hormone dan enzim yang menggunakan metode ini misalnya hormone polipeptida oksitosin pada kasus obstetric.

Hormone oksitosin mempunyai efek meningkatkan tonus serta motalitas otot uterus dan digunakan untuk memacu kelahiran pada kasus- kasus tertentu Kelebihan dari obat bukal adalah: onset cepat, mencegah “first-pass effect”, tidak diperlukan kemampuan menelan.

Namun kekurangan dari obat bukal adalah: absorbsi tidak adekuat, kepatuhan pasien kurang (compliance), mencegah pasien menelan dan kurang praktis untuk digunakan terus menerus dan dapat merangsang selaput lendir mulut.

Mekanisme Kerja Obat Oral

Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi.

Dalam fase farmasetik,obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membrane biologis. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuscular, atau intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik.

Fase kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari empat proses (subfase): absorpsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis.

1. Fase Farmasetik (Disolusi)

Sekitar 80% obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu, farmasetik (disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorsi.

Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi. Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat.

Ada bahan pengisi dan pelembam yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut.

Beberapa tambahan dalam obat sperti ion kalium (K) dan natrium (Na) dalam kalium penisilin dan natrium penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut.

Penisilin sangat buruk diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih banyak diabsorbsi.

Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi.

Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorbsi oleh tubuh.

Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat.

Pada umumnya, obat-obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam yang mempunyai pH 1 atau 2 daripada cairan basa.

Orang muda dan tua mempunyai keasaman lambung yang lebih rendah sehingga pada umumnya absorpsi obat lebih lambat untuk obat-obat yang diabsorpsi terutama melalui lambung.

Obat-obat dengan enteric-coated, EC (selaput enterik) tidak dapat disintegrasi oleh asam lambung, sehingga disintegrasinya baru terjadi jika berada dalam suasana basa di dalam usus halus.

Tablet anti coated dapat bertahan di dalam lambung untuk jangka waktu lama; sehingga, oleh karenanya obat-obat demikian kurang efektif atau efek mulanya menjadi lambat.

Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat menggaggu pengenceran dan absorpsi obat-obat tertentu.

Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung, sehingga cairan atau makanan diperluan untuk mengencerkan konsentrasi obat.

2. Fase Farmakokinetik

Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh, mencapai tempat kerjanya, dimetabolisme, dan keluar dari tubuh.

Dokter dan perawat menggunakan pengetahuan farmakokinetiknya ketika memberikan obat, memilih rute pemberian obat, menilai resiko perubahan keja obat, dan mengobservasi respons klien.

Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah: absorpsi, distribusi, metabolism (biotransformasi), dan ekskresi (eliminasi).

3. Absorpsi

Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari konsentrasi tinggi dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsipasif, absorpsi aktif, rinositosis atau pinositosis.

Absorpsi aktif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Absorpsi aktif membutuhkan carier atau pembawa untuk bergerak melawan konsentrasi. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran dengan proses menelan.

Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, nyeri, stress, kelaparan, makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor, atau penyakit yang merintangi absorpsi.

Rasa nyeri, stress, dan makanan yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung.

Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute pemberian obat, daya larut obat, dan kondisi di tempat absorpsi.

Setiap rute pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada absorpsi obat, bergantung pada struktur fisik jaringan. Kulit relatif tidak dapat ditembus zat kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat.

Membran mukosa dan saluran nafas mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang tinggi pada mukosa dan permukaan kapiler-alveolar. Karena obat yang diberikan per oral harus melewati sistem pencernaan untuk diabsorpsi, kecepatan absorpsi secara keseluruhan melambat.

Injeksi intravena menghasilkan absorpsi yang paling cepat karena dengan rute ini obat dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi sistemik.

Daya larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung pada bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia dalam bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau kapsul.

Bentuk dosis padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia pada sekresi lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati mukosa lambung dengan cepat.Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi sebelum mencapai usus halus.

Kondisi di tempat absorpsi mempengaruhi kemudahan obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Apabila kulit tergoles, obat topikal lebih mudah diabsorpsi. Obat topikal yang biasanya diprogramkan untuk memperoleh efek lokal dapat menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui lapisan kulit.

Adanya edema pada membran mukosa memperlambat absorpsi obat karena obat membutuhkan waktu yang lama untuk berdifusi ke dalam pembuluh darah.

Absorpsi obat parenteral yang diberikan bergantung pada suplai darah dalam jaringan. Sebelum memberikan sebuah obat melalui injeksi, perawat harus mengkaji adanya faktor lokal, misalnya; edema, memar, atau jaringan perut bekas luka, yang dapat menurunkan absorpsi obat.

Karena otot memiliki suplai darah yang lebih banyak daripada jaringan subkutan (SC), obat yang diberikan per intramuskular (melalui otot) diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang disuntikan per subkutan.

Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan yang lambat lebih dipilih karena menghasilkan efek yang dapat bertahan lama.Apabila perfusi jaringan klien buruk, misalnya pada kasus syok sirkulasi, rute pemberian obat yang terbaik ialah melalui intravena.Pemberian obat intravena menghasilkan absorpsi yang paling cepat dan dapat diandalkan.

Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan. Saat lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke duodenum, sehingga absorpsi melambat.

Beberapa makanan dan antasida membuat obat berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati lapisan saluran cerna.

Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan tetrasiklin. Beberapa obat hancur akibat peningkatan keasaman isi lambung dan pencernaan protein selama makan.

Selubung enterik pada tablet tertentu tidak larut dalam getah lambung, sehingga obat tidak dapat dicerna di dalam saluran cerna bagian atas.

Selubung juga melindungi lapisan lambung dari iritasi obat. Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan Kesehatan

Perawat dapat meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda, berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat menelan tablet maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau sirup.

Pengetahuan tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi obat membantu perawat melakukan pemberian obat dengan benar.

Makanan di dalam saluran cerna dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan pengangkuan obat ke dalam saluran cerna.

Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh makanan. Perawat harus mengetahui implikasi keperawatan untuk setiap obat yang diberikan. Contohnya, obat seperti aspirin, zat besi, dan fenitoin, natrium (Dilantin) mengiritasi saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan atau segera setelah makan.

Bagaimanapun makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat, misalnya kloksasilin natrium dan penisilin.

Oleh karena itu, obat-obatan tersebut harus diberikan satu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai tiga jam setelah makan.

Sebelum memberikan obat, perawat harus memeriksa buku obat keperawatan, informasi obat, atau berkonsultasi dengan apoteker rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien.

4. Distribusi

Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan jaringan tubuh.

Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah (dinamika sirkulasi), afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, berat dan komposisi badan, dan efek pengikatan dengan protein.

Dinamika sirkulasi obat lebih mudah keluar dari ruang interstial ke dalam ruang intravaskuler daripada di antara kompartemen tubuh. Pembuluh darah dapat ditembus oleh kebanyakan zat yang dapat larut, kecuali oleh partikel obat yang besar atau berikatan dengan protein serum.

Konsentrasi sebuah obat pada sebuah tempat tertentu bergantung pada jumlah pembuluh darah dalam jaringan, tingkat vasodilasi atau vasokonstriksi lokal, dan kecepatan aliran darah ke sebuah jaringan.

Latihan fisik, udara yang hangat, dan badan yang menggigil mengubah sirkulasi lokal. Contoh, jika klien melakukan kompres hangat pada tempat suntikan intramuskular, akan terjadi vasodilatasi yang meningkatkan distribusi obat.

Membran biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan obat. Barier darah-otak hanya dapat ditembus oleh obat larut lemak yang masuk ke dalam otak dan cairan serebrospinal.

Infeksi sistem saraf pusat perlu ditangani dengan antibiotik yang langsung disuntikkan ke ruang subaraknoid di medula spinalis.

Klien lansia dapat menderita efek samping (misalnya konfusi) akibat perubahan permeabilitas barier darah-otak karena masuknya obat larut lemak ke dalam otak lebih mudah.

Membran plasenta merupakan barier yang tidak selektif terhadap obat. Agens yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam lemak dapat menembus plasenta dan membuat janin mengalami deformitas (kelainan bentuk), depresi pernafasan, dan pada kasus penyalahgunaan narkotik, gejala putus zat.

Wanita perlu mengetahui bahaya penggunaan obat selama masa hamil. Berat dan Komposisi Badan Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan jumlah jaringan tubuh tempat obat didistribusikan.

Kebanyakan obat diberikan berdasarkan berat dan komposisi tubuh dewasa.Perubahan komposisi tubuh dapat mempengaruhi distribusi obat secara bermakna.

Contoh tentang hal ini dapat ditemukan pada klien lansia.Karena penuaan, jumlah cairan tubuh berkurang, sehingga obat yang dapat larut dalam air tidak didistribusikan dengan baik dan konsentrasinya meningkat di dalam darah klien lansia.

Peningkatan persentase leak tubuh secara umum ditemukan pada klien lansia, membuat kerja obat menjadi lebih lama karena distribusi obat di dalam tubuh lebih lambat.

Semakin kecil berat badan klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam cairan tubuhnya, dan dan efek obat yang dihasilkan makin kuat.

Lansia mengalami penurunan massa jaringan tubuh dan tinggi badan dan seringkali memerlukan dosis obat yang lebih rendah daripada klien yang lebih muda.

Ikatan Protein Ketika obat didistribusikan di dalam plasma kebanyakan berikatan dengan protein (terutama albumin).

Dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazeipam (valium) yaitu 98% berikatan dengan protein.Aspirin 49% berikatan dengan protein dan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein.

Bagian obat yang berikatan bersifat inaktif, dan bagian obat selebihnya yanhg tidak berikatan dapat bekerja bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan proteinyang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon farmakologik.

Kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma.

Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase di mana obat itu berikatan dengan protein.

Abses, aksudat, kelenjar dan tumor juga menggangu distribusi obat, antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata dan otot.

5. Metabolisme atau Biotransformasi

Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme.Kebanyakan obat diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah menjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan.

Tetapi, beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respons farmakologik, penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi metabolisme obat.

Waktu paruh, dilambangkan dengan t ½, dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi, metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya, pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi.

Jika suatu obat diberikan terus-menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat. Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90% obat itu dieliminasi.

Jika seorang klien mendapat 650 mg aspirin (miligram) dan waktu paruhnya adalah 3jam, maka dibutuhkan 3 jam untuk waktu paruh pertama untuk mengeliminasi 325 mg, dan waktu paruh kedua 9 atau 6 jam untuk mengeliminasi 162mg berikutnya, dan seterusnya sampai pada waktu paruh keenam atau 18jam dimana tinggal 10mg aspirin terdapat dalam tubuh, waktu paruh selama 4-8 jam dianggap singkat, dan 24 jam atau lebih dianggap Panjang.

Jika obat memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin: 36 jam), maka diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya, waktu paruh obat juga dibicarakan dalam bagian berikut mengenai farmakodinamik, karena proses farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.

6. Ekskresi Atau Eliminasi

Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu, feses, paru- paru, saliva, keringat, dan air susu ibu.

Obat bebas yang tidak berkaitan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin.

PH urin mempengaruhi ekskresi obat, pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah.

Aspirin, suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin yang basa.

Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa.

Juice cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang asam. Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia selular dan mekanisme kerja obat.

Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologi primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan.

Salah satu contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin (benadryl) suatu antihistamin.

Efek primer dari difenhidramin adalah untuk mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek sekundernya adalah penekanan susunan saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk.

Efek sekunder ini tidak diinginkan jika sedang mengendarai mobil, tetapi pada saat tidur, dapat menjadi diinginkan karena menimbulkan sedasi ringan.

Penutup

Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak dipakai karena merupakan cara yang paling mudah, murah, aman, dan nyaman bagi pasien.

Berbagai bentuk obat dapat diberikan secara oral baik dalam bentuk tablet, sirup, kapsul atau puyer. Untuk membantu absorbsi, maka pemberian obat per oral dapat disertai dengan pemberian setengah gelas air atau cairan yang lain.

Kelemahan dari pemberian obat per oral adalah pada aksinya yang lambat sehingga cara ini tidak dapat di pakai pada keadaan gawat. Obat yang diberikan per oral biasanya membutuhkan waktu 30 sampai dengan 45 menit sebelum diabsorbsi dan efek puncaknya dicapai setelah 1 – 1,5 jam.

Cara per oral tidak dapat dipakai pada pasien yang mengalami mual-mual, muntah, semi koma, pasien yang akan menjalani pengisapan cairan lambung serta pada pasien yang mempunyai gangguan menelan. Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan iritasi lambung dan menyebabkan muntah (misal garam besi dan salisilat).

Untuk mencegah hal ini, obat dipersiapkan dalam bentuk kapsul yang diharapkan tetap utuh dalam suasana asam di lambung, tetapi menjadi hancur pada suasana netral atau basa di usus.

Dalam memberikan obat jenis ini, bungkus kapsul tidak boleh dibuka, obat tidak boleh dikunyah dan pasien diberi tahu untuk tidak minum antasid atau susu sekurang-kurangnya 1 jam setelah minum obat.

Apabila obat dikemas dalam bentuk sirup, maka pemberian harus dilakukan dengan cara yang paling nyaman khususnya untuk obat yang pahit atau rasanya tidak enak. Pasien dapat diberikan minuman dingin (es) sebelum minum sirup tersebut. Sesudah minum sirup pasien dapat diberi minum, pencuci mulut atau kembang gula.

Demikian penjelasan lengkap terkait pemberian obat oral, semoga bisa menjawab pertanyaan sobat farmasis!

Referensi

Stevani, H., 2016. Praktikum Farmakologi. Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi. 171.
Suprapti, T., 2016. Praktikum Farmasetika Dasar 148, 148–162.

5/5 – (2 votes)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *