Soal Mengonstruksi Resensi Buku Kumpulan Cerpen atau Novel

soal mengonstruksi resensi buku kumpulan cerpen atau novel

Soal Mengonstruksi Resensi Buku Kumpulan Cerpen atau Novel – Halo adik-adik, kali ini mimin dinas.id akan memberikan rekomendasi kumpulan contoh soal-soal Bahasa Indonesia kelas 11, XI KD 3.17 SMA untuk UAS, UTS semester genap, ganjil, gasal. Tentunya, sesuai kisi-kisi pertanyaan tentang mengonstruksi resensi buku kumpulan cerpen atau novel.

Rangkuman Materi Mengonstruksi Resensi Buku Kumpulan Cerpen atau Novel

Untuk memudahkan mengerjakan latihan, silahkan pahami ringkasan materi di bawah ini:

Hal yang perlu diperhatikan dalam mengontruksi resensi novel dan kumpulan cerpen.

Bacaan Lainnya
  • Membaca cerita secara keseluruhan. Untuk kumpulan cerpen, cerita dibaca satu per satu.
  • Menentukan unsur intrinsic dalam cerita pada saat membaca atau dengan membaca ulang.
  • Menuliskan sinopsis cerita, terutama dengan memperhatikan alur dan amanat cerita.
  • Menuliskan kesan saat membaca cerita, boleh jadi menjelaskan kaitan cerita dengan kondisi saat ini.
  • Memaparkan keunggulan dan kelemahan sebagai bahan rekomendasi untuk pembaca lain.

Soal Latihan

Oke, bacalah petunjuk di bawah ini sebelum menjawab soal!

Cermati penggalan novel berikut!

Cermati penggalan novel dilan

Dari kantin, sebelum mau masuk ke kelas, aku berpapasan dengan Dilan. Dia sedang jalan bersama kawan-kawannya. Kutebak, pasti baru datang dari warung Bi Eem.

“Milea!” dia manggil dan lalu mendekat. Kuhentikan langkahku. Sedangkan Nandan,

Hadi dan Rani terus berjalan karena aku minta mereka untuk jalan duluan.

”Ya?”

“Boleh gak aku ikut pelajaran di kelasmu lagi?”

Dia senyum. Aku juga.

“Nanti kamu dimarah lagi,” kataku.

“Gak apa-apa. Aku orang yang siap dimarah,” katanya Sambil senyum.

Aku diam. Lalu kutanya dia sambil kupandang matanya.

“Kamu mau bikin aku senang gak?”

Aku nyaris gak percaya bahwa aku bisa nanya seorang berani itu kepadanya.

“Iya?”

“Kalau gitu,” kataku. “Ikuti mauku,” kataku tersenyum.

“Emang apa maumu?”

“Jangan ikut belajar di kelasku!” kataku sambil  aku  goyangkan jari telunjukku. Aslinya sih aku suka ada Dilan  di kelasku, tapi aku merasa gak enak ke temen-temen

Dilan ketawa.

“Oke, kalau begitu,” katanya.

Di saat yang bersamaan, Ibu Sri lewat. Dia mau masuk ke kelasku. Dilan menyapanya dan nanya ke dia:

“Bu, boleh ikut belajar di kelas Ibu?”

“Heh? Kamu, kan, punya jadwal sendiri,” jawab Ibu Sri. “Ayo, pada masuk! Sudah bel.”

“Siap grak!”

Aku senyum melihat cara Dilan menghormat Ibu Sri, dia tegakkan badannya, lalu tangannya ia tempelkan di jidat. itu benar-benarjadi seperti hormat kepada komandan, atau seperti kepada bendera.

Habis itu, Dilan pergi.

Aku masuk kelas untuk mengikuti pelajaran beri. kutnya. Itu adalah pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (sekarang PKN), dengan Ibu Sri sebagai gurunya. Ya, aku masih ingat.

Tapi yang lebih aku ingat bukan Ibu Srinya, melainkan kejadiannya, yaitu pada waktu Ibu Sri sedang menjelaskan materi pelajaran, tiba-tiba papan pembatas kelas bagian sebelah kanan itu roboh, jatuh menimpa ke arah kami. Papan pembatas kelas itu jatuh, menimpa papan tulis dan menggulingkan Presiden Indonesia, Soeharto, dalam bentuknya sebagai foto yang dikasih pigura.

Kami semua kaget, ibu Sri juga. Dia lari sambil teriak menyebut nama Tuhan: “Allahu akbar!l” dan juga menyebut nama salah satu keluarganya: “Mamaaaa l” (sejak itu aku tahu Ibu Sri memanggil ibunya dengan sebutan ‘Mama’).

Kami semua lari, berusaha menghindar, karena tahu itu bahaya. Kami lari ke arah belakang bagian kelas.

Dari tempat kami ngungsi, kami menyaksikan sendiri  bagaimana papan pembatas kelas itu roboh bersama dua orang yang masih menggantung di atasnya. Dan, Pemirsa saksikanlah bersama-sama, kedua orang itu adalah:

Piyan dan Dilan!

Aku tidak ingin percaya, tapi itu nyata.

Lalu, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Aku dapat penjelasan langsung dari Dilan setelah beberapa bulan kemudian.  Katanya, waktu itu, di kelas sedang tidak ada pelajaran, gurunya tidak datang karena sakit. Di|an dan Piyan, berusaha naik ke atas pembatas kelas itu, tujuannya untuk mencapai lubang ventilasi yang ada di tembok bagian atas.

”Ih! Ngapaiiiin?” kutanya.

”Ngintip kamu, ha ha ha ha.”

”Ha ha ha ha. Kamu jadi beneran masuk ke kelas Ibu Sri.”

“Iya! Ha ha ha. Masuk dengan cara lain.”

“Ha ha ha.”

“Risiko tinggi mencintaimu.”

“Ha ha ha.”

Tapi itulah yang terjadi. Mau gimana lagi.

Wati, teman sekelasku, mungkin dia jengkel. Dihampirinya Dilan, untuk kemudian dia lempar dengan buku pelajaran, sambil ngomong:  Maneh wae, Siah“ itu bahasa Sunda, kira-kira artinya: “Elu lagi! Elu lagi!”

Dia juga menjewer Piyan: “Maneh deui! Mimilu !” juga bahasa Sunda, kira-kira artinya:

“Kamu juga lagi, ikut-ikutan.”

Dilan tidak melawan. Piyan hanya meringis. Aku Iangsung ingin tahu siapa Wati sebenarnya? Kenapa dia berani ke Dilan? Kenapa dia berani ke Piyan? Di saat mana, aku merasa yakin orang lain tak akan berani melakukannya. Dan. kenapa keduanya tidak melawan ketika diperlakukan macam itu oleh Wati?

Selidik punya selidik, ternyata Wati itu tidak lain adalah saudara Dilan. Pantesan! ibunya Wati adalah adik dari ayahnya Dilan.

Ya. Tuhan, kenapa aku baru tahu?

Dilan dan Piyan, lalu dibawa Pak Suripto ke ruang guru dengan cara yang kasar menurutku!

Saat itu, anehnya aku tidak cemas. Anehnya aku percaya, Dilan pasti bisa menghadapinya dengan tenang.

–000–

Tapi sejak adanya peristiwa itu, aku tidak pernah melihat Dilan selama dua hari, di lingkungan sekolah dan di mana pun.

Mungkin. dia sakit. Mungkin, dia diskors. Aku tidak tahu dan aku ingin tahu ke mana. Tapi bingung harus bertanya ke siapa? Nanya ke Nandan atau Rani, khawatir mereka akan menyangka yang bukan-bukan. Nyangka aku perhatian Atau apalah , meskipun iya begitu, tapi jangan sampai mereka tahu.

Jadi?

Ya, aku bingung. Gak ada jalan lain rasanya. Aku cuma bisa berharap aku akan tahu

dengan sendirinya.

–ooo–

Keinginanku bisa ke kantin berdua dengan Wati, akhirnya kesampaian.

Di kantin, ada Nandan, Rani, dan Jenar yang ingin gabung makan satu meja dengan kami, tapi kubilang aku ada urusan dengan Wati. Untung mereka bisa ngerti, dan kemudian pada duduk di meja lain.

Pasti kamu tahu tujuanku ngobrol dengan Wati. Meskipun malu, harus kuakui, bahwa dari Wati aku ingin dapat informasi lebih banyak tentang Dilan. Setidaknya Wati itu saudaranya, pasti lebih banyak tahu tentang Dilan dibanding orang lain.

Maksudku, aku ingin jelas menyangkut tentang banyak informasi buruk yang kudapat tentang Dilan. Bukan mau ikut campur. Aku mengerti, hidup Dilan adalah urusannya. Bagaimanapun dirinya, apalah urusanku dengan dia. Aku bukan siapa-siapanya. Aku bukan pacarnya.

Apakah aku normal kalau aku ingin tahu semua hai tentang Dilan? Kalau enggak, biarin, deh, gak normal juga. Aku duduk berdua dengan Wati, agak di dekat jendela. Aku merasa harus hati-hati, jangan sampai Wati tahu tujuan asliku ngobrol dengan dia.

Setelah ngobrol tentang hal lain yang kuanggap gak enting, aku mulai berusaha mengarahkan pembicaraan gupaVa membahas pada pokok yang kumaui:

“Eh, ngomong-ngomong, kemarin, waktu Si Dilan jatuh: kamu lempar dia pake buku, kok, kamu berani, sih?”

”Oh? Ha ha ha. Berani, lah!” jawab Wati. ”Habisnya kesel. Dia itu nakal tau? Di rumahnya juga begitu!”

“Kamu saudaraan, ya?”

”Iya. Ibuku adik ayahnya.”

”Oh, pantes!” kataku. ”Kaget aja, pas lihat kamu berani mukul dia, ha ha ha.”

“Ha ha ha. Kesel,” jawab Wati. ”Nakal dia itu.”

”Nakal gimana?”

“Ah, banyak!” kata Wati. ”Pernah, tuh, waktu malam minggu, kapan, ya, pokoknya dia motong ayam ibuku. Diambil di kandang gak bilang-bilang.”

“Oh, ya?” Aku senyum.

”Disate tau gak?! Dimakan sama temen-temennya di belakang rumah dia!”

“Ha ha ha. Mabuk-mabukan, ya?”

“Enggak, lah !”

“Taunya enggak?”

“Tau aja.”

“Ngambil ayam ibu kamu?” tanyaku. ”Kok, berani?”

“Pas ditegur ibuku, dia bilangnya salah ngambil. Gelan gak kelihatan katanya.”

“Ha ha ha.”

“Padahal, kamu tau gak? Ayahnya itu galak,” kata Wati. “Ayahnya tentara.”

”Oh? Ya?!”

Aku nyaris terperangah mendengar bahwa ayahnya Diian adaiah juga tentara.

“Iya.”

”Cabang apa?”

”Gak tau, tuh,” jawab Wati. “Gak ngerti.”

”Ooh …”

“Nakal banget dia itu.”

”Si Dilan pasti pacarnya banyak, tuh!” kataku.

”Ah, siapa? Gak punya pacar dia mah. Terlalu cuek ke cewek!”

”Mungkin masih lebih suka main sama kawan-kawannya.”

”Iya, kali.”

”Emang belum punya pacar?”

”Gak tau, tuh,” jawab Wati. ”Eh, kok, jadi ngomongin Si Dilan, sih?!”

“Iya,” kataku, pura-pura sama baru menyadari hai itu. Padahal masih banyak yang ingin kutahu tentang Dilan. termasuk kenapa dia tidak pernah kulihat selama dua hari ini, tapi gak jadi karena kuatir Wati akan curiga kenapa aku bertanya soal itu.

Jawablah pertanyaan berikut!

1. Buatlah sinopsis dari penggalan novel tersebut!

2. Buatlah sebuah kalimat yang menunjukan kelebihan resensi!

Kunci Jawaban dan Pembahasan

1. Sinopsis penggalan novel Dilan.

→ Pembahasan: Milea beberapa hari belakangan ini selalu mencari Dilan di warung bu Eem. Dia ingin selalu tahu keberdaan Dilan ada di mana. Tiba-tiba di suatu lorong sekolah Milea berpapasan dengan Dilan. Dilan menggoda Milea bahwa dia ingin belajar di kelas Milea. Selang beberapa saat ada kejadian yangtidak di sangka. Dilan di jewer oleh Wati. Usut punya usut ternyata Wati adalah sepepu Dilan. Dari Watilah Milea tahu siapa sebenarnya Dilan.

2. Kalimat yang menyatakan kelebihan dalam resensi novel

→ Pembahasan: Novel Dilan 1990 ini bahasanya mudah dipahami dan alurnya cukup menarik.

Demikian prediksi contoh soal dan jawaban UTS, UAS modul Bahasa Indonesia Kelas 11, XI SMA, dipelajari yah. Merdeka Belajar!

5/5 – (1 vote)

Yuk, Kami juga Ada di Google News, KLIK DISINI!

Artikel Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *